Ini Potensi Konflik di Aceh pada 2019?

SAYA mencoba mengulas tentang peta konflik yang mungkin akan terjadi pada 2019 mendatang

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/SUBUR DANI

Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad

SAYA mencoba mengulas tentang peta konflik yang mungkin akan terjadi pada 2019 mendatang. Konflik ini masih hanya sebatas prediksi. Tentu diharapkan tidak akan terjadi dalam realita kehidupan masyarakat Aceh.

Ada lima potensi konflik yang sangat boleh jadi akan berlaku. Pertama, tahun depan, rakyat Aceh akan memilih Wali Nanggroe baru. Lembaga ini dengan segala fasilitas yang melekat padanya, akan diisi oleh sosok yang dipilih sesuai dengan mekanisme. Saat itu, beberapa kelompok memandang bahwa apakah Wali Nanggroe akan dipilih dari sosok yang menduduki posisi tersebut atau rakyat Aceh diuji untuk memunculkan sosok baru.

Kedua, konflik antara kelompok yang disinyalir sebagai Wahabi dengan kelompok anti-Wahabi. Konflik ini sudah mulai tampak dalam beberapa tahun terakhir ini, di mana alumni satu perguruan tinggi di Yaman mulai banyak mendapatkan respons dari masyarakat. Respons terkini adalah melalui pola pengusiran terhadap beberapa individu yang dianggap membawa pemahaman yang berbeda dengan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Tahun depan tampaknya, puncaknya akan lebih banyak berbenturan fisik ketimbang non-fisik.

Ketiga, konflik antara dua penganut pemikiran tasawuf di Aceh. Kendati konflik ini belum mencuat ke permukaan, namun secara pelan namun pasti, hubungan antara dua kelompok ini tidak begitu mesra. Pola konflik yang berlandaskan pada pemahaman kesufian ini memang sangat diharapkan tidak akan terjadi secara fisik. Akan tetapi jika tidak dikelola secara baik, sangat boleh jadi riak-riak kecil yang sudah muncul belakangan ini, akan meledak pada tahun depan.

Keempat, konflik yang disebabkan dampak dari kehadiran perusahaan tambang di Aceh, yang telah banyak memberikam dampak negatif bagi masyarakat di sekitar. Di sini, kedaulatan tanah dan air tidak lagi dimiliki lagi orang rakyat Aceh. Bahkan kedaulatan adat tidak begitu lagi berfungsi wibawanya di dalam menjaga bumi dan air di provinsi. Akibatnya, tahun depan beberapa kelompok masyarakat akan menentukan sikap mereka terhadap pengrusakan lingkungan mereka oleh perusahaan tambang.

Dan, kelima, konflik elite politik di dalam menghadap pemilihan calon legislatif, terutama di kabupaten/kota. Di sini lebih banyak muncul konflik yang didasarkan pada ketidakpuasan terhadap bagi-bagi suara saat pileg. Akan tetapi, konflik ini akan banyak diselesaikan di pengadilan, mulai dari Aceh hingga diusung ke Jakarta. Namun, ekses konflik ini akan dirasakan oleh masyarakat, terutama ketika muncul disinformasi di tengah-tengah masyarakat, khususnya ketika ada pihak-pihak tertentu yang menyebarkan berbagai propaganda. Biasanya, intimidasi dan adu domba akan dilakukan supaya tercipta kondisi yang tidak aman dan nyaman di Aceh.

Isu agama
Dari lima potensi di atas, tampak bahwa isu agama masih sangat mendominasi. Hal ini dipicu di Aceh saat ini polarisasi gerakan keagamaan agak sulit membangun dialog yang harmonis. Tidak hanya itu, pemerintah masih absen dalam menangani isu keagamaan yang muncul di dalam masyarakat. Tokoh-tokoh agama pun sama sekali tidak begitu berfungsi dalam mendamaikan setiap konflik yang muncul di dalam masyarakat. Mereka yang memiliki otoritas dan kharisma cenderung tidak menggunakan fungsi tersebut. Akibatnya, pengikut mereka seolah-olah mendapatkan restu, ketika pimpinan puncak mereka tidak bersuara, ketika ada potensi konflik di antara sesama pendukung.

Selain hal di atas, satu potensi kuat kemunculan konflik di Aceh adalah rembesan konflik elite yang terjadi di Jakarta. Menjelang pemilihan presiden/wakil presiden (pilpres), isu identitas keagamaan masih mewarnai dunia media sosial. Proses fragmentasi seperti ini membuat masyarakat semakin terbelah antara satu sama lain. Berbeda pendapat di media sosial menyebabkan pemetaan potensi konflik semakin menganga di depan mata. Energi umat Islam untuk menempel pada satu calon presiden yang akan berlaga tahun depan, juga berdampak di provinsi Aceh.

Rembesan konflik di Jakarta yang terhubung dengan fragmentasi kelompok beragama di Aceh memberikan dampak negatif terhadap relasi sosial. Situasi konflik di dunia maya lebih berdampak jangka panjang. Konflik di dunia maya akan memberikan pengaruh pada sistem berpikir masyarakat. Sebab, banjir informasi yang datang ke ruang privat, membangun sikap saling curiga di antara masyarakat. Kecerdasan dalam memahami banjir informasi ini perlu segera disosialisasikan ke tengah masyarakat.

Banjir informasi tersebut terkadang lebih banyak hoax, namun ketika berulang kali disebarkan bukan tidak mungkin dianggap menjadi benar, terlebih ketika ada fenomena sosial yang seolah-olah membenarkan berita hoax tersebut. Pola penyesatan masyarakat melalui media sosial malah sudah dianggap sebagai strategi satu untuk melawan musuh, walaupun yang menjadi korban adalah saudara kita sendiri. Penyesatan dan propaganda akan terus mewarnai konflik di dunia maya, yang juga akan berdampak pada kehidupan sosial kemasyaratan.

Oleh karena itu, potensi konflik pada 2019 akan menjadi ujian terakhir bagi rakyat Aceh. Jika ujian ini dilewati tanpa berdarah-darah, maka kesatuan rakyat Aceh akan diuji lagi, ketika pemerintah pusat mulai tidak menganggap penting provinsi Aceh dalam strategi nasional. Dana otonomi khusus (otsus) akan menjadi ujian selanjutnya bagi rakyat Aceh. Selama ini, pesta dana otsus atas nama penyelesaian konflik telah berakhir. Sehingga rakyat Aceh harus memulai babak baru untuk menggabungkan kesadaran kolektif, mencari cara agar Tanah Rencong masih disegani oleh pemerintah pusat.

Harapan rakyat
Selama ini, pemerintah pusat telah berhasil “membonsai” kekuatan separatis secara sistematis. Rasa takut terhadap ancaman-ancaman menjelang pemilihan anggota legislatif (pileg) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) telah berakhir. Bunyi senjata telah ditukar menjadi bunyi UUPA. Karena itu, harapan rakyat Aceh hanya terletak pada kekuatan memperjuangkan UUPA sesuai dengan substansi MoU Helsinki. Inilah dua kekuatan utama yang membuat Aceh masih “istimewa” di hadapan pemerintah pusat.

Selama ini kesadaran untuk serius membangun Aceh telah diubah dengan pola menaikkan pendapatan secara ilegal (baca: korupsi). Pengalaman penangkapan terhadap Irwandi Yusuf menjadi catatan penting bahwa siapa pun tidak kebal hukum di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe yang awalnya menjadi “singa”, rupanya masih minim perannya di dalam kehidupan masyarakat Aceh secara umum. Selama ini, lembaga ini hanya menjadi simbol, tetapi tidak memberikan makna substantif bagi rakyat Aceh itu sendiri. Akibatnya, lembaga puncak ini sama sekali belum berperan sebagaimana diinginkan oleh rakyat Aceh.

Akhirnya, kita berharap bahwa prediksi ini tidak akan terjadi, seiring dengan kedewasaan sistem berpikir masyarakat Aceh saat ini. Konflik kalau diadu-domba mudah dilerai. Namun, kalau konflik karena tidak ada titik temu disebabkan oleh berbeda sistem berpikir dan hal-hal yang bersifat simbolik, biasanya akan larut dan menjadi bagian dari budidaya sentimen dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Karena itu, semua elemen masyarakat harus berpikir, apakah tahun depan kita akan menyaksikan kemelut baru di Aceh? Jawabannya ada di benak kita masing-masing.

* Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Staf pengajar pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: abah.shatilla@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved