Jokowi Tak Mau Tanda Tangani UU MD3, Ada Apa di Balik Keengganan Presiden?
Pertanyaannya, mengapa kini pemerintah "balik badan"? Padahal, UU merupakan produk bersama yang dibahas DPR dan pemerintah.
SERAMBINEWS.COM - Keengganan Presiden Joko Widodo menandatangani pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau MD3 yang baru saja disahkan DPR RI, menuai tanda tanya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, Presiden enggan menandatangani pengesahan UU MD3 sebagai bentuk protes terhadap pasal-pasal yang menuai kontroversi publik.
Pasal yang dimaksud soal penghinaan terhadap parlemen, pasal tentang memberikan wewenang kepada Polri untuk menghadirkan seseorang dalam rapat DPR, hingga pasal izin Presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap anggota DPR yang tersangkut persoalan hukum.
Pertanyaannya, mengapa kini pemerintah "balik badan"? Padahal, UU merupakan produk bersama yang dibahas DPR dan pemerintah.
Baca: Senator Ghazali Abbas Adan Minta Pemerintah Aceh Sediakan Anggaran untuk Guru Baca Tulis Alquran
Baca: DPRA dan Gubernur Didemo Mahasiswa
Yasonna tidak lapor Presiden
Yasonna mengaku, tidak melaporkan dinamika yang terjadi saat pembahasan UU MD3 kepada Presiden Jokowi.
Akhirnya, DPR mengesahkan UU MD3 itu melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Senin (12/2/2018).
"Waktunya itu kan sangat padat, jadi baru tadi (Selasa kemarin) saya melaporkan," ujar Yasonna saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (20/2/2018).
Namun, Yasonna membantah Presiden Jokowi marah karena tidak mendapatkan laporan.
Baca: L-300 Kontra Sepeda Motor di Aceh Timur, Nyawa Tiga Wanita Penumpang Revo Melayang
Baca: Gubernur Minta Aceh Maraton Dipromosi di Tokyo

Yasonna menjelaskan, substansi UU MD3 sebenarnya mengatur internal para wakil rakyat sehingga peran pemerintah lebih pada menjaga agar undang-undang itu tidak merugikan masyarakat.
"Saya dan Pak Presiden lebih ke diskusi. Enggak (marah) lah. Kami jelaskan saja kepada Pak Presiden bahwa ini (UU MD3) kan lebih berkaitannya dengan rumah tangga di DPR dan lainnya," ujar Yasonna.
Meski substansi UU MD3 lebih mengatur internal para wakil rakyat, Yasonna mengatakan, pemerintah berdebat panjang dan alot untuk menjaga agar undang-undang tersebut tidak merugikan masyarakat.
Apalagi, awalnya pemerintah hanya mengajukan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) soal penambahan kursi pimpinan DPR.
Baca: Hotman Paris Unggah Foto Habib Rizieq di Instagram, Begini Kisah di Balik Foto Bersama Tersebut
Baca: Waze dan Google Maps Jadi Aplikasi Wajib Bagi Pelancong, Mana Lebih Unggul di Antara Keduanya?
Namun, dalam perjalananya, para wakil rakyat menambah sejumlah pasal yang saat ini menuai kontroversi.
Yasonna mengatakan, misalnya soal memberikan wewenang kepada Polri untuk menghadirkan seseorang dalam rapat DPR pada Pasal 73 UU MD3.
Saat pembahasan revisi UU MD3, pemerintah mendorong perlunya dibuat aturan teknis mengenai hal itu. Sebab, pemanggilan paksa seseorang dalam rapat DPR RI sebenarnya sudah tertuang pada UU MD3 sebelu revisi.
"Pemanggilan paksa kan sudah ada di undang-undang yang sebelumnya, hanya tinggal mengatur ketentuan bagaimana itu dilakukan melalui peraturan Kapolri, itu saja," ujar Yasonna.
Baca: Warga Aceh di Malaysia Capai 640 Ribu Orang, 25 Ribu di Antaranya Sudah Punya Kedai
Baca: Kejam! Bocah SD Dianiaya Ibu kandung, Korban Disetrika Hingga Luka Hampir di Seluruh Tubuh
Sikap Jokowi Menuai Kritik
Presiden Joko Widodo enggan menandatangani revisi Undang-Undang MD3 yang telah disetujui bersama antara pemerintah dan DPR.
Hal itu diungkapkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada Selasa (20/2/2018). Sikap ini menuai kritik.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, sikap Presiden akan menjadi cerminan buruknya manajemen pemerintahan.
"Patut ditinjau ulang dan Presiden sebaiknya menempuh cara yang lebih tepat dan efektif secara ketatanegaraan dalam merespons desakan publik," kata Bayu dalam keterangannya kepada Kompas.com, Rabu (21/2/2018).
Baca: BREAKING NEWS - Satu Sepeda Motor Terbakar di Atas Jembatan Lintas Meulaboh-Jeuram
Baca: Habib Rizieq Batal Pulang Ke Indonesia Hari Ini, #KamiBersamaHRS Jadi Trending Topic di Twitter
Ia kemudian mencontohkan kasus yang hampir sama pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat itu, SBY memilih mengeluarkan perppu setelah UU Pilkada diundangkan. Alasannya karena mayoritas publik menolak aturan kepala daerah dipilih DPRD dalam UU tersebut.
"Kami berharap bahwa Presiden mendengar aspirasi mayoritas publik yang menolak beberapa substansi dalam RUU perubahan UU MD3 yang telah disetujui DPR dan Presiden," ujarnya.
"Tetapi, langkah menindaklanjuti aspirasi dan desakan tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai koridor konstitusi dan praktik ketatanegaraan Indonesia," lanjut Bayu.
Bayu mengatakan, sikap Presiden yang tidak segera menandatangani UU MD3 justru menghambat publik untuk segera melayangkan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Karena hukum acara MK mensyaratkan hanya UU yang telah disahkan Presiden dan diundangkan yang dapat jadi obyek pengujian di MK," katanya.
Baca: Eksekusi Cambuk Terpidana Maisir dan Zina Sepi Penonton
Baca: Dari Lapangan Hijau ke Meja Hijau, Mengapa?
Selain itu, lanjut Bayu, tidak menandatangani RUU yang telah disetujui bersama dengan DPR tidak akan berpengaruh secara hukum.
RUU tersebut tetap akan berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari sejak disetujui dalam paripurna.
"Jika Presiden mau, setelah mengesahkan dan mengundangkan RUU Perubahan UU MD3, dapat menerbitkan perppu yang menghapus pasal-pasal dalam perubahan UU MD3 yang ditolak mayoritas publik," kata Bayu.
Bayu mengatakan, penerbitan perppu itu dijamin Pasal 22 Ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tafsir putusan MK tahun 2009 atas makna “kegentingan yang memaksa”. (*)
Berita ini sudah tayang di Kompas.com berjudul: Ada Apa di Balik Keengganan Jokowi Tanda Tangani UU MD3?