Gerhana Bulan Total 2018
Shalat Gerhana, Ini Asal Usul Perintahnya
Perintah shalat gerhana bermula dari kebiasaan orang Arab yang mengait-ngaitkan gerhana dengan kematian orang penting
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
Secara kebetulan, pada hari yang sama, putra Nabi Muhammad SAW yang bernama Ibrahim bin Muhammad wafat dalam usia 16 tahun.
Orang Arab yang sejak masa pra-Islam percaya gerhana merupakan pertanda adanya kematian tokoh penting, lantas langsung mengaitkan gerhana matahari cincin itu dengan kematian putra Nabi.
Mengetahui hal tersebut, Nabi Muhammad SAW mengatakan gerhana sama sekali tak terkait dengan kematian putranya, tetapi merupakan wujud kekuasaan Allah SWT.
Saat gerhana matahari itu terjadi, Rasulullah menyerukan kepada kaum muslimin untuk bersegera melaksanakan bertakbir, shalat, berzikir, dan berdoa kepada Allah. (Lihat, Niat dan Tatacara Shalat Gerhana).
“Prosesi gerhana ini diakhiri dengan khutbah yang salah satu isi terpentingnya adalah mengingat kebesaran Allah dan menganjurkan kaum muslimin untuk bersedekah,” ujar Zul Anshary.

Perintah shalat gerhana ini tersurat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
"Matahari dan bulan adalah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Terjadinya gerhana bukan karena kematian atau kehidupan seseorang. Maka, bila melihatnya berzikirlah kepada Allah SWT dengan mengerjakan shalat."
Selain hadits yang sudah muktabar tersebut, kata Zul Anshary, ada beberapa riwayat hadits lain yang menceritakan secara detil tentang peristiwa gerhana matahari yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, sehingga keluarnya perintah Shalat Khusuf.
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah r.a. (istri Nabi Muhammad SAW).
Berikut terjemahannya;
“Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW pun keluar menuju masjid dan berdiri lantas bertakbir (menunaikan shalat), sehingga orang-orang pun ikut membentuk shaf di belakangnya.
Lalu Rasulullah SAW membaca dengan bacaan yang panjang. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku dengan ruku’ yang panjang.
Kemudian beliau mengangkat kepalanya seraya membaca: ‘sami’alloohuliman hamidah Rabbanaa wa lakalhamdu (Allah Maha Mendengar siapa saja yang memuji-Nya).’
Kemudian beliau berdiri dan membaca dengan bacaan yang panjang, namun lebih pendek dari bacaan yang pertama.