Cerpen
Damaran
Sungai Damaran baru saja tenang setelah marah meluap-luap. Dua hari lalu airnya naik hingga beberapa meter. Semenjak
Karya Vera Hastuti
Sungai Damaran baru saja tenang setelah marah meluap-luap. Dua hari lalu airnya naik hingga beberapa meter. Semenjak orang-orang kota datang menebangi hutan di sebelah Barat Gunung Linung Bulen, sungai ini sering kali murka. Pasalnya, sungai yang menjadi satu-satunya jalan bagi penduduk dua desa di kaki gunungitu, kerap kali membuat nyali ciut untuk melewatinya. Yang paling berbahaya adalah karena bongkahan pohon besar ikut terseret luapan air yang kental menguning. Minggu lalu, Nek Minah ditemukan pingsan terbentur kayu besar saat dia hendak mengambil air sembayang di pinggir sungai. Dinding-dinding rumah penduduk di kaki gunung Linung Bulensangat jarang-jarang, kayunya kasar dan berliku, sehingga hembusan angin malam yang dingin dapat leluasa masuk dan menusuk tulang. Bila malam, di beberapa rumah, penghuninya masih tampak beraktivitas. Sayup-sayup dari beberapa rumah penduduk terdengar suara tawa dan percakapan, diselingi goyangan lampu teplok yang tertiup angin.
Sanimah menghidangkan secangkir kopi dan sepiring ubi yang baru selesai ia goreng. Kepulan asap ubi itu masih tersisa di piring keramik berwarna biru. Aroma arabika merebak. Tampak Genali tengah tertidur. Bocah kecil itu tengah pulas dipangkuan ayahnya. “Besok Abang akan ikut Ismail untuk mencari buah jernang di hutan,” ucap Gempar sembari menyesap nikmat kopi buatan istrinya.
“Bukankah sekarang tengah musim hujan dan rawan terjadi longsor. Aku rasa untuk kali ini tak usahlah Abang ikut masuk hutan bersamanya,” kata Sanimah cemas. “Justru tengah musim penghujan seperti ini harga buah jernang sedang mahal.”
“Tapi Bang?”
“Aku tak pergi sendiri, kami berangkat beramai-ramai. Tak mungkin juga aku terus berdiam diri, berpaku tangan di rumah selama musim penghujan seperti ini.”
***
Sanimah dilanda gundah. Telah dua hari semenjak Gempar berangkat masuk hutan,Tubuh Genali panas tinggi. Semula hanya panas biasa dan kini telah menjadi panas tinggi. Tak ada obat yang tersisa untuk diberikan pada bocah lelaki itu. Sore itu, awan tebal merapat di kaki langit pertanda sebentar lagi hujan akan turun dengan lebat. Berulang kali Sanimah bolak-balik menatapi langit dari celah gorden jendela yang telah sedari tadi ditutupnya. Sanimah risau akan Genali. Panas Genali kian meninggi. Badan kecilnya yang semula meriang kini disertai dengan gigil yang membuat nyeri.
“Ibu, di mana ayah?” tanya Genali menahan sakit.
“Sebentar lagi mungkin ayah pulang Nak”
Perlahan hujan mulai turun, awan hitam yang sedari tadi tebal bergumpal kini telah berubah menjadi rimbunan hujan yang lebat. Genali memeluk Sanimah dengan erat. Genali sering merasa takut bila mendengar hujan lebat. Ia dapat merasai panas badan anak kecil itu dalam dekapannya. Seketika risau merajai Sanimah. Tidak pernah sebelumnya suhu badan Genali setinggi ini. “Sakit, Bu,” Genali mendekap erat ibunya.
***
Senja berwarna emas kemerahan di kaki langit gunung Linung Bulen.Menanti kepulangan suaminya saat ini serupa menanti kabut mencair di malam gelap. Sanimah telah berbulat tekad mencari obat. “Genali harus segera mendapatkan pertolongan,” batin Sanimah.
Sanimah menguatkan gendonganGenali dalam balutan kain batik kencana panjang berwarna ungu. Wajah anak kecil itu tampak kian memucat. Lingkaran hitam di bola matanya yang sayu memberi isyarat bahwa ia telah beberapa malam tak tidur lelap. Dengan pinjaman uang dari tetangganya, akhirnya Sanimah mengambil keputusan membawa Genali berobat pada mantri di kampung seberang.
***
Suara deras aliran sungai Damaran terdengar menggebu-gebu. Sungai pun kembali meluap. Air yang biasa tenang itu tengah berang. Jembatan penghubung dua desa itu tampak terendam. Air kuning kental dari kaki gunung disertai sampah dan bongkahan kayu menjadi penyebab utama meluapnya air. Dulu, sebelum hutan dirambah,hujan adalah berkah. Kini, sejak hutan gundul, hujan berbalik menjadi petakabagi warga disekitar kaki gunung itu.
“Peluk Ibu yang kuat,” bisik Sanimah pelan. Genali tak menjawab. Tapi Sanimah dapat merasakan anak lelakinya itu merapatkan gengaman kecil di pundaknya.
Tali pegangan jembatan masih menyisakan lumpur. Jembatan dari kayu yang sudah rapuh dan berlubang itu masih tergenang air. Sanimah menguatkan sekali lagi gendongannya, memastikan Genali telah kuat dalam dekapannya. Sanimah melangkah perlahan. Ia tapaki dengan hati-hati jembatan itu. Sanimah telah sampai di tengah jalan. Ia mengedarkan pandangan kesekeliling sungai. Ia tidak menyadari bila sebuah bongkahan kayu tengah tertuju padanya. Sanimah terkejut ketika mendapati kayu besar itu menerjangnya. Kakinya terperosok diantara papan jembatan yang telah rapuh. Seketika ia hilang pegangan dan terjatuh ke sungai Damaran. Sesaat ia masih dapat merasakan Genali menggeliat keras di dalam gendongannya.
***
Hari ini Gempar tersenyum lebih cerah, seakan sinar mentari berpindah ke wajahnya yang legam. Kali ini ia mendapat banyak buah jernang. Karung tempat buah yang telah disediakannya kini telah penuh terisi. Sekelebat ia telah dapat membayangkan segepok rupiah yang akan didapat dari penjualan buah itu. Usai bersih-bersih dan membereskan semua alat, Gempar dan Ismail bergegas pulang. Terlintas jelas dikepalanya senyum Sanimah dan Genali menyambutnya di depan pintu rumah. Di perjalanan pulang, dari kejauhan Gempar melihat dengan jelas iring-iringan orang kampung berjalan di atas pematang sawah tengah menggotong dua tandu sambil menyebut asma Allah serta membaca salawat Nabi.
Tidak ada firasat apapun di hati Gempar, mengapa sepagi ini ada iring-iringan orang berjalan di tengah sawah sambil bersalawat. Gempar hanya berpikir bagaimana agar segera tiba di rumah, memeluk Genali buah hati penyejuk hati dan menuntasrindu. “Ada kejadian yang pilu di pagi Jumat ini. Ibu dan anaknya terseret arus sungai kemarin sore,” kata seseorang yang berdiri di sepanjang jalan kampung.
“Siapa ibu dan anak itu?” Gempar bertanya pada kerumunan orang-orang yang dilalui iring-iringan itu. “Tidak tahu!”
“Amat menemukan mereka di dekat batu besar di hilir sungai,” jawab salah seorang dari mereka.
Berselang sepuluh rumah menjelang tiba di halaman rumahnya, Gempar disuguhi pemandangan yang tak biasa. Kali ini ia berpikir keras. “Mengapa iringan orang-orang di tengah persawahan tadi menuju ke rumahku?”
Sembari terus berpikir Gempar mempercepat langkah kakinya, sekarung buah jernang yang sedari tadi dipikulnya terhempas begitu saja. Suasana pagi yang masih berkabut dan dingin udara tak meredakan kegundahan Gempar yang terus mengalirkan keringat dingin dari dahi dan pelipisnya.
Gempar memperlebar langkah kaki, menyusuri jalan setapak yang sempit itu. Ingatannya hanya tertuju pada Sanimah dan Genali.
“Oh anakku!” desahnya
Gempar menatap rumahnya dari kejauhan, tangisnya pecah tak tertahan. Kedua tangannya langsung mengatup ke wajah. Orang-orang telah banyak berkerumun di halaman.Ingin sekali ia segera sampai pada kerumunan itu, tetapi Gempar sudah tak mampu lagi mengangkat kaki. Pertahanannya rubuh, dalam isak haru ia seperti ingin berbicara banyak. Tapi, kalimat-kalimat yang disebutkannya menjadi tidak jelas. Bibirnya bergetar, dalam senyap terdengar Gempar menyebut-nyebut nama istri dan anaknya.
* Vera Hastuti, guru SMAN 1 Takengon