Opini

Selamatkan Hutan Aceh

HIRUK-PIKUK politik menjelang pilkada Aceh 2017, ternyata membutakan mata akan kerusakan hutan

Editor: hasyim
Michael Padmanaba for Center for International Forestry Research (CIFOR)

Oleh Mustaqim

HIRUK-PIKUK politik menjelang pilkada Aceh 2017, ternyata membutakan mata akan kerusakan hutan yang terjadi beberapa hari terahir di Aceh. Jika sedikit merenung antara peluang dan tantangan; bukankah hutan Aceh merupakan sumber daya alam strategis yang seharusnya dikelola secara berkelanjutan agar memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat, sebagaimana amanat UUD 1945?

Kita patut akui memang walaupun terdapat program Nasional selama sepuluh tahun terahir, seperti penanggulangan penebangan ilegal, penanganan kebakaran hutan, penerapan sertifikasi kelestarian dan standar legalitas kayu (SVLK), maupun perbaikan dan penguatan program melalui pengurangan deforestasi, namun kerusakan hutan belum dapat diatasi.

Perlu diperhatikan bahwa upaya untuk menyelamatkan hutan di Aceh tentunya tidak dilepaskan dari penyelesaian tunggakan masalah di masa sebelumnya, seperti persoalan kebijakan maupun hilangnya kelembagaan lokal (panglima uteun) dan kapasitas penyelenggara kehutanan.

Seperti diketahui, beberapa hari terahir telah terjadi kebakaran hutan yang melanda wilayah hutan lindung kawasan Seunapet dan Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan di Seulawah, Aceh Besar (Serambi, 3/10/2016). Belum dapat dipastikan berapa luas hutan yang terbakar dan siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan tersebut. Namun dapat dipastikan, kehilangan hutan atau deforestasi akan membawa dampak yang sangat merugikan, baik bagi masyarakat maupun flora-fauna yang hidup di dalamnya.

Dampak negatif
Kerusakan hutan berakibat fatal terhadap kondisi dan masa depan kehidupan masyarakat sekitar hutan. Katakanlah masyarakat yang berada di kawasan Seulawah itu, misalnya, harus merasakan dampak negatif kebakaran hutan, mulai dari kepungan asap, banjir, tanah longsor, dan pencemaran lingkungan yang tentunya sangat mengganggu kehidupan meraka. Ragam fenomena ini tentu dapat kita pastikan bahwa ada masalah dengan pengelolaan hutan kita.

Di satu sisi, hutan belum memberikan sumbangan signifikan terhadap ekonomi masyarakat karena belum dimanfaatkan secara optimal. Di sisi lain, sumber daya kehutanan kita mulai terdegradasi dengan maraknya hutan terbakar maupun sengaja dibakar untuk kepeluan yang lain. Beragam persolan pengelolaan hutan selama ini rasanya sering dipahami sebagai persolan teknis semata. Sehingga implikasi kebijakan yang sering terlihat dalam penyelesaian persoalan kehutanan juga bersifat teknis.

Misalkan ketika terjadi kebakaran yang dicari adalah sulusi teknis dengan mencari teknologi pemadam api dan membuat kanalisasi disepanjang hutan. Ketika hutan rusak dan jumlah pohon menurun dicari solusi teknis dengan mengembangkan kawasan konservasi barupa taman nasional, kawasan hutan lindung, taman wisata alam maupun suaka alam. Namun pertanyaanya, dalam kasus kebakaran hutan di Aceh, apakah solusi solusi teknis tersebut tepat?

Barangkali dengan menggunakan pendekatan keilmuan sosiologi dan gabungan kajian ekologi politik, penulis menawarkan perspektif baru melihat kerusakan lingkungan dan mencermati keberadaan hutan sebagai persoalan sosial politik. Dengan asumsi bahwa perubahan lingkungan dalam hal ini adalah kerusakan hutan tidaklah netral, tetapi merupakan suatu bentuk politized environment yang banyak melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik di tingkat lokal, regional, maupun global (Bryant, 2001).

Dengan asumsi tersebut kita dapat mengembangkan dan menemukan bahwa ternyata persoalan kerusakan hutan dan sumberdaya alam lainya tidak semata mata persolan teknis. Kemungkinan ada masalah sosial politik yang berkaitan dengan akses pemanfaatan dan kontrol atas sumber daya hutan. Keterbatasan pemanfaatan ataupun pengelolaan ini membuat kemungkinan masyarakat sekitar marjinal. Karena marjinal rasa kepemilikan dan kepedulian terhadap kelestarian hutan kurang, disamping juga pengetahuan tentang tata kelola dan pemamfaatan hutan yang masih minim.

Oleh karena itu, boleh jadi ekologi politik dapat menjadi tawaran pendekatan baru dalam memahami kerusakan hutan di Aceh dan formulasi kebijakan pengelolaan kehutanan kedepannya. Setidaknya untuk menjawab bagaimana tata kelola dan aturan kehutanan dibuat? Siapa sebenarnya yang dirugikan dan diuntungkan dari setiap kebijakan kehutanan? dan Siapa yang terlibat dalam pengelolaan, pembuatan, pengesahan dan penegakan aturan pengelolaan hutan tersebut?

Tidak mudah
Banyak kasus yang mengungkapkan bahwa Aceh saat ini mengalami persoalan besar terkait pengelolaan hutan yang tidak berlanjut, yang berdampak pada kehilangan hutan atau deforestasi. Hal tersebut antara lain disebabkan buruknya tatakelola hutan yang terjadi secara linier di semua level, baik pemerintah pusat, daerah maupun tingkat lokal melalui kelembagaan adat. Ini perlu ditindak bersama secara global.

Memang tidak mudah mengendalikan motif ekonomi dan ragam motif lainnya di balik kerusakan hutan. Di sinilah perlunya intitusi yang memang fungsinya mengatur perilaku masyarakat agar sesuai dengan nilai dan norma yang pro terhadap isu kerusakan lingkungan. Tentunya langkah konkret kita dengan mengindentifikasi masalah kehutanan secara tepat dan fundamental dengan menggunakan informasi yang akurat akan menentukan capaian perbaikan kinerja kehutanan.

Penyelesaian permasalahan kehutanan tersebut bukan hanya menentukan apa masalahnya, tetapi juga memerlukan strategi bagaimana solusi masalah masalah tersebut dapat dijalankan. Selanjutnya, agar strategi tersebut dapat dilakukan secara optimal maka prasyarat kelembagaan dan kepemimpinan (leadership) kehutanan menjadi sebuah keharusanmulai dari perencanaan sampai dengan pengawasan.

Upaya menuju pemenuhan kondisi tersebut perlu dilakukan segera meliputi: Pertama, memperkuat basis data dan informasi mengenai kekayaan sumber daya hutan serta manajemen pengetahuan yang telah mengakibatkan pengambilan keputusan sering dilakukan tanpa didasari oleh kondisi lapangan yang aktual. Kedua, membenahi berbagai regulasi yang masih menjadi titik lemah, seperti UU No.41 Tahun 1999, terutama menyangkut kepastian kawasan hutan, pengakuan hak masyarakat adat, status hutan, serta memperkuat aspek penegakan hukum atas tindak kejahatan kehutanan.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved