Cerpen
Lapar
AIR bah kuning kental itu berasal dari puncak Gunung Damaran
Karya Vera Hastuti
AIR bah kuning kental itu berasal dari puncak Gunung Damaran. Selama beberapa hari menerjang apa yang menghadang dan menggenangi lahan-lahan yang dilaluinya. Sejauh mata memandang, akan tampak di setiap sudut gundukan tanah liat, pasir dan sampah-sampah pohon yang tumbang. Banyak rumah yang hanyut bersamaan dengan bah itu. Ada pula rumah yang setengahnya digenangi air. Dan sebagian lagi hanya menyisakan atap-atap.
Air bah itu telah menghanyutkan segalanya.Batang-batang kopi arabika yang tengah berbuah ranum kini lenyap tak berbekas. Juga tanaman palawija yang baru saja selesai di tanam. Kini air bah itu hanya meninggalkan gubuk-gubuk reyot, tempat berlindung bagi segelintir manusia yang selamat dari bencana itu.
Pada sebuah gubuk reyot, Banam bertahan bersama istri dan ketiga anaknya. Suara angin dan jangkrik terdengar berpadu. Udara dingin mulai memasuki pori-pori gubuk yang rapuh. Pada lantai beralaskan tikar pandan, Rapiah tertidur dengan menggamit ketiga anaknya. Raut muka perempuan kurus itu begitu lelah. Abdul, bayi berusia tiga bulan, tak pernah lepas dari dekapan ibunya. Di lengan kirinya, Resti anak kedua, bersandar dengan lemah. Sesekali dari perutnya yang buncit terdengar gemuruh tanda lapar. Anak itu mewarisi kecantikan ibunya. Pipinya bulat, berhidung bangir dan mempunyai lesung pada kedua pipinya. Tepat di pangkuan Rapiah, si sulung Amin, lima tahun, terlelap sembari mendekap mainan kayu.
Banam menikahi Rapiah di usia yang masih sangat muda. Ia adalah pekerja keras. Hasil panen kopi melimpah setiap tahunnya. Baru-baru ini, keluarga ini diuntungkan oleh limpahan dua kali panen cabe pada saat harga tengah meroket. Rapiah seorang yang sangat hati-hati dalam mengelola pengeluaran. Dia pintar berhemat. Tidak lama setelah anak kedua mereka lahir, keluarga Banam berhasil membangun sebuah rumah semi permanen.
***
Langit merah yang semula berarak di langit timur kini mulai berubah menjadi hitam pekat. Rapiah menyalakan api. Ia sengaja menyibukan dirinya seolah-olah sedang menyiapkan makanan. Dia melakukannya untuk mengelabui anak-anaknya. Telah dua hari mereka tak makan. Tak ada lagi sedikitpun sisa makanan yang dapat diolah. Diciduknya air hujan yang dingin dan dicampurkannya dengan beberapa bongkahan batu.
“Ibu, lapar,” suara Amin mengejutkan Rapiah.
“Sabar ya Nak, ibu sedang menanak nasi. Mainlah dulu dengan adikmu.”
Seketika mata Amin bersinar demi melihat tungku yang sedang membara. Mendengar gemeritik didihan air dalam tungku membuat rasa lapar anak kecil itu sedikit tertahan membayangkan sebentar lagi nasi akan masak. Dengan berlari kecil ia membagi kabar itu pada adik perempuannya.
Banam memperhatikan polah Rapiah dengan hati terluka. Ia merasa terperosok ke lembah yang paling dalam. Banam tertunduk pilu, ia belum bisa bangkit untuk berbenah, tumpukan material berupa pasir dan tanah liat yang dibawa oleh air bah itu telah menghancurkan semua lahan perkebunannya. Tak ada sebatang tanaman pun yang tersisa. Hendak menanami tanaman barupun sangat mustahil, karena pada tanah yang berpasir tak ada pohon kopi yang mau tumbuh. Sedari siang tadi ia telah berusaha mencari pinjaman kemana-mana. Tapi tak ada seorangpun yang hirau.
Di sisi kanan gubuk, Rapiah tengah sibuk menyusun ranting-ranting kayu bakar yang ia dapatkan siang tadi.
“Bang, tak ada lagi yang bisa kutanak malam ini untuk mengganjal perut, mungkin bang Rusli masih mau meminjamkan uang?”
“Untuk meminjam uang lagi pada bang Rusli, aku benar-benar malu. Hutang kita yang sebelumnya saja belum dapat dilunasi sampai sekarang,” Banam menjawab dengan berat.
“Tapi Bang, bagaimana mungkin kita diam membiarkan perut anak-anak kecil itu kosong.”
“Aku akan mencoba menemui bang Bakar, mudah-mudahan ia bisa menolong.”
Rapiah memandangi punggung Banam yang menjauh, ia memindahkan periuk besi yang menghitam pada tungku tanah. Telah berminggu-minggu tungku hitam itu membeku. Bantuan masa gawat darurat bencana dari pemerintah berupa beberapa sak beras, mie instan, sarden dan air mineral telah lama habis.
Malam kian larut, anak-anak kelaparan itu akhirnya tanpa sadar telah tertidur karena terlalu lama menunggu. Rapiah mematikan perapian pada tungku tanah yang menghitam. Gemeretak batu pada periuk tembaga itupun berhenti dan hanya menyisakan aroma asap. Ia mengelus rambut Amin dan Resti dengan hati-hati. Kini tubuh anak itu begitu kurus, serupa kulit pembungkus tulang.
***
Menjelang fajar, Rapiah terbangun. Dalam remang, tangannya meraba-raba satu persatu anaknya. Kecemasan luar biasa mencekam hatinya saat ia merasai tubuh Amin. Tubuhnya begitu dingin. Berulang kali Rapiah menggoyang tubuh anak lelakinya itu. Tapi lelaki kecil itu hanya diam tak bergerak.
Rapiah menjerit dan melompat sembari menggendong Amin. Jeritannya membangunkan orang-orang di sekelilingnya. Tak reda ia memanggil-manggil nama anaknya. Menepuk-nepuk punggungnya berharap ia hanya tidur terlalu lelap. Dengan kepedihan yang dalam ia memeluk Amin. Air mata tak berhenti membasahi pipinya. Sedangkan di ujung jalan, Banam tengah bergegas pulang. Langkahnya ringan dan senyumnya merekah dengan sebungkus plastik hitam berisi makanan di dalamnya.
*Vera Hastuti, seorang guru di SMAN 1 Takengon