Tarian yang Diajarkan Belanda di Haloban Masih Lestari

Tarian tersebut bernama tari langsir. Sekilas mirip dengan tari langsir di Ambon.

Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Fatimah
SERAMBINEWS.COM
ILUSTRASI 

Laporan Yarmen Dinamika I Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Tim peneliti suku Haloban di Kabupaten Aceh Singkil yang berasal dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh mendapatkan informasi bahwa di Pulau Tuwanku itu tentara Belanda pernah mengajarkan sebuah tarian pada pengujung abad 19 dan tarian itu lestari hingga kini.

Tarian tersebut bernama tari langsir. Sekilas mirip dengan tari langsir di Ambon. "Sesuai namanya, langsir, gerakan tarian ini dominan maju mundur atau bolak-balik dan membentuk lingkaran. Menariknya, tari ini dimainkan oleh beberapa pasang pria dan wanita," kata Kepala BPNB Banda Aceh, Irini Dewi Wanti MSP kepada Serambinews.com di Banda Aceh, Jumat (6/11/2015) pagi.

Berdasarkan penelusuran dan wawancara tim peneliti dengan beberapa responden di Haloban baru-baru ini terungkap bahwa tari langsir berbeda sama sekali dengan tarian-tarian adat (di antaranya tari adok, dampeng, dan ambei-ambeiken) di wilayah Aceh Singkil.
Perbedaan ini dapat dimaklumi karena tari langsir bukan murni hasil cipta atau kreasi orang Singkil atau Pulau Banyak, melainkan diajarkan khusus oleh tentara Belanda yang kerap singgah di pulau itu saat berlayar melintasi perairan barat Pulau Andalas atau Pulau Sumatera dalam misi memperluas kekuasaannya hingga ke Kerajaan Aceh.
Tim peneliti mendapat masukan dari tetua di Haloban bahwa tari langsir itu diajarkan Belanda untuk menyambut tamu penting (VIP). "Di Ambon pun seperti itu awalnya," kata Irini Dewi Wanti.

Sejak tarian itu sudah dikuasai muda-mudi Haloban, petinggi-petinggi Belanda yang kemudian merapatkan kapalnya di Haloban selalu disambut dengan tarian langsir. "Pihak Belanda tentu saja sangat menikmati hal ini, karena disambut dengan tarian yang mereka ajarkan," kata Rini, panggilan akrab Irini Dewi Wanti.

Hingga saat ini, kata Rini, muda-mudi Haloban masih menarikan tarian langsir pada even-even budaya tertentu di tingkat lokal dan kabupaten. Cuma, kustum para penari perempuan sudah dimodifikasi, tidak lagi mengenakan baju kebaya, tapi sudah mengenakan pakaian adat Aceh. Sedangkan prianya tetap berbaju putih panjang lengan, bercelana hitam, dan berselempangkan kain songket.

Di antara gerakan tari langsir ini, pasangan muda-mudi yang biasanya enam pasang itu membentuk lingkaran dengan saling menggamit jari tangan penari yang di samping kanan dan kirinya. Kalau di Ambon, penari langsir yang perempuan justru merangkul lengan penari pria. "Tapi di Haloban tarian ini tampaknya sudah mengalami beberapa modifikasi," kata Rini yang membawa video tarian itu dari Haloban ke Banda Aceh.

Tujuan utama misi penelitian yang dipimpin Irini Dewi Wanti itu adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan komunitas Haloban ditetapkan sebagai suku kesembilan di Aceh di luar suku yang sudah diakui: suku Aceh, Anuek Jamee, Gayo, Alas, Singkil, Simeulue, Tamiang, dan Kluet. (#)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved