Citizen Reporter
Semaraknya Walimatul ‘Urusy Warga Aceh di Eropa, Darabaro Warga Norwegia Linto dari Swedia
Acara ini berlangsung di gedung yang disewa oleh warga keturunan Aceh di Kota Stavanger, Norwegia, Senin (25/12/2017).
Laporan Tengku Abdul Razaq Ridhwan, dari Norwegia
SERAMBINEWS.COM - “Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita,’ begitulah bunyi pepatah Aceh.
Dalam keseharian masyarakat Aceh, sangat kental dengan budaya-budaya dan adat yang telah diwarisi oleh sang indatu masyarakat Aceh.
Namun, memasuki era globlalisasi banyak orang Aceh melupakan kebudayaannya.
Pepatah di atas tadi memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu, mati anak ada kuburan, mati adat di mana kita cari.
Maksud mati adat di sini bermakna hilang.
(Baca: Tak Banyak yang Tahu, Raja Termegah Aceh Sultan Iskandar Muda Mangkat Hari Ini, 381 Tahun Lalu)
(Baca: 381 Tahun Iskandar Muda – Mengenal Kapal Sang Mahkota Alam, Espanto del Mundo, Kata Orang Portugis)
Kalau adat orang Aceh itu sendiri sudah hilang dari kehidupan dalam bermasyarakatnya, di mana kita dapat menemukannya lagi?
Salah satu adat istiadat yang terus dilestarikan masyarakat Aceh adalah pada acara pesta pernikahan (walimatul ‘urusy).
Sebagaimana diketahui, pesta pernikahan merupakan salah satu yang disyariatkan oleh agama.
Mengenai cara pelaksanaannya disesuaikan dengan adat istiadat di masing-masing daerah. Beda daerah, maka beda juga adat istiadat yang kita lihat.
Adat Aceh di Eropa
Dalam adat istiadat Aceh acara intat linto dan preh dara baro serta pesijuek dan lain-lain sudah menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan bagi warga Aceh, tidak terkecuali yang tinggal di Eropa.
Seperti yang saya lihat saat pada pesta pernikahan salah satu orang Aceh yang sudah berkewarganegaraan Norwegia dengan anak Aceh yang berwarga negara Swedia.
Acara ini berlangsung di gedung yang disewa oleh warga keturunan Aceh untuk kegiatan keagamaan, pendidikan, dan acara kekeluargaan, di Kota Stavanger, Norwegia, Senin (25/12/2017).
Dara baronya (pengantin perempuan) adalah Intan binti Abdul Qadir (Warga Negara Norwegia), dan linto baro (pengantin laki-laki) adalah Husein bin M. Syarif (Warga Negara Swedia).

Kedua orang ini lahir di negara masing-masing (Norwegia dan Swedia) dari orang tua yang berasal dari Aceh.
Saya yang tinggal di Langsa, Aceh, hadir pada acara walimah itu, di sela-sela memenuhi undangan mengisi ceramah, shalawat, dan pengajian keliling di rumah-rumah warga Aceh di Denamark, Norwegia, dan Swedia.
Saya melihat betapa semangatnya masyarakat Aceh dalam mempersiapkan acara walimatul ‘urus tersebut.
Kekompakan dan kebersamaan masyarakat Aceh jelas terlihat, walau berbeda tempat tinggal, tapi semua terlihat seperti satu keluarga.
Acara walimatul ‘urusy di Eropa tidak kalah semarak nya dengan acara di naggroe Aceh pada umumnya.
Di Eropa juga diadakan acara Shalawat, doa bersama, acara preh linto baro dan intat dara baro.

Pelaminan Aceh juga terhias indah di acara tersebut. Linto dan dara baro pun memakai pakaian adat Aceh pada saat acara tersebut.
Walaupun kedua mempelai berbeda negara --mempelai wanita warga Norwegia dan mempelai pria warga Swedia-- tapi hal itu tidak membuat adat istiadat Aceh, hilang.
Padahal mereka hidup di negara Eropa dengan adat dan istiadat yang sangat jauh berbeda.
Acara "preh linto baro" juga diawali dengan tarian ranub lampuan oleh anak-anak Aceh di Eropa, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Ayat Suci Al-quran, peusijuek, dan pembacaan Shalawat.

Sewa gedung untuk pengajian
Banyak warga Aceh yang hidup di Eropa telah menjadi warga negara setempat, terutama di negara-negara Skandanavia (Norwegia, Swedia, dan Denmark).
Ada juga juga yang masih berstatus warga Indonesia.
Saya sangat terharu dan senang melihat keadaan masyarakat Aceh yang hidup di Eropa masih memiliki kekompakan dan kekeluargaan.
Bukan hanya itu, masyarkat Aceh di Norwegia, tepatnya di Kota Stavanger, menyewa gedung untuk dijadikan tempat pengajian rutin bagi anak-anak dan orang tua.
Tgk Abdul Qadir (ayah dari dara baro) adalah salah satu alumnus Pondok Mudi Mesra Samalanga yang selama ini menjadi pembina dan guru pengajar di tempat tersebut.
(Baca: VIDEO: Tari Saman Tampil di Europalia Art Festival, Orang Eropa Kagum Bukan Main)
Tgk Abdul Qadir ini berasal dari Nisam, Aceh Utara. Saat menuntut ilmu di Dayah Mudi Samalanga, beliau satu leting dengan Ayah min Cot Trung.
Kesan yang saya dapat dalam kunjungan kedua kali ke Eropa ini, warga Aceh menebarkan nilai positif dan kebanggaan bagi warga Aceh di seluruh dunia.
Di saat kuatnya ekstensi budaya Eropa, tapi mereka masih mempertahankan, bahkan memperkenalkan budaya Aceh di mata dunia.
* Tengku Abdul Razaq Ridhwan adalah Alumni Dayah Mudi Mesra dan Pembina MAZKA Langsa.