Melacak Jejak Mante
Sepertinya, inilah tantangan di awal abad ini. Bisakah orang memberi kata pasti, apakah benar suku Mante, yang semula hanya mengisi
Seibarat dengan pawang hutan, pengangkut jangkat hafal lika-liku di sepanjang lintasan. “Baru kemarin Aman Darus lewat menuju arah Blang Kejeren,” ujar si tukang warung. Biasa, tambah si tukang warung, pembawa jangkat akan kembali lewat di sini sekitar empat hari mendatang. Harapan bertemu dengan Darus lenyap sudah. Kami harus bertolak meninggalkan Ise-ise menyusul rombongan menteri yang sudah lebih dahulu menuju Blang (sebutan untuk Blangkejeren, Red). Lagi pula, begitu kata si tukang warung, kalau ingin ke Blang harus lebih awal, sebelum air sungai Ampar Kolak meninggi. Jadi, kami tak mungkin menunggu Darus.
Warung di Ise-ise itu, satu-satunya persinggahan sepanjang perjalanan menuju Blangkejeren. Dulu, kedai itu adalah bekas bivak Belanda sebagai pos Kompi Pasukan Marsose. “Saya pernah bertugas di sana sampai dua tahun,” ujar J.H.J. Brendgen, Kolonel pensiunan Marsose, pada suatu hari di Banda Aceh.
Brendgen belakangan menjadi Ketua Yayasan Peutjoet yang mengurus kompleks pemakaman Belanda di Banda Aceh. Dialah yang membuka cerita tentang suku Mante dan seluk beluk kehidupan di lembah Leuser itu. Dalam masa tugas itu, Brendgen pernah melihat orang-orang Mante. Mereka terlihat kerdil, sering disebut sebagai orang kate. Hidup mereka liar dan primitif, tapi tidak buas.
Brendgen menuturkan hal itu, pada awal tahun 70-an. Waktu itu saja dia tidak yakin, apakah suku Mante itu masih ada, apalagi mereka hidup nomaden suka berpindah-pindah. Walhasil, penuturan Brendgen tinggal di bivak Ise-ise ditelan oleh sejarah.
Ketika mobil kami sampai di tepi sungai Ampar Kolak, nasib memang lagi tidak baik. Air sungai sedang meninggi dan mengalir deras, tak mungkin diseberangi. Jika ingin menyeberang, tak ada jalan lain, mobil harus masuk ke sungai, merayap sampai ke seberang. Tapi kondisi petang itu tidak memungkinkan. Kami harus menanti air sungai surut. Para pencari rotan yang juga akan menyeberang, menuturkan air biasanya surut setelah dua jam ke depan. Artinya, bisa jadi sehabis Magrib.
***
Menyeberang Ampar Kolak, adalah juga bagian yang mendebarkan dari perjalanan ini. Air yang begitu deras, sempat menyeret posisi mobil yang sedang ‘berenang’. Tapi, akhirnya kami selamat. Mobil sampai ke seberang, meskipun harus mengarungi kubangan lumpur dan hutan ilalang.
Ketika mobil semakin dekat ke Blang, Alhamdulillah ada orang yang menjemput. Kami dipandu sampai ke sebuah bangsal yang diterangi oleh lampu petromak. Panitia menyediakan makanan seadanya. Nasi yang sudah dingin, sayur kol, ikan asin, dan sambal. Suatu hal lagi yang tak bisa dilupakan adalah hidangan itu harus dimakan sambil menyingkirkan laron yang berterbangan di bawah cahaya petromak.
Malam itu kami tertidur pulas keletihan. Besok paginya baru kami tahu bahwa kami tidur di atas meja-meja kayu tanpa alas. Untung ada bantal yang sudah mengeras, itulah persediaan yang ada, dan Alhamdulillah, kami tertidur nyenyak.
Pagi itu, menjadi sangat penting artinya. Setidaknya, sebagai jawaban untuk ekspedisi ke masa lampau. Di sebuah warung kopi saya bertemu dengan pak Gurfen, pawang hutan yang kaya dengan berbagai pengalaman. Pak Gurfenlah yang menuturkan tentang kehidupan orang Mante itu.
Suku itu, sangat sulit ditemui. Mereka hidup berpindah tempat, dari hutan yang satu ke wilayah gunung yang lain. Biasanya mereka memilih tempat di lembah-lembah pinggiran sungai. Penciumannya sangat tajam. “Saya pernah mengintip kehidupan mereka, kebetulan saya berada di tempat yang melawan angin,” ujar Pak Gurfen. “Tapi mereka bisa tahu juga, dalam sekejap mereka menghilang. Gerakan cepat sekali, menggendong anaknya sambil berlari melompat-lompat semirip kijang,” ujar dukun besar itu.
Waktu itu, Gurfen bertemu di kawasan hutan tak berapa jauh dari Kampung Badar. Mereka menghilang. Tapi lama kemudiannya Gurfen bertemu dengan mereka di kawasan Isaq. Tubuh orang Mante pendek-pendek, tapi kekar dan tegap. Makanannya buah-buah hutan dan jenis sayur yang ada. Mereka juga memakan ikan dan ayam hutan. Terkadang ada juga yang makan jenis daging yang dibakar. Namun makanan mentah juga mereka libas saja.
Mante yang perempuan, kulitnya biasa saja. Tidak berbulu seperti kaum laki-laki. Mereka umumnya menutup bagian vitalnya dengan daun-daun. Khusus yang perempuan menutupnya dengan rajutan ilalang. Tapi Pak Gurfen tak pernah tahu bahasanya. Yang pernah didengar, mereka suka mengeluarkan suara seperti burung-burung, suara lutung, atau semirip suara lolongan srigala.
Bagaimana mereka berkomunikasi sesamanya, tak bisa dijelaskan. “Saya kira suara-suara primitif yang mereka bunyikan, sekarang telah lenyap ditelan sejarah. Saya, sudah lama tidak bertemu mereka,” kata Gurfen, pada hari itu dalam tahun 1976. Itu lama sekali sudah! Akankah mereka dicari?