KUPI BEUNGOH
Aneuk Meutuah
Jika pun anak itu tetap membandel maka bertawakkal-lah kepada Allah Swt.
“Meunyoe jeut tapeulaku boh labu jeut ke asoe kaya. Meunyoe hanjeut tapeulaku aneuk teungku jeut keu beulaga” (Hadih Madja).
YA BUNAYYA merupakan satu ungkapan dalam Alquran yang digunakan dalam tema pengasuhan (parenting) anak. Ungkapan atau diksi tersebut terlihat dari cuplikan beberapa kisah para Nabi dan Rasul yang diungkapkan Alquran.
Semisal kisah Nabi Nuh as yang memanggil anaknya -Kan’an- ketika air bah menghantam umatnya dengan; ya bunayya (Qs. Hud: 42). Ungkapan yang sama digunakan Nabi Ibrahim as ketika menceritakan mimpinya kepada anaknya -Nabi Ismail as- (Qs. Ash-Shaffat: 102).
Juga diksi senada digunakan oleh Luqman ketika memberikan beberapa nasihat penting kepada anaknya (Qs. Luqman: 13).
Karena itu, pemakaian diksi ya bunayya tersebut menarik untuk dicermati dalam konteks pola pengasuhan anak.
Ya bunayya berakar dari kata bana-yabni bermakna tumbuh. Dari sana dibentuk menjadi isim tashgir menjadi ya bunayya yang bermakna anak kecilku.
Para pakar seperti al-Ashfahani dan Shawi menjelaskan bahwa diksi ya bunayya merupakan suatu uslub (gaya bahasa) yang bermakna kecil dan penuh rasa cinta serta kasih sayang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa diksi tersebut merupakan sebuah ungkapan rasa cinta dan kasih sayang orangtua dalam mendidik/mengasuh tumbuh-kembang anak.
Diksi ya bunayya bukan mutlak digunakan dalam berkomunikasi dengan anak. Artinya tidak harus memanggil anak dengan diksi; ya bunayya. Akan tetapi diksi tersebut dapat diterjemahkan dalam gaya bahasa apapun selama bahasa tersebut sesuai dengan misi diksi ya bunayya.
Semisal dalam bahasa Aceh; aneuk meutuah, boh hate loen, sayang loen dan lain-lain. Bahkan diksi-diksi tersebut disamping memiliki filosofi kedekatan hubungan orangtua dengan anak, juga memperkenalkan identitas budaya kepada anak.
Agar ketika dewasa mereka dapat diandalkan untuk mewariskan dan melestarikan bahasa daerah.
Sebab itu, ya bunayya merupakan simbol bahasa komunikasi efektif dan persuasif orangtua dalam mendidik anak.
Bahasa didikan yang dikedepankan adalah bahasa santun, lembut, luhur, terpuji, mulia, dan beradab. Bukan bahasa yang kasar, kotor, merusak, dan jauh dari keadaban.
Karena bahasa tidak hanya sekedar ungkapan sepintas lalu tanpa melekat dalam sanubari anak. Bahasa sangat urgen dalam mendidik anak agar menjadi shaleh dan shalehah.
Padahal, selama ini realitasnya tidak sedikit orangtua yang memanggil anak dengan nama-nama hewan disertai sumpah-serapah. Mungkin orangtua mengira bahasa sumpah-serapah dapat menundukkan anak untuk patuh pada orangtua.
Sebenarnya bahasa ketidak-adaban tersebut akan merusak karakter anak saat itu juga. bahasa tersebut akan ditiru oleh anak dan mereka praktekkan dalam pergaulan mereka. Senada pesan endatu; meunan ue meunan minyeuk, meunan du meunan aneuk.
Maka sudah saatnya pola asuh orangtua kembali merujuk kepada Alquran. Diantaranya dengan membangun komunikasi efektif dan persuasif dalam mengasuh/mendidik anak.
Komunikasi efektif dan persuasif bermakna bahasa yang digunakan dalam mendidik anak yaitu bahasa yang merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, menyayangi bukan menendangi, menasihati bukan menghina, dan mencintai bukan membenci.
Sehingga terbentuk citra diri (self image) positif pada diri anak. Akhirnya anak merasa disayangi, dihargai, dicintai, didengar, diajak, dinasihati, dan dimuliakan oleh orangtua. Ketika anak sudah merasakan hal positif dalam pola pengasuhan.
Mereka akan menjadi anak yang baik dan tunduk pada perintah orangtua. Sebaliknya, ketika anak merasakan hal negatif dalam pola pengasuhan orangtua, mereka akan menjadi pembangkang terhadap perintah orangtua.
Untuk itu, dalam mendidik anak janganlah menggunakan ‘paksaan’ dan doktrinasi semata secara membabi-buta tanpa diiringi dengan kasih sayang dan komunikasi efektif dan persuasif.
Jangankan anak sebagai manusia, binatang saja kalau dipaksa akan berontak dan membangkang juga. Itu sebagai pelajaran bagi orangtua bahwa pendidikan yang mengedepankan ‘kekerasan’ akan berdampak buruk pada anak.
Orangtua harus menyadari bahwa anak merupakan amanah Allah Swt, maka didiklah anak-anak itu dengan pedomanNya, bukan dengan pedoman/kemauan orangtua.
Sebab, anak yang dididik dengan kemarahan akan menjadi pemarah. Anak yang dididik dengan kebencian akan menjadi pembenci.
Anak yang dididik dengan hinaan akan menjadi penghina. Anak yang dididik dengan bahasa yang kotor akan berbicara dengan bahasa kotor.
Anak yang dididik dengan teladan tidak beradab akan berperilaku tidak beradab. Anak yang dididik dengan kekerasan akan menjadi temperamental. Anak yang dididik dengan kemanjaan berlebihan akan menjadi penakut dengan risiko kehidupan.
Sebaliknya, anak yang dididik dengan kasih sayang akan menjadi penyayang. Anak yang dididik dengan pujian akan menghargai.
Anak yang dididik dengan kesantunan akan menjadi santun dalam bertindak. Anak yang dididik dengan kemuliaan akan memuliakan sesama. Anak yang dididik dengan bahasa persuasif akan belajar mematuhi dan menyayangi orangtua. Dan anak yang diberikan teladan yang baik akan berperilaku terpuji.
Oleh karena itu, orangtua dituntut untuk mampu berkomunikasi efektif dan persuasif dengan anak. Karena pola komunikasi orangtua terhadap anak akan mempengaruhi tumbuh-kembang anak di kemudian hari.
Jangan salahkan anak berbicara kotor, kalau orangtua mendidik mereka dengan bahasa kotor. Jangan salahkan anak berperilaku tercela, kalau orangtua selalu mempertontonkan perilaku tercela kepada anak.
Artinya, anak yang berbicara dengan bahasa kesantunan dan terpuji terlahir dari keluarga yang mendidik mereka dengan bahasa kesantunan dan terpuji.
Anak yang berperilaku mulia terlahir dari keluarga yang meneladani perilaku mulia dari orangtua. Begitu besar pengaruh pola pengasuhan anak terhadap perilaku anak di masa depan. Karena itu, orangtua diharapkan memiliki modal mumpuni dalam mendidik anak karena orangtua merupakan model pertama yang akan ditiru oleh anak.
Endatu Aceh dulu berpesan; meunyoe jeut tapeulaku boh labu jeut keu asoe kaya, meunyoe hanjeut tapeulaku aneuk teungku jeut keu beulaga. Bermakna, anak siapapun kalau didik dengan pola pengasuhan yang tepat mereka akan menjadi shaleh dan shalehah.
Bahkan anak guru dan ustadz sekalipun kalau pola pengasuhannya salah, mereka akan menjadi beulaga juga.
Apalagi pola pengasuhan yang salah dialami oleh anaknya beulaga, bisa dibayangkan akan menjadi apakah mereka kelak? Ini juga menunjukkan bahwa anak siapapun memiliki peluang untuk menjadi anak yang terbaik ketika ditempa dengan asuhan yang baik.
Oleh karena itu, membangun komunikasi efektif dan persuasif adalah satu kunci untuk mendidik anak menjadi yang terbaik, seperti yang telah dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul.
Namun demikian orangtua dituntut untuk berikhtiar sekuat tenaga untuk memberikan pola asuh terbaik kepada anak.
Jika pun anak itu tetap membandel maka bertawakkal-lah kepada Allah Swt. Karena hakikatnya orangtua hanya diperintahkan untuk menjalani proses dengan semaksimal mungkin, adapun hasilnya menjadi hak prerogatif Allah Swt.
Orangtua boleh berharap untuk memiliki anak seshaleh Habil dan Ismail as, namun Allah Swt berhak untuk menjadikan mereka sejahat Qabil dan Kan’an. Wallahu a’lam! [ADNAN YAHYA adalah Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Email: adnanyahya50@yahoo.co.id.]