KUPI BEUNGOH
Catatan untuk Dakwah Salafy, Hendaklah Lebih Toleran!
Silahkan beramal dengan keyakinan sendiri, namun kurangilah kebiasaan menuduh bid’ah pada amalan umat Islam yang lain, karena sudah pasti hal semacam
Itulah contoh nyata penyebab keributan di tengah-tengah internal umat Islam dewasa ini, yaitu oleh karena Al-Bani telah dianggap lebih hebat dari semua ulama mazhab dan para perawi hadis sekalipun. Seolah, Imam Mazhab dan para perawi hadis tidak ada yang paham hadis sehingga mengambil hadis-hadis yang pada perkembangan kemudian dianggapDha’if oleh Al-Bani.
Seharusnya Lebih Toleran!
Slogan kembali kepada Alqur’an dan hadis, atau ajakan beramal sesuai Sunnah yang biasa didengungkan kalangan Salafy sesungguhnya tidak salah. Yang salah adalah saat kalangan Salafy mulai saling menyalahkan dengan tuduhan bid’ah di luar apa yang diyakininya.
Seharusnya, jika khazanah fiqih yang kaya bisa dipahami dengan baik, maka tuduhan bid’ah tidak akan keluar begitu cepatnya.
Penting dipahami bahwa mengikuti pendapat para Imam Mazhab dan ulama-ulama pengikutnya, bukanlah berarti mengangkangi Alqur’an dan sunnah. Mengikuti Alquran dan sunnah adalah termasuk memahami universalitas ajaran Islam dan landasan hukum lainnya yang bersumber dari kedua sumber utama ini.
Oleh sebab itu, maka dalam proses mengikuti Alquran dan hadis, kita tidak bisa memungkiri keharusan untuk mengikuti landasan hukum Islam lainnya, seperti Ijma’, Qiyas yang disepakati mayoritas ulama, bahkan terdapat landasan hukum berikutnya yang dipedomani oleh sebagian ulama lain seperti Mashalihul Mursalah, Qaulu Sahabi, Istihsan dan seterusnya.
Mengikuti landasan-landasan hukum semacam Ijma’, Qiyas dan lain-lainnya yang disepakati ulama, adalah bagian dari ketentuan dalam proses mengikuti Alquran dan Hadis. Sampai di sini, jelas bahwa kita tidak bisa menolak keberadaan ulama mazhab. Sebagai contoh, ketika kita ingin mengikuti Sunnah misalnya, timbul pertanyaan, siapa yang paling memahami Sunnah Nabi? Apakah kita sendiri? Tentu bukan! Jawabannya adalah Sahabat Nabi, karena merekalah yang telah membersamai Rasulullah di masa hidupnya. Lalu, ketika kita mengikuti sahabat Nabi, apakah kita sudah mengangkangi Sunnah dan menjadi bid’ah? Tentu bukan bid’ah, karena sahabat Nabi adalah menjadi perantara bagi kita (yang hidup di zaman yang jauh dengan masa Nabi) dalam memahami Islam. Begitu juga posisi para ulama-ulama mazhab yang upayanya memahami ajaran Islam dalam berbagai bidang telah dilator belakangi oleh keluasan ilmu mereka dalam berbagai bidang.
Itulah sebab, silsilah sanad keilmuan Islam dan sifatnya yang integratif antar ilmu-ilmu itu selalu menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam Ahlusunnah wal Jama’ah dan mazhab-mazhab fiqh Islam.
Sampai di sini, catatan dan masukan saya untuk kalangan Salafy, tidak masalah sama sekali jikapun kalian telah menjadikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pelopor “mazhab baru”, dengan syarat hargailah ulama-ulama lain yang telah dijadikan rujukan dalam memahami praktek ajaran agama oleh umat Islam.
Silahkan beramal dengan keyakinan sendiri, namun kurangilah kebiasaan menuduh bid’ah pada amalan umat Islam yang lain, karena sudah pasti hal semacam itu akan menjadi biang kerapuhan soliditas internal umat Islam. Toh, dalam banyak hal, umat Islam lain juga melakukan amalan serupa seperti kalian, seperti sunnah memelihara jenggot dan lain-lain.
Jadi, solusi kebangkitan Islam di tengah dinamika perbedaan yang ada, adalah tepat seperti yang dikatakan Rasyid Ridha, “natasamuh bima ikhtalafna, wa nata’awwun bima ittafaqna”, yaitu kita saling toleran atas apa yang kita perselisihkan, dan saling tolong menolong atas apa yang kita sepakati. Wallahu a’lam bishshawab.
[TEUKU ZULKHAIRI, adalah Mahasiswa Program Doktor UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Sekjend Pengurus Wilayah Badan Koordinasi Mubaligh Indonesia (PW Bakomubin) Provinsi Aceh.
***
[Redaksi menerima tulisan Kupi Beungoh. SETIAP KONTEN YANG DIBUAT MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS. Kirim ke email: kupibeungoh@serambinews.com]