Opini
UNBK .
UJIAN Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang disebut juga CBT (Computer Based Test) adalah sistem pelaksanaan Ujian
(Ujian Nyata Berhasil ‘Kagak’)?
Oleh Qusthalani
UJIAN Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang disebut juga CBT (Computer Based Test) adalah sistem pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dengan menggunakan komputer sebagai media ujiannya. Dalam pelaksanaannya, UNBK berbeda dengan sistem UN berbasis kertas atau PBT (Paper Based Test) yang selama ini sudah berjalan. Pemerintah beranggapan, UNBK dapat mengurangi tindak kecurangan siswa dan menghemat pengeluaran biaya cetak. Bahkan pemerintah juga sudah memersiapkan aplikasi khusus bagi pelaksanaan UNBK 2018 ini.
UNBK pertama kali dilaksanakan pada 2014 secara online dan terbatas di SMP Indonesia Singapura dan SMP Indonesia Kuala Lumpur (SIKL). Penyelenggaraan UNBK di kedua sekolah tersebut cukup menggembirakan dan semakin mendorong untuk meningkatkan literasi siswa terhadap TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Selanjutnya, secara bertahap pada 2015 dilaksanakan rintisan UNBK dengan mengikutsertakan sebanyak 556 sekolah yang terdiri dari 42 SMP/MTs, 135 SMA/MA, dan 379 SMK di 29 provinsi dan luar negeri.
Pada 2016 dilaksanakan UNBK dengan mengikutsertakan 4.382 sekolah yang tediri dari 984 SMP/MTs, 1.298 SMA/MA, dan 2.100 SMK. Jumlah sekolah yang mengikuti UNBK 2017 melonjak tajam menjadi 30.577 sekolah, yaitu 11.096 SMP/MTs, 9.652 SMA/MA dan 9.829 SMK. Peningkatan ini seiring dengan kebijakan resources sharing yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, yaitu memperkenankan sekolah yang sarana komputernya masih terbatas melaksanakan UNBK di sekolah lain yang sarana komputernya sudah memadai.
Penyelenggaraan UNBK dalam dua tahun ini melalui sistem semi-online, yaitu soal dikirim dari server pusat secara online melalui jaringan (sinkronisasi) ke server lokal (sekolah), kemudian ujian siswa dilayani oleh server lokal (sekolah) secara offline. Selanjutnya hasil ujian dikirim kembali dari server lokal (sekolah) ke server pusat secara online (upload). Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud No.1 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Ujian Nasional Tahun 2017/2018, yang menegaskan bahwa pelaksanaan UN Tahun Ajaran 2017/2018 akan diprioritaskan melalui UNBK.
Kebijakan baru
Beberapa kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan RI terkait pelaksanaan UN, yaitu UN tetap dilaksanakan. UN tidak menentukan kelulusan. Peserta didik yang berkebutuhan khusus tidak wajib mengikuti UN. Mutu Ujian Sekolah ditingkatkan menjadi USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) untuk beberapa mata pelajaran, menjadikan UNBK sebagai mainstream pelaksanaan UN.
Sungguh, ini merupakan “kemauan baik” dan kebijakan Mendikbud yang layak disambut positif. Meskipun pada UN tahun lalu sudah diujicoba, tetapi pola implementasinya masih samar-samar. Melalui Surat Edaran itu, setidaknya sudah tergambar bagaimana desain implementasi UNBK pada tataran praksis. Nah, tulisan ini mencoba untuk menganalisis secara sederhana “terobosan” Mendikbud dari sisi plus dan minusnya.
Diakui atau tidak, selama ini sejarah UN Berbasis Kertas kerap menimbulkan kisah pahit; mulai kebocoran soal, mahalnya biaya, sindroma guru, hingga rendahnya kompetensi lulusan. Kisah itu selalu berulang hingga menjadi rutinitas peristiwa yang memilukan setiap tahun.
Meskipun demikian, tidak lantas berarti bahwa UNBK bebas kekurangan. Setidaknya sekolah harus memiliki perangkat komputer dan server yang mampu melayani kepentingan siswa didik selama UN berlangsung. Sementara, realitas saat ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan yang menganga lebar antara sekolah di daerah pedesaan dan perkotaan dalam soal kemajuan teknologi informasi. Analoginya, anak-anak di perkotaan sudah melaju mulus di atas jalan tol, sementara anak-anak yang tinggal di pedesaan yang minim komputer dan jaringan internet masih bersikutat di balik semak-semak.
Kondisi riil semacam ini perlu dipertimbangkan secara cermat sebelum UNBK benar-benar diterapkan di semua wilayah. Paling tidak, pemerintah perlu “jemput bola” dengan memberikan subsidi yang memadai dalam pengadaan perangkat komputer berikut paket pelatihannya. Jika hak-hal yang terkait dengan pengadaan perangkat komputer dan pelatihan teknisnya bisa tertangani dengan baik, agaknya UNBK menjadi pilihan yang tepat sebagai pengganti UN Berbasis Kertas.
