Dianggap Merugikan, Sejumlah LSM Minta Qanun Jinayat Ditinjau Ulang
Mereka juga menganggap pengaturan di dalam Perda Syariat Islam di Aceh itu berpotensi pada "menguatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan".
Sementara, sepanjang Januari-September 2017, ICJR mencatat ada 188 orang yang mendapat hukuman cambuk yang terdapat di sembilan wilayah Aceh.
DPR Aceh: 'Silakan layangkan gugatan hukum'
Dihubungi secara terpisah, anggota DPR Aceh, Nur Zahri, yang terlibat aktif dalam pembahasan Qanun Jinayah, menyarankan agar para pegiat LSM itu melakukan upaya hukum dan lobi politik kepada pihak yang berwenang terkait keberadaan perda tersebut.
"Itu yang saya sarankan. Isu penolakan ini 'kan sudah sedikit basi. Sudah bertahun-tahun (membuat) statement penolakan, tetapi tidak pernah melakukan penolakan seperti diatur dalam UU," kata Nur Zahri saat dihubungi BBC Indonesia melalui sambungan telepon, Minggu (22/10).
Menurutnya, pembuatan semua qanun di Aceh sudah melibatkan semua kalangan, termasuk LSM, baik Aceh maupun nasional. "Ini termasuk Qanun Jinayah, di mana keterlibatan publik di dalam pembuatan qanun itu sangat tinggi," katanya.

Karena itulah, Nur Zahri mengaku heran ketika masih ada penolakan dari pegiat LSM yang saat ini mempertanyakan materi perda tersebut. "Padahal ini sudah relatif lama, bahkan sudah direvisi oleh DPR Aceh."
"Kalau hari ini, mereka mengatakan sangat dirugikan, sedangkan ruang-ruang yang diberikan oleh aturan untuk keterlibatan, tidak pernah mereka manfaatkan," katanya.
Bagaimanapun, jika dianggap masih ada kekurangan dari perda tersebut, Nur Zahri menyarankan agar mereka mengajukan judicial review ke MA atau MK.
"Kalau tuntutan mereka dianggap benar oleh MA, tentu pasal-pasal itu akan dibatalkan, atau bahkan qanunnya dibatalkan," tegasnya.
"Jadi jangan berpolemik di media saja. Mereka (LSM) 'kan paham hukum. Seharusnya jangan main di statement (pernyataan), tapi di ranah hukum," Nur Zahri menekankan.
Pada Oktober 2015 lalu, Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) dan Solidaritas Perempuan telah mengajukan permohonan judicial review terhadap Qanun Jinayah ke Mahkamah Agung.
Mereka menganggap Qanun Jinayah ini bertentangan sejumlah undang-undang (UU) terkait prinsip hak asasi manusia (HAM) dan sistem peradilan pidana. Tetapi upaya hukum ini kandas setelah MA menolaknya. (BBC Indonesia)