Kupi Beungoh
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik?
Prinsip ekonomi Islam jelas: akad adalah amanah, bukan sekadar formalitas atau istilah. Namun, dalam praktik, batas ini sering kabur.
Oleh: Dr. Muhammad Nasir
Bank syariah lahir dari cita-cita luhur: menjadi wahana keadilan ekonomi yang berpijak pada nilai-nilai ilahiah.
Sistem ini digagas sebagai alternatif dari mekanisme perbankan konvensional yang kerap dianggap eksploitatif, berorientasi bunga, dan mengabaikan prinsip keadilan.
Dengan bebas riba, gharar, dan ẓulm, bank syariah seharusnya menjadi ruang aman bagi masyarakat dalam bertransaksi dan berinvestasi.
Namun, di balik janji mulia itu, muncul ironi yang kerap menjadi perbincangan publik: mengapa layanan bank syariah sering terasa lebih mahal dibandingkan bank konvensional?
Pertanyaan ini bukan hanya retorika akademik; ia muncul dari pengalaman nasabah, laporan media, hingga diskusi di warung kopi.
Fenomena ini menimbulkan tanda tanya: apakah yang salah terletak pada akad yang digunakan, praktik operasional, atau keduanya?
Aceh: Laboratorium Syariah atau Sekadar Label?
Di ujung barat Indonesia, Aceh menjadi laboratorium unik penerapan ekonomi syariah.
Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah secara tegas mewajibkan seluruh kegiatan keuangan yang beroperasi di Aceh berbasis prinsip syariah.
Pasal 2 menyatakan:
"Setiap orang yang melakukan kegiatan Lembaga Keuangan di Aceh wajib berdasarkan prinsip Syariah."
Regulasi ini membuka peluang praktik akad produktif seperti salam, istisnā’, musaqah, muzara‘ah, dan mukhabarah.
Dalam teori, ini berarti lembaga keuangan tidak hanya melakukan jual beli atau pembiayaan sederhana, tetapi terlibat dalam kegiatan yang menumbuhkan produktivitas ekonomi nyata.
Namun, realitas berbeda.
Praktik akad produktif nyaris tidak disentuh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.