Breaking News

Opini

Politik Multikultural

KEANEKARAGAMAN setiap individu, yang berasal suku, etnis, bahasa, budaya, maupun agama adalah sunnatullah

Editor: bakri
Google/net

Oleh Syamsul Bahri

KEANEKARAGAMAN setiap individu, yang berasal suku, etnis, bahasa, budaya, maupun agama adalah sunnatullah yang mesti dipelihara dengan baik untuk memperoleh kehidupan yang menguntungkan. Segenap perbedaan yang ada itu adalah rahmat bagi kita semua, karena dengan adanya perbedaan-perbedaan disanalah terletaknya persatuan. Karena adanya perbedaan di sanalah terletak keinginan kita untuk saling mengenal antarsesama. Yaitu dengan mengakomodir segenap aspek sumber daya manusia dari kalangan yang berbeda (QS. an-Nahl: 93, Hud: 118, Syura: 8, al-Hujurat: 13). Inilah yang disebut masyarakat multikultural.

Lebih lanjut multikultural merupakan keanekaragaman budaya yang lahir dari setiap individu, komunal, dan bangsa. Budaya yang beranekaragam ini meliputi sistem sosial, agama, ekonomi, pendidikan, dan politik. Mengacu kepada pemahaman multikultural tersebut, perilaku kitapun harus mengikuti sunnatullah ini.

Politik multikultural adalah argumentasi yang menarik disodorkan untuk melengkapi sistem dan dinamika perpolitikan di Aceh. Politik multikultural termasuk sistem politik yang tidak berazaskan pragmatisme komunalistik melainkan pada struktur politik yang dibangun untuk memperoleh kesejahteraan bersama.

Tidak sulit mengenal pemimpin yang multikulturalis karena kita telah menemukan mereka menyanjung budaya, adat, agama yang dianut oleh setiap orang pada suatu tempat. Ia bisa berbaur dengan petani, pedagang, kalangan birokrat, agamawan, dan lain sebagainya karena mereka telah menempa diri untuk mengenal dan mempelajari semua orang. Tetapi menjadi sulit dipahami kalau pemimpin itu sedang melakukan kampanye politik.

Corak pemimpin multikulturalis mampu beradaptasi dengan segala budaya masyarakat yang berbeda. Inilah yang harus diperhatikan oleh masyarakat sebagai pemilih yang akan memilih calon bupati/walikota dan gubernur bulan depan.

Karakteristik miltikultural
Dengan memahami karakteristik multikultural kita tidak akan terjebak dalam politik ke-kaum-an, dan kita pun tidak akan tertipu oleh gaya politikus berpura-pura multikulturalis yang terdapat pada seorang calon pemimpin. Jika kita terjebak pada dua macam corak politik ini, maka pemimpin yang terpilih bisa dipastikan bukanlah yang terbaik dari semua calon yang ada, melainkan ia terpilih karena kepiawaiannya beroterika dan memanipulasi diri untuk diterima. Sehingga visi dan misi yang diusung semenjak kampanye adalah omong-kosong yang terstruktur. Bagaimanakah cara kita mengenal corak pemimpin seperti ini agar kita tidak terjebak?

Seorang multikulturalis tidak saja memahami keanekaragaman etnis, suku, budaya, bahasa dan agama melainkan ia ikut terjun dalam aneka rasa dan warna tanpa merubah sikap dan sifat aslinya. Ia bukan seperti bunglon yang hanya beradaptasi bentuk dan warna dengan situasi dan kondisi yang berada dalam lingkungannya sebagai strategi mempertahankan diri dari ancaman. Seorang multikulturalis adalah manusia sejati yang melihat perbedaan karakter pada setiap individu sebagai pelajaran agar bisa diambil hal positif yang bermanfaat dan berkemajuan. Sehingga ia tahu menghormati, menghargai, dan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda tersebut.

Terakhir, seorang multikulturalis juga harus paham hingar bingar corak kampanye yang disampaikan oleh kandidat calon pemimpin. Ia tahu mana pemimpin yang benar-benar mencerminkan kepribadian multikulturalis ini yang kelak (jika menang) dapat memberi manfaat bukan saja untuk kelompoknya, partainya, dan daerah tempat tinggalnya, melainkan manfaatnya dapat dirasakan secara menyeluruh oleh setiap individu dari berbagai corak perbedaan etnis, suku dan agama.

Penting sekali kita memahami politik multikultural dengan baik dikarenakan Aceh adalah satu provinsi yang terdiri dari ragam bahasa, suku, etnis dan agama. Yang mana kalau multikulturalistik ini tidak dikelola dan dilestarikan dengan baik akan memunculkan rasa ketidakpercayaan, acuh tak acuh, ingin menang sendiri, menjadi benih konflik yang akhirnya membawa pada perpecahan.

Memilih pemimpin
Ada beberapa cara agar kita tepat memilih calon pemimpin Aceh masa depan dari sudut pandang multikulturalisme. Pertama, siapa orang-orang di balik partai yang mengusung calon pemimpin tersebut. Mengetahui dengan benar perjalanan sebuah parpol yang mengusung calon pemimpin akan menjadikan kita paham bahwa kandidat yang diusung itu bagian atau cerminan dari parpol tersebut.

Di sini yang harus kita ketahui adalah berapa persentase anggota parpol yang terjerat kasus korupsi dan kasus-kasus asusila lainnya. Terkadang ada anggota parpol itu telah terlibat pelanggaran hak-hak asasi manusia, seperti pembunuhan, penculikan, diskriminasi rasial, agama-budaya dan adat istiadat. Jika kita menemukan hal tersebut pada politikus itu, maka sebaiknya urungkan niat kita untuk memilihnya.

Kedua, memahami pengalaman kepemimpinan seorang kandidat. Bagaimanapun karakter kepemimpinan calon kandidat sangat mempengaruhi kemajuan Aceh. Tapi kepemimpinan tidak harus dipahami seseorang telah menjabat sebagai pemimpin daerah, tetapi sejauh mana ia telah menjalankan roda organisasi dengan baik dan berhasil dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang berada dalam lingkup kepemimpinannya.

Contohnya apakah organisasi yang ia pimpin telah bermasalah di mata publik, apakah organisasi itu meresahkan publik, apakah organisasi itu mengancam NKRI, apakah organisasi itu stagnan atau tidak aktif bekerja, apakah organisasi itu semakin hari semakin baik, apakah pengkaderannya semakin efektif, dan terakhir apa yang telah dibuat organisasi itu untuk kepentingan publik.

Kerap kita lihat ada kebijakan-kebijakan dari pemimpin justru merugikan masyarakat, seperti pembukaan prasarana jalan untuk transportasi yang tidak mengindahkan keinginan masyarakat bawah. Penggusuran yang merugikan masyarakat pedagang kaki lima karena tidak ada solusi efektif lain. Perizinan pendirian pabrik yang membawa petaka polusi yang merugikan masyarakat baik aspek ekonomi maupun kesehatan. Penebangan hutan secara sembarang tanpa memperhatikan aspek geografis, dan sumber daya alam hayati. Jika kita telah menemukan kebijakan pemimpin seperti ini sebaiknya kita tidak memilih mereka, karena kesalahan yang sangat merugikan orang lain itu tidak dapat diubah hanya dalam waktu 5 tahun.

Ketiga, sejauh mana keterlibatan segmen minoritas masyarakat terhadap kandidat pemimpin. Mayoritas-minoritas adalah masalah suku, etnis dan agama. Seorang pemimpin multikulturalis akan menghargai, menghormati, dan bekerja sama dengan masyarakat minoritas. Pemimpin ini tidak memanfaatkan isu rasial dan agama semata-mata sebagai kendaraan politik melainkan ia akan bekerja sama dengan mereka untuk kesejahteraan bersama.

Sebaiknya menghindari memilih pemimpin yang telah cacat multikultural seperti; ia telah menodai kesucian agama, menyebarkan aliran sesat, diskriminasi terhadap aliran-aliran mazhab fikih, menghina agama lain, ia melecehkan budaya etnis dan suku lain. Isu agama sangat sensitif dalam masyarakat Aceh yang dikenal religius, sehingga orang yang memanfaatkan isu-isu sensitif agama biasanya bukan orang multikulturalis yang akan mampu bekerja sama dengan agama (atau aliran) yang lain. Seorang pemimpin adalah milik bersama bukan milik sebuah kelompok saja.

Keempat, keikutsertaan perempuan. Isu gender belum begitu semarak di Aceh. Hal ini bisa diperhatikan dari keikutsertaan perempuan dalam kancah politik yang masih sangat minim. Sedangkan usaha untuk memajukan bangsa seyogyanya harus diikuti oleh kaum hawa. Laki-laki tidak boleh mendominasi dan menghegemoni kepentingan perempuan. Sejauh mana keterlibatan perempuan terhadap seorang kandidat pemimpin adalah salah satu kategori menilai kepedulian pemimpin tersebut terhadap kaum perempuan.

Kelima, pribadi demokratis. Pribadi demokratis pemimpin adalah mampu menghadirkan dirinya sebagai pelayan rakyat, yang akan memenuhi keinginan rakyat ke arah lebih baik. Pemimpin demokratis tidak saja mampu menjalankan roda pemerintahan seperti merancangkan program, menjalankan dan mengevaluasi akan tetapi pemimpin tersebut bersikap jujur, terbuka, dan lapang dada dengan meneladani sifat-sifat Rasulullah saw. Inilah pemimpin demokratis yang saat ini sangat jarang kita temui.

Kelima katagori penilaian multikultural terhadap calon pemimpin sekiranya dapat terwakili menjadi isu-isu penting yang mesti diperhatikan dan dijalankan oleh seorang pemimpin. Namun sebagai pemilih apakah kita benar-benar dapat bersikap multikulturalistik dengan mengabaikan politik kesukuan? Kita belum berkontribusi untuk memajukan bangsa kita jika kita masih saja bersikap bahwa pemimpin yang layak adalah berasal dari kaum kita. Kita tidak bisa berdiri tegap menjadi bangsa yang berperadaban jika saja masih menganut prinsip munyoe kon ie mandum leuhop. Namun jangan sampai kita “dibohongin pakai janji-janji kampanye.” Nah!

* Syamsul Bahri, MA., Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STIS NU) Aceh. Mahasiswa program doktoral PAI Multikultural Universitas Islam Malang (Unisma) Jawa Timur. Email: syamsulbahri167@ymail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved