Cerpen
Marimba
FAJAR hampir menyingsing. Deru angin terasa semakin dingin. Deburan ombak bantaian menjilati pasir pantai
Karya Iswandi Usman
FAJAR hampir menyingsing. Deru angin terasa semakin dingin. Deburan ombak bantaian menjilati pasir pantai yang membentang luas menghiasi Kuala Matang Deungon. Nun jauh di seberang, bara api Petro Dolar dihembus angin, terlihat bagai mata api panyoet para penyaring bibit udang dan bibit kerapu. Bara api di atas tiang Arun seakan terus tersamarkan di atas riak gelombang.
Janjieng adalah pria bermata sipit yang telah bertanah air di negeri ini. Pria itu sepertinya telah melupakan tanah asalnya. Ia tampaknya telah nyaman dengan kain sarung yang kerap ia lilitkan di pundaknya di tiap ujung malam. Kadang Janjieng memanggul pukat anak kerapu, terkadang juga ia memanggul saring anak udang. Rutinitas hariannya tak pernah tergantikan hingga saat usianya kini telah beranjak tua. Janjieng masih bergelut dengan alunan gelombang bantaian dan hawa dingin di penghujung malam.
Tanah gersang. Tandus. Mengering. Musim kemarau telah lama merajai waktu. Namun kali ini, petir dan badai berkuasa. Datang tiba-tiba menyapa dengan segenap kepongahannya. Desas-desus akan turun hujan. Tapi badai dan petir itu kian menjadi-jadi. Debu berterbangan. Kilat menyambar-nyambar dan menjilat pucuk-pucuk yang tinggi. Sebatang kelapa tua di tepi kuala menjadi tumbal keganasan cuaca malam itu. Awan melegam. Langit kelam. Suasana di bumi bagaikan sedang dalam cengkraman DOM. Ya, pada masa DOM lah Jangjieng mulai menapakkan kakinya di tepi kuala ini, berpuluh-puluh tahun silam.
Janjieng berjalan terseok-seok di antara deru debu dan terpaan angin. Langkahnya terayun kian tajam menginjak jalanan. Suara tapak kaki telanjangnya menginjak lumpur di pematang tambak yang telah dilumpuri saat pemiliknya membuang adok untuk membersihkan tambaknya agar bersih dari kotoran dan bau ikan mati. Pukat digulamannya bagai tas ransel anak sekolah, sedangkan saring dipanggulnya dengan pundaknya yang ringkih. Tubuhnya terseok-seok penuh peluh. Dengan cekatan, pria itu pun menginjak pasir yang ditumbuhi rumputan tapak kuda yang menjalar. Janjieng meletakkan pukat dan saring di atas pasir dan berjalan menuju air yang berbuih dihempas ombak. Janjieng membersihkan kedua kakinya yang berlumpur, kemudian menyalakan senter tangan ke air di antara ombak-ombak kecil yang saling bekejaran. Tampaknya Janjieng sedang memperhatikan bibit-bibit kerapu dan bibit udang wat yang melayang-layang di antara deru ombak. Selain baren alias sabe, Janjieng tak melihat ada sebiji pun bibit kerapu maupun bibit udang wat. Dia kembali ke darat dan duduk menghadap laut.
Sebuah kapal tongkang yang disebut landeng berjalan pelan mengarungi lautan lepas. Kelap-kelip lampu-lampu kapal mewarnai lautan. Mendung melegamkan wajah langit. Kemudian muncul sebuah kapal pengangkut gas yang akan entah dibawa ke mana. Angin kencang terus menerpa tubuh Janjieng dengan sedikit lebih ganas. Hawa dingin menggigilkan belulang Jinjieng, ia rasakan seperti siksaan dan pengkhianatan cinta dari kekasih pertamanya. Memang gadis itu telah membuatnya patah hati dan terluka untuk selamanya.
“Cinta tak cukup dengan dengkul, Bung!” kata-kata itu terngiang lagi di telinga Janjieng. Paras ayu Mona terus terkenang di ingatannya. Kata-kata ibunya Mona seakan mencabik nalurinya. Karena kemiskinannya, cintanya pun pupus dan terkubur. Mati untuk selamanya. Terkutuk untuk semua cinta yang lain. Dan Mona adalah perempuan satu-satunya pilihan hatinya yang kandas oleh belenggu harta dan kasta yang berbeda. Dan, Jakarta telah mengusirnya pergi.
Tang ting! Suara itu membuyarkan lamunan Janjieng.
Tengggg...tenggg...! Suara itu bergemuruh. Datang dari arah Kuala. Bakk...geudeubak...geudeubummm... Suara itu seperti suara jeungki orang menumbuk padi. Ale meunari leusong meudoda.
Janjieng bangkit. Ia mencoba mendengar suara itu. Badai yang mulai reda dan gaduh petir yang mulai lenyap, kini telah setara dengan suara deburan ombak-ombak kecil khas pantai yang tenang, membuat suara yang sedang Janjieng simak itu terdengar kian jelas. Pagi yang mulai meremang membuat Janjieng lebih mudah untuk melihat sesuatu yang tiba-tiba muncul di mulut kuala. Janjieng melangkah mendekati bayangan yang muncul itu.
