Kosakata Arkais Bahasa Aceh Dialek Aceh Besar
Bahasa memiliki sifat selalu berkembang dan berubah sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat
Mereka tidak memiliki ikatanbatin dengan bahasa terdahulu. Seiring dengan kehilangan suatu benda, bahasa Aceh akan ditinggalkan pemakaiaanya oleh generasi usia muda.
(3) Tataran Linguistik
Berdasarkan tataran linguistik, penyebab kearkaisan kosakata bahasa Aceh dialek Aceh Besar mencakup tiga hal, yakni fonologi, morfologi, dan semantik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Lumbantoruan, 2005:52-54).
(a) Aspek fonologi. Kehilangan fonem, misalnya ie aden ‘air comberan’ menjadi aden, lapek gaki ‘alas kaki’ menjadi lapek aki, cawan ie ‘tembokan’ menjadi cawan, neuduk gaseu ‘penyanggah rumah Aceh’ menjadi gaseu, peuto ija ‘lemari kain’ menjadi peuto, sileuweu ‘celana’ menjadi ileuweu, aseutana ‘istana’. Perubahan bunyi, misalnya bentara ‘tentara’ menjadi bintara, haria peukan ‘pasar harian’ menjadi uroe peukan, makblin ‘bidan’ menjadi mablin, Seunanyan ‘Senin’ menjadi inanyan, ija palikat ‘kain’ menjadi ija plikat, euncien ‘cincin’ menjadi incin.
(b) Aspek morfologi. Penghilangan imbuhan me- {meu-} misalnnya, bajee meukeureuja menjadi bajee keureuja, dan penghilangan imbuhan {keu-} bruek keukarah menjadi bruek karah. Penghilangan sisipan {-eur-} misalnnya, ceureumen menjadi cermen.
(c) Aspek semantik. Kosakata bahasa Aceh menjadi arkais karena kata yang bersinonim cenderung mengalami penggunaan yang berbeda, sehingga salah satu kata lebih sering digunakan sementara yang lainnya semakian jarang digunakan. Unsur kosakata yang digunakan ini berubah menjadi arkais dalam kurun waktu tertentu misalnya, haria peukan bersinonim dengan uroe peukan.
Bahasa sebagai alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat dalam berinterakasi dengan sesamanya harus dilestarikan dan dipertahankan.Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Lagu Kebangsaan, Lambang Negara, dan Bahasa, Pasal 42 ayat 2; “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia”. Semoga kita semua terhindar dari penerjemahan bahasa Aceh ke dalam bahasa Indonesia.