Opini

Ini Hukum memilih Pemimpin Nonmuslim

SEBAGAI agama paling akhir diturunkan Allah Swt untuk umat manusia, Islam diklaim Allah

Editor: bakri

Oleh Hasanuddin Yusuf Adan

SEBAGAI agama paling akhir diturunkan Allah Swt untuk umat manusia, Islam diklaim Allah sebagai agama yang sempurna (QS. al-Maidah: 3), sehingga tidak ada wewenang lagi bagi siapapun untuk “menggugat” kesempurnaan Islam. Sebagai satu-satunya agama yang diakui Allah di jagad raya ini (QS. Ali Imran: 19), Islam menjadi juara di mata Allah dan di mata para hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan demikian tidak akan diterima agama apapun juga yang dianut umat manusia di dunia ini selain Islam (QS. Ali Imran: 85). Penganut agama selain Islam diposisikan Allah sebagai musuh-Nya dan musuh orang muslim, dan Allah melarang orang-orang beriman menjadikan mereka sebagai teman akrab dalam kehidupan (QS. al-Mumtahanah: 1).

Kesempurnaan, keabsahan, dan pengakuan Allah terhadap Islam menjadi rujukan paling penting dan utama bagi setiap muslim untuk tetap bertahan dalam Islam, memilih kaum muslimin sebagai saudara seimam seagama, dan memposisikan nonmuslim sebagai musuh Allah dan musuhnya. Itulah manhaj sejati bagi setiap muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt, dan itu pula yang harus dijadikan pijakan dalam kehidupan sehingga tidak salah langkah dalam arena kehidupan terutama sekali ketika berada dalam arena politik di negara yang terkesan sekuler seperti Indonesia.

Larangan Allah
Allah Swt dalam banyak ayat Alquran dan dalam berbagai versi melarang umat Islam, khususnya orang-orang beriman memilih orang-orang kafir menjadi pemimpin bagi muslim dan mukminin, sebagaimana satu firman-Nya, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allahlah kamu kembali.” (QS. Ali Imran: 28).

Wali yang jamaknya auliyaa yang dimaksud dalam ayat ini adalah teman yang akrab, pemimpin, pelindung atau penolong. Berarti Allah melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir menjadi teman akrab, pemimpin, pelindung atau penolong selagi masih ada orang-orang beriman yang dapat dipilih pada posisi tersebut. Mengapa demikian, karena memilih nonmuslim menjadi pemimpin, penolong, teman akrab, atau pelindung akan lepas dari pertolongan Allah baik di dunia maupun di akhirat. Kalau seseorang lepas dari pertolongan Allah, maka tiada seorang pun yang dapat dan mampu menolong kita dalam kehidupan dunia wal akhirat.

Ada peluang bagi seorang beriman memilih nonmuslim menjadi pemimpin adalah ketika berada dalam keadaan darurat, sehingga ia harus bersiasat untuk kemuslihatan Islam dan dirinya, seperti orang-orang muslim yang bermastautin di Negara kafir yang tidak ada peluang sedikit pun bagi muslim untuk menentukan pilihannya. Sementara ketentuan negara mewajibkan setiap penduduknya ikut pemilu, atau tidak ada calon pemimpin muslim yang dapat dipilih. Atau kalau memilih orang Islam menjadi pemimpin akan dibunuh oleh orang kafir yang tidak ada pembelaan dari siapa pun di dunia ini. Dalam kondisi seperti itu kita merujuk kepada kalam Allah, “kecuali karena siasat untuk memelihara diri sesuatu yang ditakuti dari mereka.”

Di ujung ayat tersebut Allah Swt berfirman, “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allahlah kamu kembali.” Ia mengandung pengertian; Allah mengancam orang-orang Islam yang memilih non muslim menjadi pemimpin dengan siksaNya. Dan Allah menyatakan tidak ada tempat kembali kita nantinya kecuali kepada Allah semata-mata. Kalau kita pahami dengan seksama pernyataan Allah tersebut maka tidak akan mungkin seseorang kita mengorbankan pernyataan Allah dan memilih pemimpin non muslim dalam kehidupan dunia yang sementara ini.

Kaitannya dengan asbabun-nuzul ayat tersebut, hadis dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan masalah Ubadah Ibn al-Samit dari kaum Anshar yang menyertai peperangan Badar bersama Nabi. Ubadah mempunyai kawan-kawan dari kalangan Yahudi, ketika Nabi mahu berperang dalam perang Ahzab, Ubadah berucap kepada Nabi, “Ya Rasulullah, saya mempunyai 500 orang rakan-rakan dari kalangan Yahudi, saya berharab mereka menyertai saya keluar bersama saya dalam memerangi musuh-musuh Allah dalam perang Ahzab.” Setelah ucapan Ubadah itu, Allah menurunkan ayat tersebut sebagai larangan mengambil orang-orang kafir menjadi kawan karib dan pemimpin.

Dari ayat dan hadis tersebut di atas terang dan jelas sekali tidak ada sedikitpun peluang bagi seorang muslim untuk memilih nonmuslim menjadi pemimpin, baik pemimpin dalam kategori negara maupun pemimpin dalam partai, pemimpin kampus dan sebaginya. Banyak ayat Alquran dan hadis-hadis yang melarang seorang muslim memilih pemimpin non muslim, seperti (QS. al-Mumtahanah: 1 dan 13; QS. al-Maidah: 51, 57, 80, 81; QS. Ali Imran: 118, 149, 150; QS. at-Taubah: 23; QS. an-Nisa’: 144, 138, 139; QS. al-Mujadalah: 14, 15, dan lain-lain).

Sangat buruk
Berdasarkan ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis di atas, maka tidak ada sedikitpun peluang bagi seorang muslim untuk memilih pemimpinnya dari kalangan nonmuslim apa pun alasan dan hujjah-nya. Oleh karenanya sangat amat buruklah sikap dan perangai orang-orang muslim yang bersedia dipimpin oleh nonmuslim baik dalam konteks negara maupun organisasi. Apalagi kalau ada muslim yang berlomba-lomba menjadi rakyat dan kuli nonmuslim, terutama sekali dalam partai-partai politik seperti di Indonesia hari ini.

Situasi seumpama itu tidaklah patut terjadi bagi bangsa Islam di Aceh yang sedang melaksanakan syariat Islam milik Allah Swt, kalaupun terjadi maka bagi mereka mendapat dua kali dosa, dosa pertama karena memilih atau bersedia dipimpin oleh orang kafir padahal masih banyak partai Islam yang bisa bergabung dengannya dan dosa kedua karena melecehkan syariah Allah dengan memilih atau bersedia dipimpin oleh nonmuslim di Negara yang 85% penduduknya muslim.

Ketika kita mau menetapkan hukum terhadap seorang muslim yang memilih non muslim menjadi pemimpin berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis di atas, maka sangat amat berat dan sulit bagi kita untuk mengatakan boleh seorang muslim memilih non muslim menjadi pemimpin mereka. Sebaliknya secara tegas (sekali lagi) berdasarkan dalil-dalil di atas memilih pemimpin non muslim oleh seorang muslim hukumnya adalah haram.

Oleh karenanya kepada semua muslim wa muslimah baik di Indonesia maupun di Aceh secara khusus, berpeganglah kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis tersebut di atas, dan jangan sekali-kali terpesona dengan jabatan, uang, kawan, dan rakan sehingg terjerumus kedalam jurang yang sangat amat membahayakan, yaitu memilih pemimpin non muslim. Ingatlah ayat Allah yang artinya: “wa lan tardha ankal yahudu walan nashara hatta tattabi’a millatahua” (tidak akan puas orang-orang kafir yahudi dan Nashrani sebelum muslim mengikuti ajaran agama mereka).

Berusaha menguasai kita lewat jalur kepemimpinan merupakan bahagian dari strategi agama mereka, dan dengan cara demikian mereka dengan mudah dapat menghancurkan keyakinan dan ajaran agama kita. Hakikat ini sudah mulai kurang dipahami dan diminati oleh kaum muslimin karena mereka sudah kena penyakit hubbuddunya wa karahiyatul maut (cinta dunia dan enggan mati). Ummat Islam Indonesia sangat labil dengan akidah islamiah, sehingga mereka menganggap tidak bermasalah kalau memilih pemimpin nonmuslim. Apalagi sampai mengatakan, “Dari pada memilih pemimpin orang Islam yang suka korupsi lebih baik memilih orang kafir tetapi tidak korupsi.

Pernyataan tersebut merupakan pernyataan sesat lagi menyesatkan bagi seorang muslim, baik itu keluar dari lubuk hatinya yang dalam maupun itu sebagai pesanan orang. Perilaku semacam itu merupakan ibarat prilaku pemain bola yang memasukkan gol ke gawang sendiri, dan itu namanya bunuh diri, yang namanya bunuh diri dalam ketentuan Islam tempatnya nerakan jahannam. Dengan demikian berhati-hatilah wahai umat Islam, jangan mabuk dengan kekuasaan lalu meninggalkan perintah Tuhan. Kekuasaan di dunia sifatnya sementara, tetapi kekuasan Tuhan bersifat kekal selama-lamanya.

* Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA., Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Fiqh Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: diadanna@yahoo.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved