Tura, Mahasiswa Berprestasi yang Memilih Bekerja untuk Kaum Disabilitas
Makanya dari situ Tura sembari mengajak teman-teman lain untuk mencoba merangkul masyarakat berkebutuhan khusus.
Penulis: Nani HS | Editor: Yusmadi
KELAHIRAN Banda Aceh, 17 Desember 1994 ini sebenarnya jebolan Srata-1 Teknik Lingkungan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Namun jangan berpikir pemilik nama Rahmah Masturah ini sudah punya masa depan yang menjanjikan, banyak teman, masuk barisan sosialita, atau eksekutif muda.
Walaupun dia pemenang lomba karya ilmiah tingkat internasional misalnya International Environment & Sustainability Project Olympiad Belanda, tahun 2011.
Penerima Beasiswa Unggulan, Biro Pendidikan dan Kebudayaan Luar Negri untuk Pendidikan Strata 1, penerima program pertukaran pelajar, Association Internationale des Étudiants en Sciences Économiques et Commerciales, Georgia, 2016.
Penerima program pertukaran pelajar, The Young Southeast Asian Leaders Initiative, Amerika 2017, tapi tetap saja belum mendatangkan materi yang aduhai.
Baca: Penyandang Disabilitas Berhak Dapat Pekerjaan
Apalagi Tura (sapaannya), baru pegawai kontrak di PU Cipta Karya. Relatif belum dikenal luas.
Tapi tanyalah, siapa Tura bagi kalangan disabilitas di Kabupaten Pidie?
Melalui lembaga swadaya masyarakat yang didirikannya, Oensekee, dialah sejawat "penghidupan" awak berkebutuhan khusus itu.
Serambi pun kepo.
"Apa yang Tura cari, secara Tura kan punya kesempatan lain yang lebih bermasa depan?"
"Gak taulah. Tura sedih aja liat masyarakat disabilitas yang kadang kurang diperhatikan.
Nah ketika sudah kembali ke Aceh, satu sore saat sedang stop di traffic light sebuah simpang di Banda Aceh, Tura liat ada para disabilitas yang sepertinya dipaksa meminta sumbangan kepada pengguna jalan yang melintas.
Saat itu, di pikiran Tura terlintas, 'Kenapa Tura tidak memberdayakan mereka ya?'
Makanya dari situ Tura sembari mengajak teman-teman lain untuk mencoba merangkul masyarakat berkebutuhan khusus.
"Gitu sih awalnya," papar Tura yang dari cara bicaranya terkesan low profile.
Itulah detik-detik pernyataan sikap Tura pada sanubarinya.
Baca: Banda Aceh Godok Aturan Baru, Lembaga Pemerintah, BUMN, dan BUMD Wajib Pekerjakan Disabilitas
Meskipun butuh proses untuk menggarap idenya, namun sebenarnya ilmu kerajinan sudah dimiliki Tura kala menjadi mahasiswi di Yogya.
Sejak di bangku kuliah Tura sudah aktif dalam merangkul teman-teman disabilitas di kota pelajar itu untuk pembuatan dompet kulit, misalnya.
Tinggal ubah, dari jenis kulit ke bahan anyaman, yang di Aceh menggunakan bahan on seukee (daun pandan berduri yang tumbuh di pinggir laut).
Setelah pengalaman menemukan disabilitas di jalan, lalu niatnya diperkuat lagi dari pengalaman Tura pulang ke Sigli Pidie, kampung halamannya.
Tura melihat seorang ibu yang sedang bekerja membuat tikar dari on seukee.
Ada dialog yang memilukan hatinya.
"Berapa biasanya harga tikar ini Buk?" tanya Tura pada seorang penganyam tikar on seukee.
Baca: Mahasiswa Ajari Disabilitas soal Mitigasi
"Berapa pun lah, asalkan cukup makan dua anak ibu yang sedang sekolah," jawab ibu yang ditanya Tura.
Tura tersentuh. Maka makin bulat niatnya mendirikan Oensekee Project sebagai wadah perjuangan para penganyam tikar, termasuk memberdayakan kaum disabilitas.
Apalagi mengingat rendahnya pendapatan dari usaha kearifan lokal Pidie tersebut.
Dalam hati Tura, "kenapa tidak menjadikan Oensekee Project melahirkan produk bisnis yang bernilai jual tinggi, artistik, dan repeat purchase (cepat habis, namun pelanggan membeli ulang secara teratur ya?-red)."
Begitulah, karena Tura sering mendatangi hotel sehubungan dengan kerjanya di bidang teknik, Tura kemudian beroleh ide membuat sandal hotel dari bahan on seukee.
"Kan Tura pernah belajar sosial bisnis di University of Connecticut, Amerika Serikat melalui program Young Southeast Asian Leaders Initiative. Ya nyambung kan," ujar Tura.
Baca: Pelajar Bireuen Dapat Beasiswa ke Amerika
Namun untuk mewujudkan keinginannya itu, tak mulus bagi Tura. Ide bisnis yang ditawarkan kepada penganyam tikar pandan di Sigli, ditolak mentah-mentah. Alasannya, mereka tak punya waktu belajar keahlian baru dan sudah nyaman dengan hasil tikar on eukee mereka sendiri.
Tura tak putus harapan. Ia lantas menceritakan kendala itu kepada seorang teman. Cut Ervida Diana, namanya, yang kemudian menjadi co-founder Oensekee Project.
"Dialah yang memperkenalkan saya dengan Duta Disabilitas Aceh, Zulfadli, yang kemudian menjadi jembatan antara ide bisnis sosial dengan masyarakat berkebutuhan khusus. Setelah itu, kami menemui ketua Forum Komunikasi Masyarakat Berkebutuhan Khusus Aceh dan Pidie, serta komunitas disabilitas, Natural Aceh Provinsi Aceh.
Dengan dana pribadi (dana hibah yang Tura dapatkan dari sebuah kompetisi sosial bisnis saat sedang mengikuti pertukaran pelajar di Amerika Serikat), perempuan yang punya IG @rahmahmasturah ini, bersama timnya memulai langkah.
Dengan terget jangka panjang ingin menjadikan lokasi produksi sebagai pusat kerajinan dan edukasi penyandang disabilitas di Provinsi Aceh.
Juga ingin bekerjasama dengan berbagai pelaku bisnis dari sektor perhotelan, rumah sakit, dan souvenir di Provinsi Aceh.
"Tapi sekarang ini kami belum bisa memenuhi pesanan yang besar-besar. Kami memulai dari nol dan belum apa-apa. Mengingat perangkat kerja masih minim, terutama mesin jahit. Untuk hotel-hotel di Aceh kami belum berani, takut tak bisa memenuhi pesanan," katanya.
Baca: Benarkah Pegang Smartphone Seperti Ini Sebabkan Cacat Kelingking? Ini Fakta yang Benar
Tapi sejauh ini Tura pernah kirim ke perkantoran jasa konsultan di Yogyakarta, ke salah satu sekolah internasional di Bali, ke car free day Banda Aceh, ke Headquarter United Nation di Swiss, dalam rangka Hari Disabilitas Internasional.
Baru segitu aja sih.
Tapi Tura bahagia. Ternyata program ini telah membangkitkan rasa percaya diri dan semangat hidup para penyandang disabilitas.
Senang rasanya," ungkap Tura.
Nah, Andakah orangnya yang mau menyumbang bagi kelompok swadaya yang kekurangan ini? (Nani HS)