Cerpen
Ruang 7
SAYA, mungkin sama seperti kalian yang membaca cerita ini, tidak mengerti persis, mengapa letak Ruang 7 itu mesti di sudut
Karya Sulaiman Tripa
SAYA, mungkin sama seperti kalian yang membaca cerita ini, tidak mengerti persis, mengapa letak Ruang 7 itu mesti di sudut. Letaknya di bawah tangga. Tepatnya sebelah kiri tangga yang dipergunakan sebagai jalur darurat bila ada kebakaran atau semacamnya. Di sampingnya ada satu toilet. Setiap kali saya datang ke sana, toilet itu tidak pernah berbau harum. Di sebelah kanan juga ada tangga. Satu lagi di tengah persis, masuk dari pintu depan berhadapan dengan tangga utama itu.
Saya tidak mengada ada cerita, dengan Ruang 7 ini. Amatan saya sebenarnya sederhana. Bermula dari posisi saya selaku Pencatat Lihai, aku selalu berusaha ke gedung itu. Setiap ada kasus. Bahkan untuk sidang yang tidak terlalu penting pun, saya sering ada di sana. Siapa tahu, walau bukan kasus penting, tetapi ada orang penting yang datang. Begitu pikir saya, selalu.
Ide awal untuk ikut semua sidang, sesungguhnya juga bukan murni dari pikiran saya. Suatu pagi, minum kopi di kedai Simpang Empat, tiba tiba seseorang menghampiri meja tempat saya duduk. Ia memperkenalkan dirinya bernama Luka. Setelah kutelusuri kemudian, ia termasuk Penasehat Orang Hitam. Ia yang membisik kepada saya soal sidang ini. "Pak Pere jangan hanya ke sini waktu ada kasus. Kalau sering sering ke gedung bisa dapat untung banyak. Soalnya sering datang orang penting," ujar Luka, pagi itu.
Terus terang, saya awalnya agak terkejut. Ia tahu nama saya. Setelah bertemu dengan Bara, seorang petugas kebersihan lantai di Kantor Pengadil itu, saya menjadi tahu lebih dalam soal Luka. Masalah akrab dengan Bara, itu juga bukan sesuatu yang sulit. Saya mendapatkan banyak ilmu strategi untuk mendapatkan catatan dari orang orang tidak penting. Dari Bara inilah, selaku orang tidak penting, saya mendapatkan banyak catatan penting.
Dan kalau kalian melihat Bara, mungkin tidak percaya ia seorang petugas kebersihan lantai. Soalnya setiap hari, walau sedang bertugas, tetap berambut cepak, berbaju safari hitam, dan selalu memegang radio hand talky. Selama mengenalnya, saya tidak pernah melihat ia dimarahi. Atau paling tidak diberikan peringatan mengenai kondisi lantai yang sering berlumut. Jangan jangan tidak setiap hari ia sempat membersihkannya.
Bara ini tahu banyak tentang penghuni dan tamu tamu yang datang ke gedung ini. Ia persis seperti petugas protokoler yang menyiapkan simfoni pertunjukan, sehingga untuk siapa yang datang sangat paham musik apa yang diperdengarkan. Bagi saya, ia bukan orang biasa.
Dengan pengalaman inilah, alasan saya mengapa saya selalu ke gedung ini. Alasan ini pula yang saya jelaskan kepada dua orang lain yang menanyakan hal yang sama: Perihal mengapa saya setiap hari ke sini. Mereka adalah Halu dan Sawi. Halu, seorang polisi pinggir kota, tentu mesti tahu kondisi siapa saja di gedung ini. Begitu juga dengan Sawi, selaku pemeriksa kasus. Ia tidak ingin kecolongan. Makanya ia juga ingin mengetahui persis siapa saja yang datang. Termasuk saya yang sering terlihat di sana.
Begitulah alasan saya. Berbekal informasi mereka, saya memang mendapatkan apa yang mereka ungkapkan. Kenyataannya saya beberapa kali melihat dan berjumpa dengan orang penting, yang datang pada kasus yang menimpa bukan orang penting.
Suatu kali, saya menulis apa yang saya lihat. Saya hanya menulis orang penting yang datang dan duduk menyaksikan orang orang yang tidak penting sedang diadili. Ketika mengikuti sidang, ia melihat kemana saja, ia melihat siapa saja. Itu yang saya tulis. Saya menggambarkan barisan dan urutan kursi tempat ia duduk. Bahkan ketika kasus dibacakan, tubuhnya seperti apa, saya gambarkan. Hanya itu yang saya tulis. Tidak lebih. Tidak ada analisis. Tidak ada tafsir.
Ketika tulisan sudah keluar, ternyata saya kena marah dari atasan. Saya bingung. Saya bahkan berusaha membela diri. Tetapi atasan saya memiliki kekuasaan besar yang menentukan saya bisa bekerja. "Pokoknya jangan tulis lagi," perintahnya. Saya pun mengangguk.
Kejadian ini dengan tanpa sepengetahuan siapa pun, saya tanyakan dengan Bara. Terutama karena saya ingin tahu siapa saja yang masuk dalam kategori orang penting. Dengan bekal dari Bara, saya jadi lebih bisa memilih milih.
Untuk hari hari berikutnya, saya memang selalu hadir. Walau alasan adanya orang penting, namun saya sudah menahan diri.Apalagi, menurut atasan saya, banyak pembaca yang tidak perlu tahu suasana apa yang ada di dalam gedung.
***
Entah kenapa. Setiap kali masuk pintu utama Rumah Pengadil ini, bawaannya selalu ingin buang air kecil. Dan ingin buang air kecil selalu di toilet sudut itu. Bukan toilet yang lain. Padahal di Rumah Pengadil, ada tujuh toilet: sebelah kiri pintu ruang sidang, dua toilet, masing masing untuk laki laki dan perempuan; lalu di lantai dua, dekat rak buku, ada dua; di ujung kanan, dua toilet khusus untuk para Pengadil yang tidak boleh digunakan untuk pengunjung; plus, toilet di sudut yang baunya menyengat, itu, yang pesingnya tajam, menusuk hidung.
Anehnya, setiap kali saya ke sana, terutama setelah saya mendapat banyak informasi, selalu saya berpapasan dengan Bara yang sudah berbaju kemeja kotak kotak. Dengan celana karet biru tua yang di lutut sebelah kanan ada kayak oli bekas. Tidak lagi berbaju biasanya. Saya semakin bertanya tanya mengenai baju safari yang sudah tidak terlihat lagi.
Lalu ketika sedang mengikuti satu kasus, saya berjumpa dengan lelaki berambut keriting. Karena dalam kasus berikutnya, saya juga berjumpa dengan lelaki ini, ia tidak pernah senyum, saya juga menjadi ingin mencari tahu. Namanya kemudian saya tahu, Naji, seorang Dewan Kota. Setiap kali saya ke toilet, ia mengangguk pelan. Ia selalu menanyakan, "Mengapa tidak toilet sebelah kiri pintu ruang sidang saja?" Setiap kali ia bilang begitu, saya senyum ke arahnya, dan ketika dia berbalik arah, saya selalu bisa melihat pintu ruang yang sedikit terbuka, sehingga daun pintu merah muda yang sudah berjamur meliuk keluar. Bunyi kreeeh kreeh, terdengar dari dalam, semacam suara kipas angin tua yang tak pernah diservis.
Hanya satu kali, ketika keluar, saya berpapasan dengan seorang Pengadil yang cukup saya kenal, keluar dari ruang yang pintunya sedikit terbuka itu. "Bang Depe," kali ini saya yang lebih dulu menyapa. Ia menoleh ke arah saya, seperti tergesa dan terkesan tidak melihat saya. "Nanti ya," jawabnya. Walau tidak mengerti, saya mengangguk.
***
Untuk kasus yang disidangkan pada hari Selasa, tanggal 6 Februari, ada kesan aneh dari awal. Atasan tidak pernah membatasi saya datang ke Gedung Pengadil. Namun tidak hari itu. Sejak pagi pagi, ia sudah menelepon saya dan diminta menghadap. Begitu saya membuka pintu ruangnya, kata kata pertama keluar dari atasan saya, "Kamu tidak usah ke gedung hari ini, ini perintah," katanya, tegas.
Saya justru tergoda untuk datang. Sesampai di sana, saya mendapatkan informasi akan ada pembacaan putusan pengadil untuk seorang staf tata usaha dalam kasus pembelian sebuah kendaraan dinas kepala berharga Rp 11,8 miliar. Saya tidak masuk ke dalamnya. Saya tidak mendengar apa yang dibacakan dan diputuskan. Dari balik daun pintu coklat toilet pinggir, saya hanya mencatat orang orang yang datang. Hanya mencatat. Sebelum orang lain ke luar, saya terlebih dahulu meninggalkan gedung ini.
Saya pulang ke rumah. Bersamaan dengan datangnya seorang pengantar surat dari kantor. Ia mengantar sebuah amplop. Ketika saya buka, ada sejumlah uang, dengan selembar surat di baliknya, berisi pemutusan hubungan kerja.
*Sulaiman Tripa, sastrawan dan dosen di Universitas Syiah Kuala. Tinggal di Banda Aceh.