Cerpen
Gonggongan Anjing dan Suara Tokek
AKU terbangun dari tidur untuk sekian kali setelah bermimpi tentang ibu. Dan itu adalah mimpi buruk
Cerpen | Anjas Parsi
AKU terbangun dari tidur untuk sekian kali setelah bermimpi tentang ibu. Dan itu adalah mimpi buruk. Wajahku yang kering penuh oleh butiran keringat. Kuusap dahi dan wajah dengan telapak tanganku yang kasar. Desiran angin malam yang dingin belum mampu menghentikan peluh yang terus membuat kulit putihku lembap. Mengapa ibu terus saja mengganguku dalam mimpi?
Hawa sejuk menyelusup kamar melalui jendela terbuka, jendela papan batang kelapa. Udara dingin memberi sedikit ketenangan pada batinku yang gelisah. Ya, cuma sentuhan-sentuhan angin pegunungan yang mampu memberi sedikit penawar pada luka hati yang diberikan ibu melalui mimpi.
Saat umur 16 tahun, ayah menceraikan ibu. Aku tidak pernah tahu apa penyebabnya. Padahal Ibu adalah perempuan baik. Tidak pernah aku mendengar ibu mengucapkan kata-kata kasar. Walaupun, kadang kala sikapku membuatnya naik darah. Ia menasehatiku dengan kata-kata lembut.
Biasanya, ketika ayah bertengkar dengan ibu, ayah memarahi ibu dengan kata-kata kasar, lalu ia keluar membanting pintu dan mulutnya terus mengeluarkan umpatan. Tapi ibu cuma tersenyum dan berdoa, agar ia diberi kesabaran untuk menghadapi suaminya yang kasar. Aku heran kenapa ayahku lebih memilih janda empat anak itu, ketimbang ibu.
Setelah orangtuaku bercerai, ibu sering sakit-sakitan. Untuk membantu meringankan bebannya, aku mulai bekerja untuk biaya membeli obat ibu dan keperluan lainnya. Menjadi tulang punggung keluarga, membuatku putus sekolah. Kala itu aku sedih melihat teman-temanku ke sekolah, sementara aku bersama buruh bangunan mengaduk semen. Dan kupikir semua ini harus kuterima dengan dada yang lapang.
Aku selalu mencoba untuk tidak menyakiti perasaan ibu, apalagi membuatnya susah. Aku adalah satu-satunya anaknya. Aku akan selalu mendampingi hidupnya dan memenuhi semua kebutuhannya. Hal-hal kecil selalu kulakukan bila aku berada di rumah; menyuapinya makan ketika ia sakit, mengingatkannya salat ketika azan berkumandang, meskipun aku sendiri jarang shalat. Aku merawatnya seperti ia merawatku sejak kecil. Aku selalu ada di saat ia sedih dan senang.
Gonggongan anjing liar menyalak tak jauh dari sini, membuatku tersentak dari lamunan. Aku bangkit dari tempat tidur beralas tikar usang. Tangan kananku meraih bantal dan kulempar ke jendela terbuka tak berjeruji.
“Dasar anjing gila! Kalian cuma bisa menggonggong di malam hari. Apakah lidah kalian kelu waktu siang?!” teriakku.
Ibu tidak mungkin marah padaku. Entah karena mungkin ia kerap hadir dalam mimpi-mimpiku dan sangat menyayangiku. Aku masih ingat, ketika pada suatu sore saat aku pulang ke rumah, aku memberinya sebuah amplop putih. Ibu menerimanya, kemudian dengan penasaran bertanya.
“Apa ini, Nak?”
“Ini hadiah buat Ibu. Coba ibu buka dulu amplopnya!”
Ibu membuka amplop, wajahnya kebingungan.
“Kertas apa ini?” tanyanya.
Aku menarik nafas dan tersenyum.
“Ibu, itu tiket pesawat yang akan membawa ibu ke Tanah Suci.”
Ibu mematung mendengar kata-kataku. Dia mematung melihat tiket itu. Aku meraih tangan kanannya dengan lembut dan menciumnya. Ibu tersentak saat hidung mancungku menyentuh punggung tangannya. Ibu memegang kedua bahuku, lalu menuntunku berdiri, merengkuhku, dan terisak sedu di pelukanku.
***
Kenangan itu berbeda saat ibu menyapaku lewat mimpi. Apakah ibu menyalahkanku atas kematiannya di Mekah? Bukankah ibu seharusnya berbahagia? Karena orang yang meninggal saat beribadah haji adalah syahid.
“Tidak...! Bukan aku penyebab Ibu meninggal!” hardikku.
Suara tokek menghentikan teriakanku, aku menoleh ke arah suara itu. Namun, tak ada apa pun di sana. Aku melihat ke sisi lain dinding. Tetapi, aku belum menemukannya, hanya ada beberapa cecak merayap malas. Beberapa nyamuk dengan perut kembung terjerat jaring laba-laba. Tapi aku tidak menemukan binatang belang tersebut. Di mana dia bersembunyi?
“Hei pengecut! Kenapa kau tidak menampakkan wajah belangmu? Kau pikir aku tidak tahu kalau kau meledekku dengan suara sengaumu!” teriakku kesal.
Aku mulai lelah mencari binatang itu dan memang tak ada gunanya. Mataku mulai mengantuk. Namun, pikiranku terus menerawang ke dunia entah-berantah. Kupejamkan kedua mata ini, cahaya lampu neon menusuk mataku. Karena terus memimpikan ibu, aku benar-benar tak bisa tidur malam ini. Aku tak ubahnya seperti seekor musang.
Kutatap sebuah cermin di dinding kamar, sesosok wajah berkumis dan berewok yang lebat menatapku. Aku menutup mata merasa takut melihat wajah itu. Aku mencari sesuatu yang bisa kulempar ke cermin dengan bayang wajah seram—aku membenci wajah itu! Tidak ada satu pun benda yang bisa kudapatkan di sini, kecuali bantal hitam bernoda air liurku.
Kepalaku berat, udara seperti menolak masuk ke paru-paru. Jantungku terasa berhenti berdetak, pandangan kabur, aku pun ambruk di atas tikar.
***
Kilatan cahaya putih menerangi kegegelapan. Sayup-sayup mataku menangkap sesosok perempuan tertatih-tatih berjalan mendekatiku. Lampu neon di kamar berkedip-kedip dan membuat pandanganku kabur. Perempuan tua itu kini berdiri di hadapanku. Dia adalah ibuku. Kuraih tangannya untuk kucium, tapi ia menyentak tanganku.
“Kenapa aku tidak boleh mencium tangan Ibu?” tanyaku tak rela.
“Kamu tidak pantas untuk mencium tangan Ibu,” hardiknya.
“Apa salahku, Ibu?”
“Kamu telah membohongi Ibu,” bentaknya dengan sorot mata melebar.
“Aku tidak pernah membohongi, Ibu,” jawabku membela diri.
Sebuah tamparan mengenai wajahku.
“Ini, kebohongan terbesarmu pada Ibu,” Ibu melempar sebuah amplop ke arahku.
Aku mengambil amplop itu di lantai. “Tiket ini untuk Ibu!” ucapku seraya memperlihatkan amplop padanya.
“Ibu tidak mau menunaikan ibadah dengan uang haram!” bentaknya terisak.
Ibu membalikkan badannya menuju pintu dengan langkah tertatih-tatih meninggalkanku diam seribu bahasa. Tanganku menggenggam erat amplop putih itu dengan perasaan hampa.
“Ibu tunggu!” seruku.
Tidak ada jawaban, selain gonggongan anjing menyalak di kejahuan. Suara anjing-anjing itu semakin lama semakin menusuk telinga. Aku pun menjerit, berteriak, melolong meniru binatang-binatang itu.
Aku pun tersentak dari tidurku!
Tubuhku basah oleh peluh. Aku berdiri dan menatap ke cermin. Kuperhatikan wajahku—rambut ikal panjang dan lusuh—kumis tebal dan berewok lebat yang semrawut. Aku menatap canggung ke wajah. Pipiku kemerah-merahan seperti baru saja ditampar. Aneh, pikirku. Aku duduk bersimpuh di lantai.
“Ibu, maafkan aku! Karena memenuhi impianmu naik haji dengan uang hasil penjualan sabu-sabu. Maafkan aku, Ibu! Aku benar-benar khilaf,” aku terisak dan menangis.
Gonggongan anjing menyalak di luar. Suara jerit tokek bergema di kamar. Makin lama suara itu makin memekakkan telinga.
“Hei anjing dan tokek jahanam, aku tidak berbicara dengan kalian! Kalian benar-benar telah membuatku marah. Malam ini aku akan mencari dan membunuh kalian!”
Aku berjalan keluar kamar yang terasa penjara bagiku. Aku akan tepati janjiku pada kedua binatang terkutuk itu. Aku akan membunuh mereka, biar suara mereka tidak lagi mengusikku. Kakiku tidak dapat digerakkan, sesuatu menarik kaki kiriku ketika hendak mencapai pintu. Aku menoleh ke belakang, sebuah rantai besi telah mengikat kakiku. Simpul ujungnya terikat pada tiang kayu yang tertancap di sudut kamar.
“Kenapa kalian mengikat kakiku? Aku ingin keluar mencari anjing dan tokek kemudian akan kubunuh mereka!” teriakku. “Jika kalian tidak mau melepaskanku, maka kalian pun akan kubunuh!”
“Biarkan aku pergi! Aku tidak mau tinggal di sini!” teriakku.
Kupukul dinding kamar, kakiku menendang-nendang bantal hingga kapas menyembul keluar memenuhi kamar. Aku berteriak berkali-kali. Kucakar-cakar wajah dan tubuhku. Mulutku terus mengumpat dan menyerapahi semua yang kulihat dan kudengar di sekitarku.
Pintu kamar terbuka. Seorang lelaki tua berdiri dan menatapku.
“Siapa kamu?” tanyaku membentak.
“Pamanmu.”
“Bisakah Paman melepaskan rantai ini?” ucapku mengiba.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya dengan lembut.
“Aku mau keluar dari sini. Aku akan membunuh anjing-anjing itu!”
“Baiklah, aku akan lepaskan rantai itu. Tapi kamu harus memenuhi permintaanku untuk meminum obat ini.” Ia memperlihatkan kantong kecil di tangannya.
“Memangnya aku sedang sakit?” tanyaku tertawa. “Maukah Paman mencarikan kedua binatang itu?” lanjutku.
“Minumlah dulu obatnya! Nanti aku akan bantu mencari binatang itu untukmu!” ujarnya.
Aku mengangguk, ia memberikanku dua pil obat dan segelas air. Aku menatap curiga pada paman ketika hendak meminum obatnya.
“Minumlah! Setelah kamu minum obat, aku akan melepaskan rantai dan menemanimu mencari binatang itu,” ucapnya.
Aku minum dua pil itu. Tak lama berselang, aku mulai merasa pikiranku tenang. Aku tak memikirkan lagi tentang anjing dan tokek. Tubuhku merasa lemas dan mata terasa lelah. Sayup-sayup aku mendengar pamanku berkata, “Kurasa lebih baik cepat-cepat membawanya ke Rumah Sakit Jiwa. Sakitnya sudah parah. Sabu-sabu telah membuatnya gila....”[]
*Anjas Parsi adalah anggota Komunitas Sastra Lhokseumawe (KSL) di Dewan Kesenian Aceh Lhokseumawe.