Nasib Preman di Era Soeharto, Didata hingga Ditembak Mati

OPK yang digelar aparat keamanan di Yogyakarta sudah diketahui oleh masyarakat.

Setiap ada mayat yang ditemukan di pinggir jalan, tepi hutan, bawah jembatan, dan lainnya, mayat dengan luka tembak itu kerap dinamai sebagai korban penembakan misterius (petrus).

Istilah ‘petrus’ kemudian menjadi sangat populer sekaligus menakutkan.

Kinerja OPK yang dilaksanakan di Yogyakarta ternyata mendapat perhatian khusus dari Kepala Intelijen RI LB Moerdani dan diapresiasi sebagai ‘kerja bagus dan lanjutkan!’.

Baca: Fadli Zon Tanggapi Silsilah Keluarga Prabowo: Pemimpin Memang Perlu Jelas Bobot Bibit Bebetnya

Cara penanganan gali dengan cara OPK pun diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia dan korban ‘petrus’ pun bertumbangan di mana-mana.

Yang pasti OPK memang terbukti efektif menumpas para gali dan sebenarnya juga mendapat dukungan dari masyrakat luas.

Hingga kini masyarakat kadang masih mengharapkan munculnya ‘petrus’ untuk menangani aksi kejahatan yang makin marak dan brutal.

Terkait OPK yang sukses di era Orde Baru, Presiden Soeharto dalam buku otobiografinya bertajuk Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, keberadaan ‘petrus’ memang ditujukan untuk menimbulkan efek jera kepada para penjahat.

"Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu itu bukan lantas dengan tembakan, begitu saja.

Baca: 5 Fakta Tentang Nissa Sabyan, Ini Rahasia di Balik Penampilan Cantiknya

Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak," ujarnya dalam buku yang terbit pada 1989 itu.

Pada 2012, Komnas HAM pernah mengumpulkan fakta-fakta tentang petrus.

Wakil Ketua Komnas HAM saat itu, Yosep Adi Prasetyo, menyatakan korban penembakan misterius atau akrab dikenal petrus terjadi pada kurun 1982-1985.

Para korban ada di semua daerah dan umumnya memiliki tato.

Uniknya, cara mereka tewas, dalam kondisi yang hampir sama.

"Tangan mereka diikat ke belakang. Tali sepatu sebagai ciri, dipakai untuk mengunci kedua jempol mereka.