Cerpen
Makam di Bawah Pohon Tua
PADA siang hari saja, pohon itu nampak angker. Cahaya matahari yang menimpa pohon itu sering
Karya Muhammad Khatami
PADA siang hari saja, pohon itu nampak angker. Cahaya matahari yang menimpa pohon itu sering membentuk bayang-bayang menakutkan di bawahnya. Kata orang, bayang-bayang itu sering berbentuk tubuh manusia, kadang tubuh perempuan yang rambutnya acak-acakan. Jarang orang yang ke sini kalau bukan acara pemakaman. Konon, di pekarangan pohon itu banyak dimakamkan orang-orang yang ditembak mati semasa konflik. Kakek selalu mengajakku ke pohon itu. Kata kakek, daripada aku duduk sendirian di rumah, lebih baik mencari cerita tentang mendiang ibu.
Aku bersemangat ketika mendengar ibu. Kata kakek, ibu meninggal beberapa saat setelah kelahiranku. Kemudian aku diasuh oleh tetangga sebelah rumah. Aku teringat ayah, dan bertanya pada kakek, “Jangan bertanya tentang ayah.” Selalu kakek emosi ketika aku bertanya tentang ayah. Namun kasih sayang kakek sangat besar, sehari setelah itu kakek dan aku pasti baik kembali. Seolah-olah Aku tidak pernah bertanya tentang ayah. Aku tidak pernah tahu siapa ayahku. Namanya Hamdani, cuma itu yang aku tahu. Sepatutnya kakek menceritakan tentang ayah padaku. Tapi setiap kali aku menyebut nama ayah, kakek selalu terlihat marah. Aku tidak mengerti kenapa tidak boleh bertanya cerita tentang ayah.
***
Pagi itu kakek mengajakku ke pohon tua itu, dengan alasan untuk menceritakan tentang ibu. Ibu juga dimakamkan di sana. Kakek sangat menyayangi ibu, anak semata wayangnya. Dan sekarang kasih sayang kakek pada ibu kini jatuh padaku. “Lihatlah pohon itu!” kakek menunjuk pohon angker itu. Aku berdiri di sampingnya hanya diam saja.
“Orang bilang pohon ini angker, banyak jin.”
“Iya Kek.”
“Tapi kakek bilang sama kamu, pohon itu penuh sejarah.”
Kami mendekati pohon tua itu. Banyak sekali batu nisan dan batu-batu biasa berukuran sedang sebagai penanda makam. Suasana makam sangat sepi. Jarang ada keluarga yang datang berdoa ke makam ini, kecuali Hari Raya.
“Ini kuburan massal,” kata kakek. Aku cuma diam.
“Semua orang boleh dikubur di sini.”
“Tapi Kek, kata orang disini korban konflik semua.”
“Itu kata orang, tapi ini kata kakek. Coba lihat batu nisan ini”
Aku melihat batu nisan itu tertulis nama Yunus bin Razali, meninggal tahun 1997. Aku belum lahir tahun itu.
“Dia itu orang kaya dari kampung kita, kamu tidak mengenalnya. Dia orang baik. Kakek sering melihat dia di masjid. Orang bilang dia meninggal karena dirampok dan istrinya diculik. Tapi kakek bilang sama kamu. Dia itu meninggal karena diracun dan hartanya dilarikan oleh istrinya. Dia pernah bercerita sama kakek tentang keadaan istrinya yang sering menghabiskan uang tanpa sebab.”
“Kakek, yang gundukan tanah dengan batu biasa itu kuburan siapa? Banyak sekali.”
“Itulah kuburan korban konflik. Jasad mereka ada yang dikubur secara menumpuk di dalam tanah.”
Kakek terus bercerita dengan keadaan dan pemilik kuburan-kuburan tersebut. Matahari semakin meninggi.
“Lihat batu nisan ini. Ini Teungku Zakaria pendiri dayah tempat kamu mengaji sekarang. Beliau dituduh bekerjasama dengan GAM, lalu dibunuh.”
“Dan ini kuburan istri beliau. Beliau belum mempunyai anak.”
“Ini kuburan Pak Nuh, pemilik pabrik pupuk di kampung sebelah. Dia juga orang baik. Namun ketahuan membantu keuangan GAM. Beliau di bunuh. Istrinya trauma berat.”
Kakek terus bercerita. Aku sebenarnya menunggu cerita tentang ibu. Tapi rasanya kakek tidak akan bercerita tentang ibu.
“Lihatlah ini ini kuburan Cek Samsul-mu, dia meninggal karena dibunuh oleh orang tidak dikenal.”
“Dan ini Farid, dia satu-satunya wartawan kampung kita. Dia sangat berani memprotes dan menuntut pembunuhan Teungku Zakaria. Sehari mengajukan protes, malamnya dia diangkut dengan truk tentara. Esok hari jenazahnya ditemukan di pinggir sawah, penuh darah dan luka tembak.”
“Kek, kapan cerita tentang ibu? Sudah mulai sore kek. Kemarin kakek nggak jadi bercerita,” kakek hanya tersenyum mendengar ocehanku.
“Ini kuburan Bang Maun. Dia pedagang ikan, tapi sebenarnya dia seorang GAM. Penyamarannya terbongkar. Kemudian dia ditembak ketika hendak melarikan diri.”
“Kakek cerita lah tentang ibu,” aku mulai tidak sabaran. Matahari semakin condong ke barat.
“Baiklah. Ibu-mu perempuan yang setia. Dia tidak pernah mengeluh dengan nasibnya. Kakek pernah membujuknya untuk menikah lagi, supaya ada yang akan menjaganya dan dirimu ketika lahir. Tapi ibumu tidak mau. Dia bilang, itu takdir Allah untuknya.”
“Ibu-mu tak pernah meninggalkan shalat. Kamu juga harus begitu.” Aku cuma mengangguk. “Dia juga jarang keluar rumah. Kakek tidak pernah melihatnya berkumpul dengan orang-orang seperti Kak Ros. Dia tidak suka duduk ramai dan membicarakan orang lain.”
“Ibu-mu itu santri dari Samalanga. Pernah juara Tilawatil Quran.”
Aku ingin bertanya cerita tentang ayah, tapi merasa takut kalau nanti kakek akan marah. Kini kakek diam dan aku juga diam. Kami sama-sama diam. Aku yakin kakek sengaja menyembunyikan sesuatu tentang diri ayah. Aku sebagai anaknya penasaran.
“Cerita tentang ayah, Kek,” ucapku dengan pelan.
Kakek bangkit, pasti kakek marah aku menyebut ayah.
“Ayo pulang!”
Mau tidak mau aku harus mengikuti kakek pulang. Dalam perjalanan kami sama-sama diam. Tanpa kuduga kakek berhenti dan menoleh padaku. “Farhan, ayahmu itu seorang cuak di kampung kita. Itu sebabnya GAM membunuhnya.”
Seketika tubuhku dipeluk oleh kakek.
* Muhammad Khatami, mahasiswa sosiologi Universitas Syiah Kuala. Alumnus MAN I SIGLI yang meminati sastra.