Jokowi Tak Mau Tanda Tangani UU MD3, Ada Apa di Balik Keengganan Presiden?
Pertanyaannya, mengapa kini pemerintah "balik badan"? Padahal, UU merupakan produk bersama yang dibahas DPR dan pemerintah.
Meski substansi UU MD3 lebih mengatur internal para wakil rakyat, Yasonna mengatakan, pemerintah berdebat panjang dan alot untuk menjaga agar undang-undang tersebut tidak merugikan masyarakat.
Apalagi, awalnya pemerintah hanya mengajukan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) soal penambahan kursi pimpinan DPR.
Baca: Hotman Paris Unggah Foto Habib Rizieq di Instagram, Begini Kisah di Balik Foto Bersama Tersebut
Baca: Waze dan Google Maps Jadi Aplikasi Wajib Bagi Pelancong, Mana Lebih Unggul di Antara Keduanya?
Namun, dalam perjalananya, para wakil rakyat menambah sejumlah pasal yang saat ini menuai kontroversi.
Yasonna mengatakan, misalnya soal memberikan wewenang kepada Polri untuk menghadirkan seseorang dalam rapat DPR pada Pasal 73 UU MD3.
Saat pembahasan revisi UU MD3, pemerintah mendorong perlunya dibuat aturan teknis mengenai hal itu. Sebab, pemanggilan paksa seseorang dalam rapat DPR RI sebenarnya sudah tertuang pada UU MD3 sebelu revisi.
"Pemanggilan paksa kan sudah ada di undang-undang yang sebelumnya, hanya tinggal mengatur ketentuan bagaimana itu dilakukan melalui peraturan Kapolri, itu saja," ujar Yasonna.
Baca: Warga Aceh di Malaysia Capai 640 Ribu Orang, 25 Ribu di Antaranya Sudah Punya Kedai
Baca: Kejam! Bocah SD Dianiaya Ibu kandung, Korban Disetrika Hingga Luka Hampir di Seluruh Tubuh
Sikap Jokowi Menuai Kritik
Presiden Joko Widodo enggan menandatangani revisi Undang-Undang MD3 yang telah disetujui bersama antara pemerintah dan DPR.
Hal itu diungkapkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada Selasa (20/2/2018). Sikap ini menuai kritik.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, sikap Presiden akan menjadi cerminan buruknya manajemen pemerintahan.
"Patut ditinjau ulang dan Presiden sebaiknya menempuh cara yang lebih tepat dan efektif secara ketatanegaraan dalam merespons desakan publik," kata Bayu dalam keterangannya kepada Kompas.com, Rabu (21/2/2018).