Opini

Tantangan Membalas ‘Salam JKA’

KITA yang tidak memiliki talenta seorang sales tak mudah melakukan penjualan, apalagi menjual barang-barang bekas

Editor: bakri

Oleh Saifullah Abdulgani

KITA yang tidak memiliki talenta seorang sales tak mudah melakukan penjualan, apalagi menjual barang-barang bekas. Tetapi uniknya, begitu keluarga sakit dan dirawat di rumah sakit (RS), kita pun menjadi sales profesional. Motor, TV, kulkas, dan segala perabotan rumah tangga, bisa kita jual dalam sekejap. Ini bukan kelakar, melainkan jamak terjadi sebelum program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) diluncurkan, tujuh tahun silam.

Fenomena itu muncul lagi dua tahun terakhir. Masyarakat merasa lebih mudah menjual pakaiannya dari pada mengurus Jaminan Kesahatan Rakyat Aceh (JKRA) untuk bebas biaya RS. Tak heran bila mereka melihat “Salam JKA”, yang berkibar-kibar di jalan dan arena Pilkada 2017, laksana gerimis di musim kemarau. “Salam JKA” itu disahuti ramai-ramai. Hasilnya, Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah melenggang mulus sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, periode 2017-2022. Sambutan “Salam JKA” itu tentu tidak gratis. Masyarakat berharap Gubernur Irwandi membalasnya dengan mengembalikan JKA. JKA yang dilahirkannya dulu. JKA yang memudahkan. JKA yang ramah bila mereka harus dirawat di RS.

Harapan itu membuncah di kalangan masyarakat “Sadikin” (sakit sedikit miskin). Kalangan Sadikin itu terlihat laksana orang kaya, namun begitu dirawat inap di RS kendaraannya juga terpaksa “diopname” di Pegadaian, atau terpaksa dijual. Nasib mereka bisa lebih buruk dari pada fakir miskin dan orang tidak mampu yang mendapat Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Transformasi
Pesona JKRA --nama lain JKA-- memudar sejak PT Askes (Persero) bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, 1 Januari 2014. Pemerintah Aceh melanjutkan kerja sama dengan BPJS Kesehatan --selanjut ditulis BPJS-- meski bentuk relasinya sangat berbeda. Kerja sama sebelumnya, PT Askes mendapat penugasan dari pemerintah Aceh sebagai penyelenggara JKRA. Syarat dan prosedurnya ditetapkan oleh pemerintah Aceh dalam Pedoman Pelaksanaan JKRA.

Sebagai pemilik dan penentu kebijakan JKRA, Pemerintah Aceh leluasa menyesuaikan prosedur tersebut bila menyulitkan masyarakat. Masyarakat yang tidak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK), misalnya, dapat digantikan dengan Keterangan Kependudukan. Mereka yang berobat dengan secara “lompat galah” (langsung datang ke RS tanpa rujukan Puskesmas) dapat dibayar PT Askes atas persetujuan Pemerintah Aceh.

Relasi kerja yang elegan itu tidak berlanjut bersama BPJS. BPJS menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berdasarkan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), PP No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, dan Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

Sebagai satu-satunya penyelenggara JKN, BPJS bisa memonopoli seluruh Jaminan Kesehatan Daerah, tak terkecuali JKRA. Pemerintah Aceh tidak bisa berkutik, meski superioritasnya sebagai “pemberi tugas” kepada PT Askes luruh dan menjadi tersubordinasi dalam sistem JKN. Pemerintah Aceh “hanya” menjadi pembayar biaya jaminan bagi peserta JKRA. Selebihnya, tunduk pada sistem JKN yang diselenggarakan BPJS.

Bagi BPJS, peserta JKRA hanya satu jenis dari dua jenis peserta JKN, yaitu peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan bukan peserta PBI. Peserta JKRA termasuk peserta PBI dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), yang biaya jaminannya setara dengan jaminan pemerintah pusat terhadap peserta Jamkesmas, PBI (APBN), yakni Rp 23.000/org/bulan. Karena itu, BPJS memperlakukan peserta JKRA atau PBI (APBD) sama dengan peserta PBI (APBN) dalam sistem JKN yang dikelolanya.

Selayaknya peserta JKN, pendaftaran di BPJS wajib memiliki KTP dan KK. BPJS memakai Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP atau KK itu sebagai alat identifikasi jenis kepesertaan dalam masterfile. Bila pendaftaran dilakukan saat sudah sakit ada persyaratan tambahan, yakni melampirkan rekening listrik. Masalahnya, ada banyak penduduk tidak memiliki KTP maupun KK. Para pengguna listrik prabayar tidak dapat menunjukkan rekening listriknya. Alhasil, tidak dapat mendaftar sebagai peserta BPJS dan tidak dijamin biaya perawatannya bila mereka sakit.

Tak berdaya
Kita belum tahu jumlah penduduk yang tidak memiliki KTP di Aceh. Tapi anak-anak yang tidak memiliki KK cukup banyak. Ada sekitar 20.000 pasang suami-istri yang menikah siri (Serambi, 21/12/2016) pada “Tgk Balee Giri”. Tak terhitung pula nikah siri dengan istri kedua, ketiga, dan istri keempat, yang “digelapkan” dari istrinya pertama. Anak-anaknya kemungkinan tidak dicatat dalam KK karena pernikahan siri tidak ada Akta Nikah. Bila anak-anak hasil nikah siri itu jatuh sakit, dapat dipastikan tidak mendapat jaminan dari BPJS.

Sayangnya, pemerintah Aceh tak berdaya menolong mereka. Prosedur JKN sulit diintervensi. KTP dan KK seakan haram ditukar dengan Keterangan Kependudukan. Pemerintah Aceh tak kuasa memaksa BPJS membayar biaya perawatan pasien “lompat galah” ke rumah sakit, tanpa melalui prosedur rujukan sebagaimana mestinya. Inferioritas Pemerintah Aceh itulah yang membuat JKRA kehilangan ruhnya. Lalu, bagaimana mengembalikan ruh JKA sebagai balasan “Salam JKA” yang disahuti saat Pilkada itu?

Setidaknya ada tiga “ritual” yang dapat ditempuh: Pertama, pemimpin baru dengan semangat baru sebaiknya membicarakan sistem JKN dengan Presiden Joko Widodo. Peraturan perundang-undangan JKN yang rigid membuat BPJS melangit. Sementara administrasi kependudukan masyarakat kita tak kunjung rapi. Ini bukan gejala keacehan melaikan fenomena keindonesiaan. Jika tidak disepakati solusinya, sudah selayaknya mempertimbangkan kemungkinan “bercerai” dengan JKN dan BPJS.

Kedua, BPJS tampaknya bukanlah rumah layak huni bagi JKA plus, salah satu pendulang suara pemilih bagi Irwandi-Nova. BPJS hanya melayani sesuai menu standarnya. Fasilitas kursi roda, biaya transportasi antarpropinsi dan antarpulau, atau fasilitas lain di luar menu BPJS, harus diurus sendiri pemerintah Aceh, melalui Dinas Kesehatan Aceh. Menu ekstra buat peserta JKRA saja ditolak, konon lagi mengintegrasikan layanan plus berupa bantuan beasiswa dan santunan bagi kaum manula.

Ketiga, membuat Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Aceh (BPJKA). Ini pilihan sulit namun bukan mustahil. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan Perkara No.007/PPU-III/2005 telah menganulir Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Pembatasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dinilai “bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.” Menurut pakar hukum Mawardi Ismail, yang penulis konfirmasi, MK melepas ikatan BPJS sebagai penyelenggara tunggal JKN. Artinya, boleh ada badan lain menyelenggarakan jaminan kesehatan masyarakat.

Hanya saja, apa pun yang akan dipilih berpotensi mengundang polemik. Anggaran JKRA yang mencapai ratusan miliar rupiah tiap tahun itu adalah “sesuatu” bagi BPJS. Para perayu mungkin akan menggoda Gubernur Irwandi Yusuf agar tetap setia dengan BPJS. Kita tahu ahli propaganda tak mudah tergoda. Apalah arti kesetiaan bila tak saling memahami, dan rakyat terpaksa menjual cawatnya untuk membayar rumah sakit. Nah!

* Saifullah Abdulgani, SST, M.Kes., Tim Penyusun Pedoman Pelaksanaan JKA sekaligus ‘Humas’ JKA (2010-2013). Saat ini sebagai Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Aceh, di Banda Aceh. Email: saifullah.abdulgani@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved