Opini

Memahami Simbol-simbol

SEBAGAI seorang peminat literatur sejarah simbol-simbol di dunia, membuat saya ingin menulis tentang sejarah simbol-simbol di Aceh

Editor: hasyim

Oleh Antoni Abdul Fattah

SEBAGAI seorang peminat literatur sejarah simbol-simbol di dunia, membuat saya ingin menulis tentang sejarah simbol-simbol di Aceh. Hal ini terjadi setelah saya membaca berita “Logo UIN Juara Sayembara di Kritik” (Serambi, 17/10/2016). Sebelumnya, juga ada berita tentang pencopotan hiasan pagar yang berbentuk “Bintang David”, simbol Zionis Yahudi di pagar depan Istana (Meuligo) Wali Nanggroe (Serambi, 1/3/2016).

Sebenarnya simbol-simbol paganisme itu telah banyak menyebar di Aceh, baik di gedung-gedung, baju hingga aksesoris yang biasanya digunakan oleh masyarakat Aceh. Hal ini mungkin disebabkan ketidaktahuan sang pembuat dan pemakainya. Simbol-simbol tersebut memang telah akrab dalam kehidupan sehari-hari kita.

Simbol segi delapan yang oleh juru bicara Forum Alumni Eksekutif UIN Ar-Raniry, Imam Juwaini, dikatakan sebagai simbol Yahudi kurang tepat. Setahu saya, simbol bintang segi delapan itu berasal dari simbol penyembahan terhadap Dewi Ishtar yang dilakukan oleh para penganut ajaran paganisme di Mesopotamia (Babilonia, Akkadian) atau sekarang Irak (lihat; JE Cirlot, A Dictionary of Symbols: Second Edition, hal. 122). Sedangkan orang Yahudi (Bani Israel) hanya memakai simbol “bintang David” atau bintang segi enam, bukan segi delapan, yang merupakan simbol kerajaan Nabi Daud as.

Selain bintang segi delapan, simbol Bulan Sabit dan Bintang yang identik dengan simbol agama Islam, juga dikatakan berasal dari simbol Dewi Bulan yang disembah oleh bangsa Roma di Konstantinopel. Alkisah, setelah penaklukan Konstantinopel oleh khalifah Turki Utsmaniyah, Muhammad Al-Fatih, simbol itu kabarnya diadopsi menjadi simbol kekhalifahan Islam di negara tersebut. Maka, disinilah kemudian simbol Bulan Sabit dan Bintang itu identik dengan simbol Islam.

Sementara itu, sejarawan muslim, Prof Dr Azyumardi Azra membantah hal tersebut. Beliau menjelaskan alasan dipakainya simbol Bulan Sabit dan Bintang ini oleh umat Islam, karena erat kaitannya dengan penanggalan Hijriyah yang menggunakan ilmu astronomi. Di mana untuk penentuan ibadah mahdhah seperti shalat, awal puasa maupun lebaran menggunakan bulan sebagai patokannya, bukan matahari. Maka dari itu, lanjutnya, tahun Islam disebut tahun Qamariyah (bulan) bukan tahun Syamsiyah (matahari).

Identitas peradaban
Arkeolog Dr Uka Chandrasasmita menjelaskan bahwa mengapa penting bagi kita mempelajari hakikat simbol, itu dikarenakan simbol menunjukkan identitas atau tanda sebuah peradaban, kebudayaan, sebuah kelompok atau orang. Pada mulanya, simbol diciptakan untuk menandai suatu lingkungan dengan lingkungan lainnya, peradaban satu dengan peradaban lainnya, atau untuk suatu kalangan tertentu saja. Tetapi lambat laun, sebuah simbol dapat menjadi alat untuk mempengaruhi orang. Karena dalam sebuah peradaban biasa terjadi saling mempengaruhi.

Pertarungan simbol antarperadaban sehingga saling mempengaruhi juga diakui oleh budayawan Ridwan Saidi. Bahkan pertarungan simbol ini berujung pada saling mengklaim. Seperti yang terjadi kepada Bani Israel di mana mereka meminta kepada Nabi Musa as untuk membuatkan mereka sebuah berhala patung Sapi Betina. Sepeninggal Nabi Musa as, mereka pun mengambil simbol-simbol peradaban Mesir kuno tersebut dan diklaim sebagai simbol milik mereka sendiri (Sabili, 9/2/2006).

Lalu adakah simbol agama Islam? Setahu saya dalam agama Islam hanya ada “simbol” syahadat “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah.” Itu pun kalau harus dijadikan simbol karena setahu saya Islam tidak ada simbol keagamaan. Selebihnya saya mengetahui bahwa itu hanya sebagai ornamen arsitektur bangunan, karena Islam mencintai seni seperti dalam hal memperindah bangunan. Umat Islam sendiri wajib mempelajari tentang sejarah simbologi, tujuannya agar kita tidak terpengaruhi dan ikut-ikutan memakai simbol-simbol milik agama non-Islam.

Tak hanya itu saja, bagi seorang muslim diwajibkan untuk bersikap kritis terhadap banyak hal, termasuk kepada apa yang kita pakai dan terhadap sebuah ide, sehingga menjadi panduan bagi kita untuk mengikutinya. Apalagi ini menyangkut agama dan ideologi yang kita anut, yakni Islam. Islam mengharamkan perbuatan meniru-niru orang kafir.

Walaupun demikian, Islam sendiri tidak melarang kita memakai produk-produk umum yang dibuat oleh negeri-negeri non muslim, seperti ponsel, sepeda motor, mobil, urusan administrasi dan lain sebagainya. Tidak adanya larangan penggunaan produk-produk tersebut dikarenakan produk-produk itu tidak menyentuh kebudayaan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai agama atau pandangan hidup/ideologi (hadharah khas) di luar Islam.

Berbeda halnya bila kita mengadopsi kebudayaan yang di dalamnya terkandung hadharah khas, seperti ikut dalam perayaan tahun baru Masehi, merayakan Valentine Day, memakai pakaian ataupun produk yang di dalamnya terpampang simbol Salib, Bintang David, pentagram dan lain sebagainya. Atau bahkan kita sendiri mengikuti ide dan aliran yang mereka anut, seperti liberalisme dan berakidah sekuler misalnya.

Sikap muslim
Islam sendiri telah menggariskan bahwa kaum muslimin dilarang untuk mengadopsi simbol-simbol yang mengandung hadharah di dalamnya, yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam, sebagaimana firman Allah Swt, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Ra’inaa, tetapi katakanlah: Unzhurna, dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah: 104).

Dalam ayat ini Allah Swt melarang kaum muslim menggunakan kata ra’inaa, karena kata ini di-tawriyyah-kan oleh kaum Yahudi dengan makna ru’uunah (bebal atau bodoh) untuk melecehkan Nabi saw. Tawriyyah adalah mengatakan sesuatu yang lahiriahnya bertentangan dengan apa yang dimaksudkan. Sejak saat itu, kaum muslim tidak lagi menggunakan kata ra’inaa” tetapi menggantinya dengan kata unzhurnaa. Padahal dari segi bahasa, kedua kata tersebut memiliki makna yang sama.

Dalam satu hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah saw melarang dengan tegas kaum Muslimin untuk tasyabbuh (meniru-niru) suatu kaum. Beliau bersabda bahwa barangsiapa mengikuti suatu kaum, itu sama artinya menjadi kaum tersebut. Dan di akhirat akan dimasukkan ke dalam golongan tersebut. “Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku menerima (mengikuti) apa-apa yang dilakukan oleh bangsa terdahulu (pada masa silam), selangkah demi selangkah, sehasta demi sehasta.”

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved