Cerpen

E m a k

AKU terbangun mendengar suara-suara aneh dari dapur. Emak sedang memasak

Editor: bakri

Karya Sarah YS

AKU terbangun mendengar suara-suara aneh dari dapur. Emak sedang memasak. Menanak nasi dan memasak lauk untuk kepulangan bapak dari laut. Aku bangun lalu membersihkan kasur. Setelah itu menyisir rambut dan mengikatnya kuat, agar tidak ada rambut yang jatuh ketika membantu emak memasak.

Bapak dan emak tidak suka bila ada sehelai rambut pun yang jatuh ke dalam makanan. Pernah suatu ketika ada rambut jatuh ke dalam makanan, diduga rambutku, bapak membuang semua lauk itu keluar. Ia memarahi emak habis-habisan. Aku tak mau kejadian itu terulang lagi. Bapak sangat menjaga kebersihan. Maka jangan berharap dia tampil kusam sebagaimana pelaut kebanyakan. Terkadang sifat bapak yang satu ini membuatku emosi, karena tak jarang dia marah hanya karena ada sedikit noda di tempat tertentu. Padahal emak sudah lelah seharian membersihkan semua.

Di dapur aku melihat emak sedang membersihkan sayur kangkung, sayuran kesukaan bapak. Hampir setiap hari tumis kangkung ada di meja makan kami yang sederhana. Aku sudah mati bosan karena setiap hari sayuran itu selalu tersedia di atas meja. Pernah sekali aku meminta emak untuk memasak sayuran lain. Tapi emak tidak pernah membuatnya. Emak selalu bilang, biarkan menu sayur kangkung ini selalu ada. Bapak sudah lelah melaut jadi biarlah saat dia pulang ke rumah dia makan apa yang paling disukainya.

“Baru bangun, Nong?” tanya emak begitu melihatku di muka pintu dapur.

Aku mengangguk. Lalu menghampiri dan langsung membantu dia membersihkan kangkung. “Emak perhatikan selama ini kau telat sekali bangun pagi. Malu dengan usia, Nong. Gadis seusia kau harusnya sudah menikah. Untung kau masih bisa melanjutkan sekolahmu ke SMP. Banyak teman-teman seusiamu yang sudah mempunyai tiga orang anak. Janganlah sampai menjadi gadis pemalas.”

“Maaf,” kataku. “Semalam aku membaca buku hingga larut. Buku itu milik perpustakaan dan hari ini hari terakhir pengembaliannya. Tinggal sedikit lagi.”

“Aku tidak melarangmu membaca buku. Hanya jangan sampai kau telat bangun saja. Setelah salat Subuh jangan tidur lagi. Kalau bapak melihat kelakuanmu ini, pasti dia akan marah.”

Bapak marah? Bukannya di memang sering marah? Hal apa saja akan bapak ributkan. Namun sudah lama aku tidak mendengar bapak marah. Saat aku tidak pernah mendengarnya marah lagi seperti saat ini, rasanya antara senang dan aneh. Tapi aku tidak menjawab apa pun. Tanganku sibuk membersihkan kangkung.

“Mengapa Mak tetap memasak untuk bapak setiap hari seperti ini?”

“Sudahlah, Nong. Jangan bahas apapun mengenai bapakmu. Ia lelah melaut untuk menghidupi kita. Sekarang mandilah saja kau, pergi ke sekolah. Biarkan emak melanjutkan memasak. Mungkin sebentar lagi bapakmu pulang.”

Aku terdiam di tempat. Emak selalu bersikap seperti ini jika membahas bapak. Emak sangat tidak suka bila aku membicarakan kenyataan tentang bapak. Tapi, aku juga tetap tidak menjawab apa pun. Aku langsung pergi menuju kamar mandi.

***

“Kalian sudah dengar, mayat Pak Saleh sudah ditemukan tadi pagi?” Nurma menceritakan kabar itu dalam perjalanan menuju sekolah. Aku terdiam kaku tidak dapat mengekspresikan apa pun ketika Nurma mengatakan berita itu. Melihat ekspresiku yang berubah teman-temanku langsung diam mereka tidak melanjutkan pembicaraan lagi. Nurma juga terlihat agak tidak enak. Tapi aku berusaha untuk bersikap biasa saja. Kami melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan diam.

Sesampai di sekolah teman-temanku sibuk mengerjakan PR yang seharusnya mereka kerjakan di rumah. Aku tidak habis pikir melihat kelakuan mereka. Aku memang bukan murid yang pintar maka aku selalu berusaha untuk mengerjakan PR di rumah. Aku tidak suka melakukan sesuatu dengan terburu-buru. Aku tidak bisa berpikir cepat. Lagipula aku sangat bersyukur bisa melanjutkan sekolah ke SMP. Dan bila bapak tahu aku malas-malasan seperti kelakuan teman-temanku bisa-bisa aku langsung dinikahkan, begitulah ancaman bapak ketika hari pertama mengantarkanku masuk SMP. Dan bapak tentu saja tidak main-main dengan ancamannya.

Tiba-tiba aku teringat bapak. Angin laut belakangan ini sedang tidak bersahabat. Banyak sekali nelayan yang hilang terbawa angin dan hanya perahunya saja yang ditemukan. Buktinya Pak Saleh yang hilang dua hari yang lalu sudah ditemukan menjadi mayat. Aku yakin ini pasti akan memakan korban lagi. Angin laut masih akan bertiup kencang dan semakin kencang sampai akhir tahun. Penduduk di kampung kami menggantungkan kehidupanya di laut. Rata-rata mata pencaharian mereka adalah nelayan. Keadaan desaku yang sebagian besar tanahnya berpasir tidak cocok untuk ditanami sayuran. Karena itu, warga kampung kami sangat bergantung pada laut.

Aku kasihan pada emak. Akutidak tega melihatnya selama ini terus saja bersikap baik-baik saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku tahu di balik kekuatannya itu, emak sebenarnya sangat rapuh. Dan aku tahu keadaan keluarga kami sedang tidak baik sama sekali. Tapi emak tetap berusaha tabah. Aku tahu emak tidak ingin menampakkan kekhawatirannya di hadapanku.Tapi semakin emak bersikap seperti itu,semakin aku sedih melihat keadaannya. Dan untuk alasan itulah aku bertahan. Aku berusaha kuat seperti emak. Walau aku sebenarnya tidak bisa sekuat emak.

***

Begitu sampai di rumah aku mengganti seragam sekolah. Aku tidak langsung menuju ke dapur dan makan siang. Aku menyempatkan diri membaca buku yang baru kupinjam dari perpustakaan sekolah. Salah satu hiburanku untuk melupakan penat adalah dengan membaca. Walau aku tidak pernah bisa membaca dengan santai. Seperti sekarang, baru lima lembar aku membaca buku emak memanggilku. Aku pun langsung menuju dapur.

“Ada apa?”

“Kau makanlah dulu, jangan berdiam di kamar.”

“Aku tidak berdiam di kamar. Aku membaca buku.”

Di meja makan. Aku melihat emak sudah menyiapkan piring, gelas, dan tempat mencuci tangan untuk bapak, seperti biasa. Tapi kursi yang biasa bapak duduk kosong. Di meja makan hanya ada aku dan emak. Aku bangun hendak membereskan piring, gelas, dan tempat mencuci tangan bapak.

“Jangan sentuh!” Bentak emak begitu melihatku membereskan benda-benda tersebut.

Aku bergeming dan menahan air mata yang akan menetes.

“Apalagi yang emak harapkan? Sudah cukup. Sudah cukup emak menunggu bapak selama dua tahun. Bapak sudah pergi, Mak!”

“Bapakmu sebentar lagi pulang, Nong. Lekas kau taruh kembali piring dan gelas itu.”

“Bapak tidak akan pulang. Mak tahu itu, kan?”

“Letakkan kembali, kataku!”

Aku meletakkan kembali piring, gelas, dan tempat mencuci tangan bapak. Emak diam memandang ke depan. Tatapannya masih tetap tidak beranjak dari bangku tempat biasa bapak duduk dan makan.

*Sarah YS, bergiat di Komunitas Jeuneurob

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved