Istilah Pelakor Makin Viral, Begini Pendapat Peneliti Linguistik

Ini sebutan bagi perempuan yang dianggap bertanggung jawab merusak hubungan pernikahan sepasang suami istri

Editor: Muhammad Hadi
Capture Video
Dua Wanita di Aceh Berkelahi Gara-gara Pelakor 

Secara kebahasaan istilah ini meminggirkan perempuan. Lebih dari itu istilah ini menunjukkan fenomena sosial-budaya yang lebih besar.

Baca: Istri Sah Labrak Gadis Muda, Suami Datang Malah Belain Pelakor dan Pelukan, Lihat Videonya

Kerapnya istilah ini digunakan dalam cerita di media sosial dan dalam pemberitaan tanpa didampingi istilah yang sepadan untuk pelaku laki-laki, menunjukkan bahwa istilah ini seksis.

Penggunaan istilah tersebut sendirian—tidak dibarengi dengan penggunaan istilah untuk si lelaki tak setia—menunjukkan kecenderungan masyarakat kita yang hanya menyalahkan perempuan dalam sebuah perselingkuhan, meski jelas dibutuhkan dua orang untuk itu.

Kita perlu ingat fakta bahwa (setidaknya) ada dua pihak yang terlibat perselingkuhan.

Baca: Dituding Cemarkan Nama Baik, Wanita Dokter Koas yang Dituduh Pelakor Laporkan Istri Sah ke Polisi

Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menyalahkan pelakor seorang menunjukkan bias negatif kita terhadap perempuan, dan pada saat yang sama mengglorifikasi laki-laki.

Dalam kasus perselingkuhan, tampaknya masyarakat Indonesia masih menerapkan bias gender.

Jika perselingkuhan terjadi, kesalahan ditimpakan pada perempuan, baik dalam peran perempuan sebagai korban (istri yang dikhianati—yang seringkali dianggap “gagal” mengurus suami) atau kepada perempuan lain, yang dianggap merebut.

Baca: Istri Sah Labrak Cewek Diduga Pelakor di Tempat Kerja, Ngaku Sedang Hamil 5 Bulan, Lihat Videonya

Dengan kata lain, kecenderungan kita untuk berteriak pelakor tanpa menyebut-nyebut sang lelaki, menggambarkan kekerasan terhadap perempuan dan persepsi yang buruk terhadap perempuan.

Memasukkan kembali peran laki-laki Jika digunakan sendirian, istilah “pelakor” menghapus peran laki-laki dalam aksi kolaboratif perselingkuhan.

Penggunaan istilah ini dalam isolasi tidak hanya mengerdilkan “daya pikir” sang laki-laki (seakan-akan ia hanya bisa “diculik” oleh perempuan lain tersebut karena ia tidak bisa menggunakan otaknya untuk mengevaluasi apa yang ia lakukan).

Baca: VIDEO - Dua Wanita di Aceh Berkelahi di Hotel Ini Gara-gara Pelakor, 5 Pegawai Hotel Kewalahan

Tapi juga menghilangkan agensinya sebagai manusia yang bebas dan berdaya.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved