Opini
Stop ‘Pembangunan WC’ di Aceh
HARIAN Serambi Indonesia edisi Senin (22/2/2015) menyajikan laporan multiangles dengan empat judul berita
Oleh Hasan Basri M. Nur
HARIAN Serambi Indonesia edisi Senin (22/2/2015) menyajikan laporan multiangles dengan empat judul berita yang menyesakkan dada di halaman utama, yaitu: Pertama, Uang Minum SKPA Rp 86 M. Kedua, APBA, Kenduri Besar Para Elite. Ketiga, Sebagian Jadi Lahan Korupsi. Keempat, Asisten III: Patuhi Hasil Evaluasi Mendagri. Semua berita ini terkait isi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2016 yang cenderung konsumtif, dan tentu saja bermuara ke dalam WC.
Berita-berita itu disajikan kepada publik berdasarkan catatan evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri terhadap APBA 2016 tanggal 17 Februari 2016 yang ditujukan kepada Ketua DPRA dan Gubernur Aceh. Intinya, Mendagri Tjahyo Kumolo meminta elite Aceh untuk mengurangi kegiatan foya-foya alias lambong-lambong kupiah dalam APBA 2016.
Anehnya, seperti dikatakan oleh Bardan Sahidi, kejadian seperti ini selalu terulang saban tahun (Serambi, 23/2/2016). Jika tahun ini Mendagri mempersoalkan dana kenduri yang membengkak, pada tahun lalu Mendagri menyorot penggunaan APBA yang dipakai untuk membeli keranda, BH, celana dalam, penimbunan kuburan dan sebagainya. Bisa jadi, tahun depan Mendagri akan menjadi korektor untuk program pembelian lipstick, gaun pengantin, mas kawin hingga paket bulan madu. Duh!
Pada sisi lain, kita patut mempertanyakan fungsi anggaran (budgeting) dan pengawasan (controlling) DPRA. Sebab, jauh-jauh hari sejak pengujung 2015, pihak eksekutif melalui Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) telah berulangkali duduk bersama dengan DPRA membahas RAPBA 2016. Bahkan, terkadang pembahasannya dilakukan secara marathon hingga larut malam.
Masyarakat Aceh pun pantas bertanya-tanya kepada pimpinan dan anggota DPRA, kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang melihat kejanggalan ini ketika pembahasan dulunya? Menurut Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gerak) Aceh, anggota DPRA tidak bekerja secara optimal pada saat pembahasan anggaran. Sebaliknya, mereka lebih fokus mengawal “jatah droe” lewat dana aspirasi. Dana aspirasi itu dikabarkan mencapai Rp 10 miliar per orang. Khusus “jatah” unsur pimpinan disebut-sebut mencapai Rp 25-40 miliar per orang, sehingga total dana aspirasi mendekati angka Rp 900 miliar. Wow, fantastis!
Dana otsus
Sejak 2008 hingga 20 tahun ke depan Aceh mendapat jatah dana otonomi khusus (otsus). Dana ini diberikan guna memacu pembangunan Aceh yang vakum akibat konflik panjang. Dana otsus dipilah dalam dua fase; 15 tahun pertama sebesar 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, dan 5 tahun kedua 1% dari DAU Nasional. Tahun 2016 ini merupakan tahun ke-9 bagi Aceh menikmati dana otsus.
Ibarat tabungan di bank, jatah dana otsus Aceh semakin berkurang. Setiap tahun Aceh mendapat dana otsus antara Rp 3,5-7,02 triliun (Dana Otsus Menurut UU, Advetorial Serambi 14/8/2015). Kalau rata-rata setiap tahunnya mendapat Rp 5,5 triliun, artinya hingga 2015 Aceh sudah menghabiskan dana otsus sebanyak Rp 44 triliun. Nah, patut direnungi semua pihak, apa yang telah dihasilkan dari dana otsus sebanyak itu dalam delapan tahun terakhir?
Dengan bahasa lain, selama delapan tahun terakhir apa saja proyek monumental yang telah dibangun dengan dana otsus? Proyek monumental itu sejatinya adalah yang berdampak ekonomi secara massal dan bermanfaat untuk jangka panjang, seperti jalan tembus antar kabupaten, jalan tol, pelabuhan, irigasi raksasa, cetak sawah baru, industri prosesing perikanan, peternakan, perkebunan, peningkatan SDM sesuai kebutuhan masa depan Aceh dan seterusnya.
Menurut UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), penggunaan dana otsus diamanahkan untuk lima program berikut: 1). Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur; 2). Pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan; 3). Peningkatan pendidikan; 4). Kesehatan, dan; 5). Sosial dan keistimewaan Aceh.
Merujuk pada UUPA, maka alokasi dana otsus untuk kenduri, beli BH, celana dalam, tanah kuburan, dan kegiatan sejenis lainnya tidak mempunyai landasan sama sekali. Dapatkah kegiatan-kegiatan tersebut dianggap sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan atau peningkatan kualitas pendidikan? Begitulah kerancuan terjadi selama bertahun-tahun sebagai konsekuensi logis tidak tersedianya master plan dana otsus, sehingga bermunculan penafsiran liar “suka-suka gua” dari SKPA dan DPRA yang ngotot meminta “hak reman” berjudul dana aspirasi.
Mengalir ke WC
Anggaran pembangunan Aceh yang dihamburkan untuk makan, minum dan aneka proyek lambong-lambong kupiah lainnya akan terbuang percuma. Anggaran besar untuk aneka “kenduri” ini akan mengalir sia-sia ke tabung (septic tank) “WC”. Sungguh disayangkan jika uang ratusan miliar rupiah mengalir sia-sia ke “WC”. Tak ada cara lain, pemimpin Aceh, dalam hal ini Gubernur/Wakil Gubernur, dengan tangan besinya harus menghentikan penghamburan uang rakyat ke lubang “WC”. Bila perlu hentikan pembangunan “WC” untuk Aceh sampai aneka proyek berorientasi “WC” mereda.
Aceh saat ini sedang darurat ekonomi. Ekonomi Aceh sangat bergantung pada APBA, APBK dan APBN. Ketika proyek negara belum direalisasikan, maka perekonomian rakyat cenderung vakum dan rakyat hidup dalam kondisi apoh-apah. Ironis memang, ini terjadi tatkala Aceh masih memiliki dana otsus. Nah, apa jadinya pada 2028 tatkala dana otsus sudah habis dan sebagiannya tersedot ke “WC”?
Untuk itu, Gubernur Aceh dan Wakil Gubernur Aceh harus segera bertindak tegas dengan memerintahkan agar APBA dimanfaatkan secara optimal sebagaimana peruntukan yang telah dirancang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Alokasi anggaran untuk kegiatan yang tidak merujuk pada dokumen perencanaan harus diabaikan karena sulit untuk mengukur tingkat kesuksesannya.
Akhirnya, kita tentu tak berharap para pemimpin Aceh yang sedang berkuasa saat ini menjadi bahan cacian bagi generasi 10-20 tahun mendatang, karena telah membiarkan dana pembangunan yang seharusnya digunakan untuk memakmurkan rakyat justru mengalir ke “WC”. Semoga generasi penerus tidak menerima akibat dari aliran dana besar-besaran ke “WC”, berupa kesulitan menyedot “WC” yang tersumbat. Semoga!
* Hasan Basri M. Nur, Dosen Prodi Jurnalistik pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: hb_noor@yahoo.com