Pro dan kontra atas kebijakan pelaksanaan UNBK 2018 terus saja berlanjut. Mulai dari sarana dan prasarana di beberapa sekolah belum memadai dan terkesan dipaksakan, juga hasil yang didapatkan dari UN tersebut. Seyogyanya Negara perlu sebuah standar untuk melihat sejaumana sudah kemampuan anak-anak bangsa dalam hal pendidikan. Tanpa standarisasi, maka bisa dipastikan Indonesia akan tertinggal dengan negara-negara tetangga lainnya.
Pemerintah tidak ada sebuah blue print untuk pembenahan daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal. Namun apa hendak dikata, penyelenggara akan menghalalkan segala cara demi sebuah prestise, gengsi sekolahnya akan tertinggal dengan sekolah lain. Belum lagi pertaruhan jabatan jika nilai UN-nya anjlok. Miris memang kalau kita melihat keegoan pribadi, tetapi mengorbankan ruh dari pendidikan itu sendiri. Paradigma yang sudah menjadi virus dalam masyarakat pendidikan tersebut harus dibasmi dan diputus mata rantainya.
Walaupun kebijakan UN sudah beberapa kali berubah, di antaranya UN bukan lagi sebagai satu penentu kelulusan tetapi hanya sebagai pemetaan saja dan UN 2017 dipermudah, siswanya mengerjakan tiga mata pelajaran wajib dan satu mata pelajaran pilihan, tetapi UN masih sakti mandraguna membuat pelaksananya harus mati-matian berjuang dalam menghadapinya. Jangankan peserta UN, yang menentang UN saja bisa berhadapan dengan “tuan besar” yang tak paham ilmu pendidikan. Anehnya para cendikiawan ikut-ikutan latah akan pentingnya UN itu sendiri, sampai-sampai menggiring opini dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tak masuk akal.
Terus berlanjut
Kalaupun dikatakan kebijakan UNBK dalam tahun ini lebih ringan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu hanya sebagai pemetaan saja dan bukan nilai utama kelulusan siswa. Tetapi “pentuhanan” UN terus saja berlanjut. Pengerdilan pendidikan melalui angka-angka tidak bisa dihentikan. Pemerintah dan pemerhati pendidikan hanya melongo saja melihat dagelan yang terus dimainkan tiap tahunnya.
Sebagai bukti bahwa UN masih “sakti mandraguna”, penulis ingin menelisik kebiasaan aneh yang menggelikan hati ini. Satu upaya pembodohan yang terstruktur, sistematis dan massif, yaitu beberapa ritual yang sering dilakukan oleh orang yang sudah mengkukuhkan dirinya sebagai pendidik tersebut. Di Pulau Jawa, misalnya, guru mengajak muridnya berziarah ke makam Sunan Kudus untuk mencari berkah agar lulus ujian. Sedangkan di Bogor dan Semarang, ada sekolah yang mengundang motivator dan psikolog untuk mempersiapkan mental dan semangat siswa (Tribunnews.com, 2017).
Cerita-cerita menarik tentang ritual persiapan para pelajar menjelang UN memang menggelitik. Dulu, di beberapa daerah, misalnya di Jambi dan Demak, Jawa Tengah, ada ritual siswa mencuci kaki ibu sebelum mengikuti ujian. Kegiatan ini dilakukan setiap tahun. Konon ritual ini masih dilestarikan hingga kini. Berbagai ritual itu sepertinya ada yang dilakukan secara individual, ada juga yang dilakukan secara kolektif atau massal. Dari yang lazim hingga yang sedikit mengherankan. Jambi ada ritual tahunan yaitu mencuci kaki ibu dari perserta UN tersebut (Kompas, 2016).
Lain di daerah orang, lain pula di Aceh. Provinsi yang kental dengan syariat Islam ini juga tidak mau kalah dalam melakukan ritual demi suksesnya UN, katanya. Doa bersama dalam bentuk zikir dan istighasah sudah menjadi kegiatan rutinitas tahunan pra-UN. Lalu apa salahnya kita zikir, kan sesuatu ibadah kepada Allah, sering orang nyelutuk demikian. Zikir tidak salah karena merupakan kebutuhan kerohanian kita sebagai umat beragama Islam.
Akan tetapi, yang jadi masalah adalah ketika zikir dilaksanakan pada waktu tertentu yang mengakibatkan penafsiran yang keliru nantinya. Ritual mendadak tersebut disalahartikan sebagai satu upaya mengkultuskan sesuatu yang jelas-jelas dilarang dalam agama kita Islam. Upaya penggiringan tersebut terus berlanjut sampai hari ini, seakan tidak ada itikat untuk menghentikannya. Hal ini sesuai dengan peraturan baru yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Akhirnya, kita mengharapkan mudah-mudahan kegaduhan UN tidak terus berlanjut. Efek negatif terhadap psikologis anak juga jangan sampai berkempanjangan. Toh, UNBK hanya untuk melihat sejauhmana keberhasilan pemerintah dalam menggenjot pendidikan Nasional setiap tahunnya. Jangan sampai UNBK menjadi momok yang menakutkan bagi peserta didik nantinya, “ujian nyata berhasil kagak”. Nah!
* Qusthalani, S.Pd, M.Pd., Ketua IGI Aceh Utara, inisiator Forum Menulis Cek Gu Aceh Utara, Guru SMAN 1 Matangkuli Aceh Utara. Email: qus_fs04@yahoo.co.id