Dianggap Merugikan, Sejumlah LSM Minta Qanun Jinayat Ditinjau Ulang
Mereka juga menganggap pengaturan di dalam Perda Syariat Islam di Aceh itu berpotensi pada "menguatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan".
SERAMBINEWS.COM - Pemerintah Indonesia, pemerintah Aceh dan DPR Aceh didesak untuk meninjau ulang Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh, karena sebagian isi dan implementasinya dianggap bertentangan dengan Konstitusi dan merugikan kaum perempuan.
Sejumlah LSM yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat menyatakan hal itu di Jakarta, Minggu (22/10), bertepatan dengan tiga tahun pengesahan Qanun Jinayat.
"Pengaturan yang termuat dalam Qanun Jinayat justru bertentangan dengan Konstitusi dan sejumlah UU, baik substansi maupun dalam proses pembentukannya," demikian isi pernyataan sejumlah LSM yang dibagikan kepada wartawan, Minggu (22/10) siang di Kantor YLBI, Jakarta.
Mereka juga menganggap pengaturan di dalam Perda Syariat Islam di Aceh itu berpotensi pada "menguatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan".
Namun demikian, anggota DPR Aceh, Nur Zahri menyarankan agar kalangan LSM menempuh upaya hukum ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi apabila merasa "dirugikan" oleh subtansi Perda Syariat Islam di Aceh.

Pada Minggu (22/10) sore, BBC Indonesia telah menghubungi Kabiro Humas Pemerintah Aceh, Mulyadi Nurdin, melalui pesan WhatsApp, tetapi yang bersangkutan menolak menjawab pertanyaan karena mengaku tengah berada "di dalam pesawat".
Mulyadi kemudian meminta agar BBC Indonesia menghubungi Kepala Dinas Syariat Islam, Munawar A Djalil. Tetapi saat dihubungi, Mulyadi menolak untuk menanggapi karena mengaku sedang berada di luar negeri. "Maaf saya lagi di Belanda," tulis Munawar dalam pesan WhatsAppnya.
Setahun silam, dalam wawancara dengan BBC Indonesia, otoritas penerangan Pemerintah Provinsi Aceh mengatakan hukuman cambuk telah memberikan efek jera di masyarakat. Mereka juga menolak jika perda itu dianggap bertentangan dengan hukum nasional.
Tiga tahun lalu, DPR Aceh mengesahkan Perda Syariat Islam - yang mulai dirancang pada tahun 2002 - yang isinya antara lain mengatur tentang khalwat (mesum), khamr (alkohol) dan maisr (perjudian).

Dalam perjalanannya, qanun ini mengatur pula sejumlah tindakan pidana yang secara keseluruhan mencakup 10 tindakan pidana, termasuk pelecehan seksual, pemerkosaan, gay, serta lesbian.
Ancaman hukuman pidana dalam Qanun Jinayat kepada pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh beragam mulai 10 hingga 200 kali cambuk. Ada juga hukuman denda mulai 200 hingga 2.000 gram emas murni atau 20 bulan sampai 200 bulan penjara.
Hukuman paling ringan untuk pelaku mesum, sedangkan ancaman hukuman terberat ialah terhadap pemerkosa anak.
Sejak awal, kalangan pegiat hak asasi manusia mengkritik isi qanun karena dianggap diskriminatif dan dapat meningkatkan kekerasan terhadap kaum perempuan. Mereka kemudian meminta peraturan daerah ini ditinjau ulang.
'Mendorong Mahkamah Agung'
Dalam jumpa pers di Kantor YLBHI, Minggu (22/10), Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat -yang menghimpun 20 LSM- mendesak Mahkamah Agung, pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk meninjau ulang Qanun Jinayah Aceh.
