Kisah Menakutkan Derita Pengungsi Rohingya, "Ya Allah, Ya Allah”
"Ya Allah, ya Allah," gumamnya terus-menerus, bergerak ke depan dan ke belakang.
"Mereka datang menyasar kami," kata Zakir pada saya. "Melalui pengera suara, militr memerintahkan kami masuk rumah. Kemudian militer dan orang-orang melemparkan bom ke rumah kami, membakarnya."
(Baca: Bela Rohingya ke Myanmar Hanya Perkeruh Suasana, Lebih Baik Salurkan Donasi dan Bantuan)
Mereka mengatakan bahwa ketika warga desa mencoba untuk pergi, para penyerang melepaskan tembakan.
"Orang-orang jatuh terjerembab terkena tembakan," kata Zakir. "Kami berlari ke gunung dan bersembunyi." Tapi anaknya, ayah Mahbub, terbunuh.
"Sepanjang malam kami bisa mendengar mereka menembaki, 'roket-roket' berlesatan," kata Zakir.
Keesokan paginya, mereka melihat desa mereka tinggal puing. Asap membumbung dari rumah-rumah yang membara. "Semuanya musnah," katanya.

Keluarga tersebut mengumpulkan berbagai peralatan yang tidak hancur, mengumpulkan padi yang tertingal lalu pergi.
Mereka berjalan kaki selama 12 hari, melintasi dua gunung dan menembus hutan-hutan.
"Nasi kami habis pada hari kedelapan," kata Zakir. "Kami tidak makan apa-apa lagi, kami bertahan dengan menyantap tanaman dan minum air hujan."
Tidak ada cara untuk memverifikasi secara independen pengakuan-pengakuan ini. Akses ke negara bagian Rakhine sangat terbatas.
(Baca: Fakta-fakta Mengerikan Ashin Wirathu, Biksu yang Disebut Penggerak untuk Serang Etnis Rohingya)
Militer Myanmar membantah semua tuduhan itu dan mengatakan bahwa mereka hanya memburu militan Rohingya yang menyerang pos polisi.
Kelompok pengungsi tersebut kini telah dipindahkan ke sebuah kamp pengungsi yang luas di Balukhali.
Mahbub telah dibawa ke sebuah klinik yang dikelola Organisasi Migrasi Internasional (IOM), pembalutnya telah diganti dan lukanya dirawat.
Kamp pengungsi ini adalah rumah sementara mereka hingga masa depan yang tak bisa diperkirakan.
Tenda mereka terbuat dari lembaran plastik sederhana yang diregangkan pada tiang-tiang bambu. Pasokan air di kamp itu mengandalkan air hujan.
Tapi kelegaan bahwa mereka tetap hidup dan lumayan aman, mengatasi seluruh emosi lainnya.(BBC Indonesia)