Opini

Kelayakan Aceh Raya dan Aceh Rayeuk

WACANA pemekaran Kabupaten Aceh Besar menjadi dua kabupaten baru, yakni Kabupaten Aceh Raya

Editor: bakri

Oleh Rustam Effendi

WACANA pemekaran Kabupaten Aceh Besar menjadi dua kabupaten baru, yakni Kabupaten Aceh Raya dan Kabupaten Aceh Rayeuk terus digulirkan. Dari hari ke hari gaungnya kian nyaring terdengar. Sebagian tokoh masyarakat di wilayah kedua calon kabupaten ini makin aktif melakukan penggalangan. Pertanyaannya adalah layakkah Aceh Besar dimekarkan? Layakkah pula Aceh Raya dan Aceh Rayeuk menjadi kabupaten-kabupaten baru? Jika layak, bagaimanakah gambaran potensi kedua calon kabupaten baru tersebut?

Peraturan Pemerintah (PP) No.78 Tahun 2007 menyiratkan dengan jelas tentang pemekaran ini. Pemekaran dari 1 (satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih, dibolehkan jika dipenuhi syarat administratif dan syarat teknis. Syarat administratif antara lain adanya keputusan DPRD kabupaten/kota induk (dalam hal ini DPRK Aceh Besar) tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, di samping keputusan bupati kabupaten induk, keputusan DPRD provinsi, keputusan Gubernur, dan rekomendasi Menteri. Keputusan DPRK itu sendiri diproses dan dibuat berdasarkan aspirasi yang dihimpun dari sebagian besar masyarakat di wilayah calon kabupaten/kota.

Potret Aceh Besar
Pada awal masa kemerdekaan RI, Aceh Besar merupakan satu wilayah pemerintahan yang berperan penting di Aceh. Banda Aceh yang kini menjadi ibu kota Provinsi Aceh, misalnya, dulu bagian dari Aceh Besar. Demikian juga Sabang, merupakan satu kewedanaan, selain Kewedanaan Seulimeum dan Lhoknga. Kendati telah dimekarkan menjadi dua daerah lain (Banda Aceh dan Sabang), wilayah Kabupaten Aceh Besar masih tergolong cukup luas, yaitu mencapai 2.903 Ha yang terdiri dari 23 kecamatan. Luasnya wilayah dan banyaknya kecamatan tentu membebani pemerintah daerah, terutama dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, termasuk melayani kepentingan masyarakatnya.

Sulit kita pungkiri, ketersediaan anggaran pembangunan yang tidak memadai selama ini dibanding luasnya wilayah administratif, berakibat pada lambannya gerak daerah ini dalam melakukan perubahan-perubahan, termasuk perbaikan taraf kesejahteraan warganya. Pola alokasi anggaran yang kurang responsif terhadap kebutuhan riil daerah selama ini, menurut saya, kian menyulitkan langkah perubahan ini.

Jujur saja, hasil pembangunan nyaris kurang terlihat, kecuali hanya beberapa titik wilayah yang berkembang relatif cepat dikarenakan faktor-faktor tertentu. Di beberapa wilayah lainnya sekilas tampak belum ada kemajuan yang berarti. Masih banyak PR yang belum diselesaikan. Kualitas jalan, terutama di sebagian kecamatan atau gampong masih dalam kondisi rusak (kurang baik). Jembatan yang ada umumnya sempit dan rada menghimpit penggunanya. Selain itu, drainase (selokan), air bersih, tempat pembuangan sampah, dan tingkat kebersihan belum tertangani dengan baik.

Beberapa gampong yang berbatasan langsung dengan Banda Aceh, misalnya, nyaris tanpa sentuhan dan membuat iri warganya tatkala melihat kemajuan gampong yang ada di wilayah Banda Aceh. Persis bagai malam (gelap) dengan siang (terang menderang). Kenaikan dana otsus yang diterima tiap tahunnya (rata-rata 5,24% selama 2008-2015) ternyata belum membawa perubahan daerah secara signifikan.

Pola alokasi anggaran daerah ini sangat merisaukan kita. Realisasi anggaran daerah sebesar Rp 863,83 miliar pada 2013, hanya 34,11% (Rp 294,65 miliar) yang dapat dialokasi untuk belanja langsung (biaya pembangunan), selebihnya 65,89% (Rp 569,18 miliar) membiayai belanja tidak langsung. Dan mirisnya, sebagian besar belanja tidak langsung (hampir 90,0%) adalah untuk belanja pegawai. Lambannya gerak pembangunan daerah Aceh Besar dapat ditilik dari beberapa indikator. Selama periode 2010-2013, ekonomi kabupaten ini tumbuh di bawah angka ideal, yaitu hanya rata-rata 4,63% per tahun. PDRB per kapita dan pendapatan regional per kapita juga terus menurun selama periode yang sama.

Kemajuan ekonomi secara sektoral juga kurang menggembirakan. Pertanian sebagai kontributor terbesar dan menjadi basis ekonomi daerah serta tempat bergantung hidup warganya, tidak tumbuh siginifikan, rata-rata hanya 2,74% per tahun (selama 2010-2013). Yang agak berkembang justru sektor perdagangan dan konstruksi, yang sebetulnya kurang menciptakan nilai tambah dan terbatas kontribusinya bagi perbaikan kesejahteraan warganya.

Partisipasi warganya dalam mengenyam pendidikan, juga belum sepenuhnya menggembirakan. Kecuali untuk jenjang SD, yang lain capaiannya masih berada di bawah Provinsi Aceh. APM (angka partisipasi murni) SLTP masih 80,06 (Aceh: 82,58) dan APM SLTA 62,74 (Aceh: 63,31). Yang juga merisaukan adalah menurunnya angka partisipasi sekolah (APS) di kalangan anak-anak berusia sekolah (SLTP, SLTA, dan PT) selama 2012-2013. Ini berarti adanya kecenderungan menurunnya minat bersekolah dari anak-anak usia didik potensial di daerah ini. Persentase penduduk miskin masih relatif tinggi (16,88% pada 2013), selain juga tingginya angka pesakitan penduduk di daerah ini.

Selain syarat administratif, sebuah calon kabupaten/kota baru juga harus memenuhi syarat teknis. Syarat teknis dapat dihasilkan melalui kajian yang komprehensif sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1). Dari kajian tersebut diperoleh gambaran detail tentang kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali.

Faktor menguatkan
Menurut amatan saya, ada beberapa faktor yang menguatkan. Aceh Raya, misalnya, memiliki wilayah yang relatif luas, yaitu 580,34 Ha (hampir 20,0% dari luas Aceh Besar), mencakup tujuh kecamatan (Lhoong, Leupung, Lhoknga, Peukan Bada, Pulo Aceh, Darul Imarah, dan Darul Kamal). Secara historis, Lhoknga merupakan satu bekas kewedanaan. Aceh Rayeuk yang meliputi tujuh kecamatan didalamnya (Masjid Raya, Baitussalam, Darussalam, Kuta Baro, Krueng Barona Jaya, Ingin Jaya, dan Blang Bintang) mempunyai luas 323,32 Ha.

Dengan demikian, kedua calon kabupaten ini telah memenuhi syarat minimal 5 kecamatan sesuai Pasal 8 ayat (b). Pun, wilayah Aceh Raya atau Aceh Rayeuk jauh lebih luas dibanding Banda Aceh (hanya 56 Ha), Sabang (122 Ha), Lhokseumawe (153 Ha), atau Langsa (203 Ha).

Aceh Raya juga didiami oleh 108.252 jiwa, atau sekitar 28,23% dari populasi Aceh Besar (kondisi 2013). Sementara Aceh Rayeuk berpenduduk lebih banyak, yakni 148.960 jiwa (38,8%). Jumlah penduduk Aceh Raya dan Aceh Rayeuk relatif lebih banyak dibanding Sabang, atau Subulussalam, Simeulue, Gayo Lues, Aceh Singkil, Bener Meriah, Aceh Barat Daya, dan Pidie Jaya.

Secara sektoral, kapasitas produksi di kedua calon kabupaten ini relatif beragam. Untuk komoditas padi sawah, Aceh Rayeuk sedikit lebih unggul dibanding Aceh Raya. Sementara Aceh Raya lebih dominan dalam produksi jagung, ubi kayu, cabe merah, dan kacang kedele. Di sektor peternakan, Aceh Rayeuk lebih unggul dalam usaha ternak sapi, kambing, dan domba, sementara Aceh Raya dominan kerbau. Dalam budidaya perikanan, termasuk jumlah TPI, PPI, dermaga, dan balai nelayan, Aceh Raya sedikit lebih dibanding Aceh Rayeuk.

Keberadaan lembaga keuangan (perbankan), termasuk pasar, di kedua calon kabupaten tersebut relatif sama. Di Aceh Raya, bank-bank dapat diakses masyarakat di antaranya di Lhoknga dan Darul Imarah (Lambheu). Sedangkan di Aceh Rayeuk terpusat di Ingin Jaya (Lambaro).

Persoalan rentang kendali (span of control) menjadi hal yang amat menyulitkan warga selama ini mengingat lamanya waktu tempuh mereka dalam menjangkau jasa layanan pemerintahan. Jarak antara kecamatan-kecamatan di Aceh Rayeuk dengan ibu kota kabupaten induk (Jantho) rata-rata 54,14 Km. Bahkan, untuk Aceh Raya, jaraknya dengan Kota Jantho lebih jauh lagi, yakni rata-rata 67,3 Km. Sebaliknya, jarak rata-rata kecamatan lain (di luar Aceh Raya dan Aceh Rayeuk) dengan ibu kota kabupaten induk (tidak termasuk Kota Jantho), hanya berkisar 32,25 Km.

Catatan singkat ini diharapkan dapat menambah muatan deskriptif dari sisi syarat teknisnya. Walau demikian, pemenuhan syarat administratif seperti keputusan DPRD kabupaten dan keputusan-keputusan ikutannya, termasuk rekomendasi dari menteri, tentu bukanlah perkara yang mudah. Butuh keseriusan dan kerja keras serta kesabaran dari semua komponen masyarakat di kedua calon kabupaten baru ini. Tantangan terberat, menurut saya, bagaimana menyamakan visi dan persepsi, serta menyatukan langkah dalam proses perjuangan ini. Jika ini dapat dilewati, saya yakin impian dan harapan warga di wilayah Aceh Raya dan Aceh Rayeuk akan segera menjadi kenyataan. Semoga!

* Rustam Effendi, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), mantan Ketua Tim Survey Pemekaran Pidie Jaya dan Subulussalam. Email: rust_effendi@yahoo.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved