Lagi, Lebih dari 10.000 Warga Rohingya Lari ke Perbatasan, Mereka Ketakutan dan Mulai Krisis Pangan

Gelombang pengungsian terbaru ini terjadi karena mereka mengalami krisis pangan pascakekerasan senjata 25 Agustus.

Editor: Faisal Zamzami
EPA
Pengungsi Rohingya menempati apa saja yang tersedia di kawasan Cox's Bazar, distrik Bangladesh yang paling dekat dengan Myanmar. 

SERAMBINEWS.COM, COX'S BAZAR –  Lebih dari 10.000 warga Muslim Rohingya di Myanmar telah berkumpul di dekat perbatasan dengan Banglades.

Gelombang pengungsian terbaru ini terjadi karena mereka mengalami krisis pangan pascakekerasan senjata 25 Agustus dan khawatir akan serangan susulan dari Myanmar.

Kantor berita Agence France-Presse (AFP), Selasa (3/10/2017) melaporkan, lebih dari 10.000 Muslim Rohingya berkumpul di sebuah persimpangan di wilayah perbatasan Myanmar dengan Banglades.

Menurut Media lokal, Selasa ini, ribuan warga dari etnis minoritas Rohingya itu bersiap untuk bergabung dalam eksodus besar-besaran menuju Banglades.

Gelombang pengungsian terbaru ini terjadi akibat kekurangan pangan dan ketakutan akan serangan di permukiman mereka di Rakhine, Myanmar.

(Baca: Banglades Berencana Pindahkan 15.000 Pengungsi Rohingya)

Lebih dari 500.000 orang Rohingya telah masuk ke Banglades dalam lima minggu terakhir, tak lama setelah kelompok gerilyawan Rohingya menyerang lebih dari 30 pos keamanan Myanmar.

Terus meningkatnya gelombang pengungsian etnis Rohingya ke Banglades dan potensi pemberontakan yang besar, menimbulkan keraguan tentang kepraktisan rencana Myanmar untuk mulai memulangkan kembali etnis Rohingya itu.

Separuh populasi Rohingya di negara bagian Rakhine di Myanmar  utara telah meninggalkan desa-desa mereka dalam beberapa minggu.

Lebih banyak melarikan diri karena rasa tidak aman terus menghantui mereka, selain ancaman kekerasan senjata juga karena konflik sektarian dengan warga lokal yang mayoritas Buddhis.

Serangan oleh militan Rohingya pada 25 Agustus, memicu tindakan keras dan ganas tentara Myanmar, yang oleh  PBB disebut sebagai sebuah upaya “pembersihan etnis”.

(Baca: Beri Makan 700.000 Pengungsi Rohingya, PBB Susun Rencana Darurat)

Lebih dari 10.000 "Muslim" telah tiba di sebuah wilayah di antara "desa Letphwekya dan Kwunthpin untuk beremigrasi ke negara tetangga", tulis surat kabar Global New Light of Myanmar, Selasa ini.

Pemerintah Myanmar menolak untuk mengakui Rohingya sebagai warga negara itu dan menyebut mereka sebagai "Muslim" atau "orang Bengali" – sebutan untuk migran ilegal dari Banglades.

Pihak berwenang telah berusaha meyakinkan warga Rohingya yang melarikan diri bahwa mereka sekarang aman untuk kembali ke Rakhine.

(Baca: Bantuan Kemanusiaan dari Pemerintah Indonesia untuk Pengungsi Rohingya Mulai Didistribusikan)

Kekerasan tampaknya telah surut di Rakhine utara, meskipun menurut laporan independen wilayah itu masih dalam penjagaan ketat tentara nasional Myanmar.

Pasukan Penjaga Perbatasan Banglades mengatakan,  ada 4.000-5.000 orang Rohingya sekarang menyeberang ke negara mereka setiap harinya.

"Mereka tidak ingin tinggal di Myanmar. Mereka ingin datang ke sini ... mereka disuruh untuk pergi (dari Myanmar)," kata Letnan Kolonel SM Ariful Islam kepada kantor berita AFP.

Makanan juga habis, dengan penduduk desa terlalu takut untuk menanam tanaman pangan karena takut diserang oleh tetangga mereka yang adalah warga lokal Myanmar.(*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved