Cerpen
Ramalan
BUKU-BUKU tersusun rapi dirak. Di samping lemari baju, terdapat sebuah cermin yang
Karya Ikhsan Hasbi
BUKU-BUKU tersusun rapi dirak. Di samping lemari baju, terdapat sebuah cermin yang telah tiga turunan masih dipergunakan, terlihat pudar, dan bintik-bintik coklat setiap tahunnya semakin bertambah. Baru saja ia menyisir rambut yang dilumur minyak amla dan mengoleskan minyak wangi aroma mawar itu di punggung tangan dan diratakan pada maju kemejanya. Minyak wangi itu dibelinya sekitaran masjid, dijual usai shalat Jumat.
Pagi ini, seperti biasa, sudah seharusnya ia berangkat ke sekolah. Satu demi satu murid-murid sekolah bermunculan dari selimut halimun yang masih mengapung di jalanan berbatu dan persawahan dataran tinggi.
Sepatu yang nyaris dua minggu lupa dicuci sudah mengeluarkan bau masam, yang jika dicium ayam ngidam bakalan pingsan. Dari jarak dua meter bau sepatu itu masih tajam. Adnan kembali masuk ke kamar dan meneteskan minyak wangi. Diangkatnya sepatu ke depan hidung, bau masam sedikit lenyap. Nyaris setiap hari selama sebulan ini hujan tak henti-hentinya turun. Pakaian dan apa pun yang dicuci lalu dijemur, tak kunjung mengering. Demi merasakan dampaknya, banyak yang memilih mengikat tali di dapur dan memajang pakaian cucian di sana, meski pada akhirnya mereka sadar, asap tungku membuat baju bertambah kusam.
Kaus kaki dijinjit jijik. Mengingat Sabtu hujan deras sewaktu pulang sekolah dan kaus kaki itu lupa dijemur, membuat Adnan berpikir untuk tidak mengenakan sepatu hari ini. “Tidak. Ini tidak baik. Anak-anak akan mendapat alasan untuk ikut-ikutan dan mengangkangi aturan. Guru harus menjadi contoh teladan bagi muridnya.”
Adnan sedikit lebih banyak menitikkan minyak wangi ke dalam sepatu dan kaus kakinya, hingga bau tak sedap itu benar-benar lenyap. Baru saja ia usai mengikat tali sepatu, Adnan teringat buku catatan yang lupa dimasukkan ke dalam tas. Ia kembali ke kamar sambil menggerutu.
Anak-anak sekolah yang membunyikan bel sepeda mengingatkannya ada banyak waktu yang dihabiskan berkutat di rumah mengurus keperluan sebelum ke sekolah. Ia menarik buku berwarna kuning dari rak tanpa teliti. Langsung dimasukkan ke dalam tas. Diseruputnya sedikit teh manis yang nyaris dingin di atas meja. Adnan bergegas. Kemudian ia menimbang-nimbang, apa payung mesti dibawa.
Diliriknya langit yang biru gelap. Sulit ditebak. Ramalan cuaca lebih sering keliru. Adnan melangkah lebar supaya lebih cepat sampai ke sekolah. Jam menunjukkan pukul 07.45, sedangkan cuaca menunjukkan tanda-tanda sepagi ini ia akan terlambat.
Tepat saat jarak yang masih tersisa satu kilometer lagi, hujan langsung menyerbu. Anak-anak langsung merubung ke bawah atap atau lesehan pinggir jalan. Di antara wajah-wajah dan pakaian yang sedikit kuyup, tampaklah Adnan yang paling tinggi di antara mereka. Dari rambutnya meleleh minyak yang kemudian lengket di wajah.
Menunggu hujan reda lebih membosankan daripada menunggu durian jatuh. Menunggu hujan lebih menjemukan daripada tidur-tiduran. Namun menunggu selalu menjadi masalah, jika tanpa jalan pintas dari otak yang cerdas, suasana hanya bertambah muram dengan kebosanan dan hal-hal yang tidak produktif lainnya.
Adnan meraih buku catatannya ketika yang diambilnya tadi adalah sebuah buku lama yang berbicara tentang ramalan-ramalan, yang dibelinya dari pasar loak, saat ia masih tertarik dan percaya khayalan semacam itu.
Demi dilihatnya beberapa murid yang ikutan berkerubung di bawah lesehan, Adnan mencoba memanfaatkan suasana hujan ini untuk berbagi dengan murid-murid itu.
Terlihat wajah-wajah antusias bocah-bocah kampung itu saat diajak. Mereka duduk memperhatikan Adnan yang menyandarkan punggungnya ke salah satu penyangga. Bau lembab mengudara. Dipegangnya buku bersampul kuning itu, Adnan bertanya, “Apa yang kalian tahu tentang ramalan?”
Mereka saling melirik. Sebagian menopang kepalanya dengan tangan yang tegak di bawah dagu, di setiap kepala seolah muncul gelembung-gelembung tanda tanya. Sesaat kemudian gelembung-gelembung itu meletus, satu-persatu mengutarakan pendapatnya.
“Ramalan adalah sesuatu yang diterka-terka, ditebak, tidak pasti.”
“Ramalan merupakan sesuatu yang bisa dipercaya dan bisa pula tidak.”
“Ramalan itu berkaitan dengan cuaca.”
“Ramalan sama dengan perkiraan-perkiraan.”
“Ramalan ialah ramal dengan akhiran-an.”
“Ramalan sama artinya dengan prediksi, perkiraan, duga-duga.”
“Ramalan adalah sesuatu…”
“Ramalan yaitu sejenis zat adiktif yang menyerang para politisi di negara ini!”kata seorang bocah berkacamata yang duduk tepat di hadapannya.
“Dari mana kamu mendapatkan kata-kata itu?”
“Buku biologi dan dengar-dengar dari televisi.”
Kolaborasi yang unik, Adnan kagum dan tersenyum. Seumur itu, sudah menggunakan bahasa yang mendalam: luar biasa. Adnan menduga bocah ini kutu buku.
“Bukannya kamu masih SD? Pasti buku biologi itu punya kakakmu?”
Bocah itu mengangguk. Seekor burung masih terbang melintasi pepohonan. Perca-perca kilat sesekali menganga, membuat anak-anak yang duduk di bawah lesehan kian merapat.
“Semuanya benar. Namun masih ada yang kurang tepat. Bapak kira kalian mesti mengerti, jika di sekitar kita tersebar ramalan dan banyak pula orang-orang yang percaya ramalan. Bagaimana skor bola, lapak judi unggul membuka pendaftaran dengan tebak angka atau siapa pemenangnya. Para ahli cuaca memperkirakan hari ini hujan, mendung atau cerah. Suku Maya di Amerika Latin yang memperkirakan kapan terjadinya hari kiamat. Bahkan Bunda Laurens yang mati sebelum 2012 ikut meramal terjadinya hari kiamat. Apakah kita mesti percaya pada ramalan? Misalkan kata-kata si…”
Adnan menatapi bocah berkacamata dengan mengangkat sedikit wajahnya dan menunjukkan tatapan bertanya.
“Yahya!”
“Ya, Yahya, yang mendalam sampai ke lubuk: ramalan adalah sejenis zat adiktif yang meracuni politisi di negeri ini, dikarenakan banyak orang-orang berpolitik percaya pada nasib baik dari angka-angka kemenangan saat pemilihan. Betapa banyak pendukung, mereka memperkirakan itu. Tak peduli berapa banyak uang dihabiskan untuk mencapai kursi jabatan dan kehormatan, namun pada akhirnya kebanyakan dari mereka mengambil uang rakyat, tepatnya mencuri uang rakyat untuk menutupi kerugian saat ia mengkampanyekan diri dan segala proses dalam dunia politik. Barangkali kalian tidak terlalu paham. Maksud Bapak, orang-orang politik itu percaya ramalan bahwa suatu saat mereka bisa kaya raya.”
Semua mengangguk, tapi masih tampak kebingungan. Bruumm!!! Hujan semakin deras. Hujan badai menerpa seng-seng dan menggebrak padi yang hendak menguning, membuat deretan padi itu semakin terlihat miring. Sedangkan di sekolah, pelajaran sudah dimulai. Di beberapa lesehan, murid-murid nangkring, terbengong-bengong menatapi tirai hujan dan merapati tubuh-tubuh dengan tas. Dingin merayap. Adnan urung melepas sepatu. Sedangkan murid-murid menggantung sepatu di leher.
“Ini namanya buku primbon.” Adnan mengangkat buku bersampul kuning itu. “Buku ini tentang tanggal, tahun dan hari lahir atau waktu-waktu tertentu yang menjelaskan kelebihan dan kekurangan, kebaikan dankeburukan atau kesialan di masa mendatang yang mesti dihadapi seseorang atau sekalian umat-jika kalian percaya rukun iman, jangan percaya ini! Ada yang tidak mengaji di sini?”
Anak-anak itu saling melirik, tanpa menunjukkan orang yang dicari. “Waktu muda dulu Bapak sempat percaya. Semua tampak berjalan lancar. Segala perkiraan yang disebutkan di sana, nyaris Bapak rasakan. Tapi ujung-ujungnya yang Bapak tahu, sebenarnya Bapak termotivasi untuk melakukan dan merasakan hal-hal baik yang disebutkan di buku ini. Hampir semua isi ramalan itu tentang kebaikan. Pada akhirnya kebaikan itu harus dimulai dari diri sendiri. Kalian yang ingin mencapai cita-cita setinggi menara Baiturrahman, silahkan. Ingin menaklukkan tempat-tempat tertinggi di dunia, puncak Everest, misalnya. Jangan muluk-muluk coba dulu taklukkan Bukit Jalin. Jangan mudah dibuat percaya pada ramalan, perkiraan, prediksi, apalagi kata-kata yang sama artinya.
“Kita hidup di dunia nyata, bukan di dunia Naruto, One Piece, sinetron, maupun kebanyakan cerita-cerita di film. Berpikirlah yang mungkin-mungkin: sekolah di luar negeri, menjelajah luar angkasa seperti astronot, tinggal caranya saja. Harus belajar mulai dari sekarang. Siapa yang punya cita-cita menjadi dokter?”
Semua angkat tangan.
“Jadi tidak ada yang mau jadi astronot?”
Anak-anak itu saling melirik.
“Ya, sudahlah. Kalau cita-cita jadi dokter, harus benar-benar jadi dokter, bukan dokter jadi-jadian. Jangan percaya kalau ada orang yang bilang, anak kampung tidak bisa jadi apa-apa selain petani atau tukang. Itu dua-duanya keliru: cara meramal dan ramalan itu sendiri. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Hanya orang-orang yang berusaha yang bisa mencium ‘bau’ masa depan. Maksudnya, jika saat menjelang ulangan, kalian sempat belajar, kalian pasti merasa yakin bisa menjawab semua soal, ya kan? Nah, begitu juga dengan orang-orang yang berusaha, dan selalu berdoa. Yang jelas tidak bisa dirasakan tanda-tandanya, misalkan hujan reda pukul satu. Di sini ada yang percaya hujan reda sebentar lagi?”
“Jadi Bapak mau bertaruh?” tanya Yahya yang tampak bersemangat dalam urusan semacam ini.
“Boleh.”
Semua anak-anak itu meramalkan murid-murid pulang lebih cepat dan itu berarti sebentar lagi, itu jika hujan reda dikarenakan banyak guru yang tidak masuk kelas. Adnan teguh dengan pendiriannya, pukul satu.
Hujan ternyata meringkas kegiatan belajar-mengajar hari itu. Murid-murid pulang lebih cepat. Anak-anak yang duduk satu lesehan dengan Adnan tersenyum menang.
“Ramalan Bapak salah.”
“Itulah yang tadi Bapak bilang! Ramalan itu tidak pasti. Jangan percaya ramalan begitu saja,” ujar Adnan sambil mengelus kepala Yahya.
Anak-anak itu pun kemudian mengikuti teman-temannya yang pulang dari sekolah. Teman-teman yang tadinya nongkrong di lesehan bersama Adnan mulai merapat. Yahya menggerutu. “Pak Adnan bilang jangan percaya ramalan, karena selama ini ramalan yang ia percayai keliru, padahal Bapak itu sendiri yang sial!” Mendengar ucapan Yahya, semua temannya tertawa dan merasa ada benarnya juga.
Meureudu, 11 Juli 2016
* Ikhsan Hasbi, kelahiran Meureudu 1991