Opini
Perkara Kerukunan Beragama
AKHIR-AKHIR ini, masalah kerukunan sesama bangsa Indonesia menjadi wacana yang hangat
Oleh Hendrizal
AKHIR-AKHIR ini, masalah kerukunan sesama bangsa Indonesia menjadi wacana yang hangat didiskusikan sehubungan maraknya pertikaian antarelite politik, antaretnis, antarkelompok, bahkan antarumat beragama. Yang terbaru adalah kejadian di Aceh Singkil dan Tolikara, Papua. Masalah pertikaian antarsesama warga negara Indonesia itu selama ini sudah mulai terlihat membawa dampak psikologis buruk, yakni timbulnya rasa dendam kesumat antarwarga masyarakat.
Ditinjau dari segi pendidikan, khususnya terhadap generasi penerus, kasus-kasus pertikaian antarsesama bangsa sendiri tentu tak menguntungkan bagi pembinaan persaudaraan sebangsa. Karena itu, langkah-langkah pembinaan kerukunan antarumat beragama, yang tentu saja dengan terlebih dulu mesti menyadari kondisi bangsa kita mestinya terus-menerus dilakukan.
Memang bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa besar, memiliki wilayah luas dan subur, serta berkebudayaan tinggi. Tapi, tak dapat dipungkiri, kondisi bangsa ini sangat majemuk (plural). Sebab terdiri dari banyak suku, menggunakan berbagai bahasa daerah, memeluk berbagai agama, dan memiliki aneka ragam adat istiadat serta kultur daerah.
Pluralitas itu merupakan potensi yang dalam satu segi memperkaya aset bangsa Indonesia. Namun dalam segi lain bisa juga menjadi sumber perpecahan atau konflik sosial. Dalam kaitan ini, agama (yang merupakan bagian dari pluralitas tersebut) memang bisa memiliki potensi membawa persatuan (integrasi), tapi ia bisa pula melahirkan konflik dalam masyarakat.
Ketika umat suatu agama menekankan ajaran agamanya yang bersifat universal dan humanis, maka agama bisa berperan mengintegrasikan berbagai kelompok, suku dan bangsa. Tapi pada saat umat suatu agama menekankan pada dimensi primordialisme agamanya, maka agama berpotensi eksklusif dan bisa melahirkan disintegrasi sosial. Ini sangat mengganggu stabilitas suatu negara. Negara yang senantiasa dilanda instabilitas akan mengalami kesulitan melaksanakan pembangunan secara lancar dan berkesi¬nambungan. Sebab sumber daya negara itu akan banyak terpakai mengatasi instabilitas tersebut.
Penting digarisbawahi
Itu penting digarisbawahi. Terutama jika mengingat bahwa bangsa kita (seperti bangsa-bangsa lainnya) segera menghadapi kompetisi global yang sangat keras, di mana kerukunan nasional (yang antara lain ditopang kerukunan antarumat beragama) sangat dibutuhkan sebagai cara minimalis untuk dapat survive sebagai bangsa. Karena itu, pembinaan kerukunan antarumat beragama dalam negara Indonesia yang multireligius ini merupakan langkah strategis yang harus diutamakan.
Memecahkan masalah kerukunan (yang merupakan dampak sampingan dari kondisi multireligius bangsa Indonesia) itu tentu tidak tepat dengan cara menghancurkan kondisi aslinya. Sebab keadaan demikian merupakan produk sejarah; atau dalam bahasa agama, ia merupakan takdir Tuhan. Sebelum bangsa Indonesia mengenal agama-agama besar, mereka mempercayai paham-paham animisme, totemisme, dan politeisme. Lalu datanglah agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Dengan datangnya agama-agama itu, terciptalah lapisan-lapisan kultural.
Menurut catatan sejarah, dalam kondisi multireligius itu, berabad-abad lamanya umat beragama dapat hidup berdampingan secara damai, karena para pemimpin agama, masyarakat dan kerajaan (negara) bisa mengelolanya secara baik. Kalaupun terjadi konflik, itu hanyalah kasus yang terjadinya sangat jarang sehingga persentasenya sangat kecil. Itulah faktor penunjang tetap utuhnya eksistensi bangsa Indonesia hingga akhir era Orde Baru.
Namun, dewasa ini, bangsa kita tampak agak lengah. Kasus-kasus kecil akhirnya dapat berubah menjadi besar, karena tidak dikelola baik atau tak segera ditanggulangi. Terlebih bila ada kelompok-kelompok atau kepentingan-kepentingan lain non-agama yang mendompleng padanya atau justru menjadi dalangnya.
Fenomena itu dapat kita saksikan pada kasus kerusuhan di Situbondo, Tasikmalaya, Sanggau Ledo, Tanah Abang, Poso, Maluku dan lainnya, yang merembet pada masalah agama. Padahal, sebelumnya, puluhan atau bahkan ratusan tahun lamanya umat beragama dari berbagai agama di tempat-tempat konflik itu hidup rukun dan damai.
Faktor pemicu munculnya konflik-konflik di atas sangat banyak, jika mau membahasnya. Namun di sini, penting dicatat, konflik-konflik itu sesungguhnya memperingatkan kita agar tak boleh lagi bersikap lengah dan harus mengantisipasi hal-hal negatif yang mungkin saja bisa terjadi di masa depan. Langkah strategis mengata¬sinya antara lain dapat ditempuh dengan cara membina kerukunan umat beragama melalui pembentukan UU yang betul-betul jelas materinya sebagai landasan hukum untuk mengelola kehidupan beragama.
Landasan hukum kuat
Sebelum lahir era reformasi, eksistensi kehidupan beragama dan pengembangannya memang sudah memiliki landasan hukum cukup kuat dalam negara RI; Pertama, Pancasila dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”; Kedua, UUD 1945 dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2); Ketiga, GBHN yang dalam tiap waktu 5 tahun senantiasa disempurnakan; ternyata eksistensi kehidupan beragama dan pengembangannya selalu tercantum di dalamnya dan makin diperkuat; Keempat, aturan-aturan pelaksanaannya berupa UU, PP, Penpres, keputusan menteri, dan sebagainya.
UU yang menyangkut agama misalnya UU tentang Peradilan Agama, UU tentang Perkawinan, dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional. PP yang menyangkut agama misalnya PP No 33/1985 tentang Pokok-pokok Organisasi IAIN. Di samping itu ada Penpres No.1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Selanjutnya ada pula Keputusan Menag No.70/1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama, Keputusan Menag No.77/1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, SKB Menag dan Mendagri No.01/Ber/MDN/MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparat Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-pemeluknya.
Tapi UU yang khusus mengatur kerukunan antarumat beragama belum ada di Indonesia. Padahal, kedudukan UU dalam tata urutan peraturan perundangan yang berlaku di negara RI memiliki posisi sangat kuat, karena ia berada satu level di bawah Tap MPR. Karena itu, dalam rangka lebih memperkukuh landasan hukum kerukunan antarumat beragama, sudah sewajarnya bila muncul pendapat dari beberapa pakar dan beberapa anggota DPR mengenai perlunya segera disusun UU tentang Kerukunan Antarumat Beragama.