Ia penasaran pada apa yang sedang tampak samar di matanya. Janjieng kini telah berdiri di atas pematang kuala. Pandangannya terus ia arahkan ke tengah mulut kuala. Sebuah benda berwarna kuning berkilau tampak sedang di jungkat-jungkit oleh seorang perempuan tambun bertubuh kuning dan berkilau. Perempuan itu mengenakan gaun pengantin keemasan, juga hijabnya. Perempuan itu terus memainkan benda itu, khas perempuan Aceh kala sedang menumbuk tepung dengan jeungki.
Perempuan itu melambai-lambaikan tangannya ke arah Janjieng. Memanggilnya dengan lembut sambil menyunggingkan senyum di bibirnya yang kuning bercahaya. Janjieng menoleh ke ufuk timur. Sinaran mentari kian membias di langit. Tapi keajaiban yang terjadi di mulut kuala masih kian tampak jelas di mata Janjieng. Jeungki dan perempuan berwarna emas itu tak juga menghilang walau pagi telah menggantikan malam. Semakin lama. Bias mentari kian menyatu dengan cahaya keemasan dari jeungki dan perempuan tambun itu.
Membuat air kuala yang mulai pasang bak disepuh dengan intan juwita. Gemerlap pagi itu seakan menyentuh hati Janjieng untuk melangkah lebih jauh ke arah jeungki dan perempuan kuning itu. Perlahan Janjieng mulai turun ke air kuala. Semakin jauh semakin terasa pula betapa dalamnya kuala, hingga membuat Jinjieng terpaksa harus mengapungkan dirinya, berenang menghampiri jeungki dan perempuan tambun bergaun pengantin keemasan. Janjing menyentuh lesung dan menaikinya. Tangannya memegang alu hingga ke ukiran kepala ayam jantan di ujung jeungki. Perempuan tambun itu pun mematung bersama jeungki yang tak lagi bergerak.
Inikah jeungki Marimba yang konon ditakuti oleh semua pelaut?
Inikah jeungki misterius itu yang sering diceritakan oleh para pelaut yang melintasi kuala ini?
Inikah hantu penghuni kuala ini?
Janjieng seperti tersihir dengan pertanyaan-pertanyaannya yang bermain dan bermunculan di dalam benaknya sendiri.
“ Akulah Monamu,” tiba-tiba suara perempuan muncul dari balik bibir keemasan itu.
Janjieng tersentak. Suara halus itu terasa cukup akrab dengan kehidupannya. Suara itu menyatakan dirinya adalah Mona. Monalisakah dia? Tapi mengapa mematung?
“Akulah Si Pemilik Jeungki. Akulah yang orang-orang sebut Marimba. Kau boleh mempersuntingku. Bawalah aku kemana pun kau inginkan. Emas diriku dan jeungkiku lebih besar daripada emas di puncak Tugu Monas. Kau boleh menggunakan aku semaumu. Sepuas hatimu, Janjieng! Cintaku padamu lebih berharga dari apa pun di dunia ini. Kemurnianku dunia pun tak mampu menandinginya. Sanggamalah aku. Bukankah itu salah satu yang selama ini kau harapkan dariku?” Bisikan suara halus dan lembut itu merasuk perlahan ke dalam diri Janjieng. Terbuai dan terpana adalah hal yang lumrah untuk emas sebesar itu. Kilauan. Dalam ton beratnya.
“Aa...apa kau benar-benar Monalisa?”
“Ya. Akulah Monalisa yang dulu kau nanti-nanti.”
“Jeungki Marimba?”
“Ya. Bayang-bayang Monalisa adalah jeungki Marimba.”
“ Penunggu kuala?”
“ Bukan. Aku bukanlah penunggu kuala. Tapi aku adalah penunggumu, Janjieng. Menunggumu selamanya.”
“ Tapi kau?”
“ Kisah cintaku telah jadi misteri. Kau takkan pernah mengerti.”
Angin bertiup dari laut menuju darat. Boat dan sampan nelayan bersandaran di tepian. Semalam badai. Tak ada seorang nelayan pun yang berani melaut. Dan....
“Keparat...pekak...sialan...”
Suara bentakan dan tendangan tapak sepatu di dada Janjieng yang bertubi-tubi membangunkan Janjieng dari tidurnya. Tubuhnya terbanting beberapa kali di atas debu. Janjieng berusaha memicingkan kedua matanya. Janjieng terkejut bukan kepalang. Puluhan sertadu lengkap dengan baret dan senjata khas sedang sedang mengerumuninya.
“Ikat dan lemparkan dia ke reo,” perintah salah seorang dari serdadu pada temannya.
Janjieng kini tak hanya sebatas patah hati karena cintanya pada Mona yang terhalang oleh orang tua Mona. Tapi, satu tulang rusuk kirinya juga telah patah karena tapak sepatu. Mungkin juga nyawanya, lantara tak ada seorangpun yang berani menjaminnya untuk kembali hidup dan memukat atau menyaring bibit-bibit kerapu dan anak udang wat di pantai kala malam hendak mengukuhkan fajar. Yang jelas, sejak kejadian itu, Janjieng tak pernah lagi terlihat di sekitar pantai, walau hanya sekali saja dalam sejarah kehidupan di Kuala Matang Deungon.
* Iswandi Usman lahir di Matang Panyang, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, 5 Februari 1981. Sehari-hari bekerja sebagai guru PNS pada SD Negeri 8 Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara.