Opini

Euforia Demokrasi dan Geopolitik Aceh

TERSEBUTLAH sebuah negeri antah berantah yang bernama “Negeri Gilabeh”. Rakyat di sana sedang bersukacita

Editor: bakri
Grafis Tribunwow/Kurnia Aji Setyawan

Oleh Abd. Halim Mubary

TERSEBUTLAH sebuah negeri antah berantah yang bernama “Negeri Gilabeh”. Rakyat di sana sedang bersukacita mencari sosok pemimpin baru yang akan memimpin negeri mereka. Pasalnya, pemimpin sebelumnya yang telah lama memimpin, tidak bersedia lagi bertarung memperebutkan kursi kepemimpinan karena sudah bosan jadi orang nomor satu di negerinya. Secara umum, Gilabeh hampir sama dengan negeri-negeri lain di sekitarnya, di mana rakyatnya hidup sederhana, tidak makmur tapi juga tidak melarat. Demikian pertunjukan Brigade Orgil yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (Kompas, 12/8/2018).

Pentas Brigade Orgil yang mengusung isu “serba gila” sebagai tema lakon yang terjadi di Negeri Gilabeh, merupakan sebuah sindiran terhadap pergulatan politik yang tengah terjadi di Indonesia. Parodi ini secara kasat mata bisa kita tangkap sebagai otokritik terhadap isu hangat tahun politik 2019. Brigade Orgil, seperti nama pementasannya adalah singkatan dari barisan orang gila (orgil). Pementasan yang kocak dan mengundang tawa penonton sepanjang pertunjukan, namun sekaligus juga penuh ironi tersebut, setidaknya menyadarkan kita tentang arti penting pendidikan politik bagi masyarakat dalam menghadapi pesta demokrasi.

Di tengah euforia Pemilu serentak 2019 yang untuk pertama kalinya bersamaan antara pilpres dengan pileg, di mana eskalasi peta politik semakin hari, kian riuh yang puncaknya akan terjadi pada 17 April 2019 nanti. Siapa yang akan jadi pemenang, dan siapa yang bakal jadi pecundang. Terlebih lagi jika berkaca pada prosesi pemilu sebelumnya, meski juga di sana-sini digembar-gemborkan deklarasi “pemilu damai” atau “politik santun”, serta ditambah lagi dengan antihoaks, antisara, dan no money politic. Namun realitasnya masih banyak “bibit” ego-sentris di tengah elite politik dan para pendukungnya, yang akhirnya akan mengebiri nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Dinamika politik
Belum ada pesta demokrasi di dunia ini yang berjalan bersih dan santun seratus persen. Terlebih lagi jika menilik dinamika politik yang berkembang di tengah-tengah kita selama ini. Biasanya konflik antarparpol dan tim pendukung dalam bentuk kecil, sedang, dan besar; baik itu berupa intimidasi, ancaman, teror, hingga kekerasan masih kerap terjadi dan terulang setiap kali pesta demokrasi dihelat. Konon lagi mengingat Aceh yang punya 20 partai politik (parpol) peserta pemilu.

Beda dengan daerah lainnya di Indonesia yang hanya punya 16 partai politik nasional (parnas). Namun berkat UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) selain punya partai politik nasional (parnas), Aceh juga ada partai lokal (parlok) yang pemilu kali ini dikuti oleh empat parlok. Konsekuensinya adalah geopolitik di Aceh lebih kompleks dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Karena semua prasyarat politik modern mulai dari teori, analisis, praktik, manajemen, kebijakan, dan penggunaan dana politik di Aceh akan lebih meluas lagi.

Belum lagi jika dilihat dari spektrum persaingan antarparnas dengan parlok di satu pihak dalam merekrut kadernya, dan persinggungan perebutan pengaruh massa saat masa kampanye, tentu akan lebih berisiko lagi. Lebih khusus lagi, geopolitik Aceh yang baru saja keluar dari kemelut konflik berkepanjangan dan baru saja menemukan muaranya, yaitu perjanjian perdamaian (MoU) Helsinki sebagai cikal-bakal lahirnya parlok, masih meninggalkan sisa-sisa benih konflik, baik itu kepentingan antara sesama mantan kombatan dengan non-kombatan.

Seperti pecahnya elite Partai Aceh (PA) yang kemudian membentuk Partai Nasional Aceh (PNA). Atau perseteruan internal elite PA seperti yang terjadi di Bireuen dalam mengusung bakal calon bupati (bacabup) PA. Terjadi tolak-tarik kepentingan dan argumen elite partai hingga terjadi aksi pendudukan kantor PA Wilayah Bireuen oleh masing-masing kubu pendukung kandidat, yang membuat cabup usungan PA akhirnya kalah dalam pilkada 2017 di sana.

Demikian juga dalam dua kali pilkada Aceh sebelumnya, telah banyak memunculkan friksi dan pergesekan antar elite partai mantan kombatan. Ini terbukti pada pilkada gubernur dan wakil gubernur Aceh, dari enam pasangan calon (paslon), empat di antaranya merupakan mantan elite GAM. Mereka adalah Zaini Abdullah, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, dan Zakaria Saman. Zaini adalah mantan orang kedua atau ketiga pimpinan GAM setelah Hasan Tiro dan Malik Mahmud. Sementara Muzakir Manaf pernah menjadi Panglima GAM, sedangkan Zakaria Saman adalah eks menteri pertahanan gerakan tersebut.

Dampak dari pecahnya “perahu” mantan petinggi GAM ini, dengan sendirinya membuat kantong-kantong massa pendukung PA juga terbelah dalam mendukung paslon gubernur pada pilkada Aceh 2017 silam. Bahkan massa PA seperti di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Pidie, dan Pidie Jaya, sudah banyak yang meninggalkan PA. Akhirnya Pilkada Aceh 2017 menghasilkan pemenang di luar PA, namun juga mantan elite GAM, Irwandi Yusuf yang mendirikan PNA.

Berkaca dari Pilkada Aceh 2017 lalu, temuan sebuah lembaga pengamat pemilu menyebutkan, setidaknya ada 26 kasus kekerasan di Aceh. Aceh juga ditempatkan sebagai lokasi paling rawan terjadinya kekerasan, utamanya di wilayah Aceh Timur dan Aceh Utara. Temuan mereka menyebutkan, dalam sejumlah kasus, aktor yang paling banyak terlibat --baik pelaku maupun yang jadi korban-- adalah kader PNA dan PA.

Belum lagi mantan kombatan yang aspirasi politiknya tidak tertampung baik di PA dan PNA, lalu membentuk poros tersendiri di luar kedua parlok tersebut. Beruntung, jika kelompok mantan kombatan yang di luar kedua parlok itu bisa berdaya guna dengan misalnya membuka usaha sendiri, atau secara mandiri mencoba berbaur dengan masyarakat. Namun, kita juga tidak bisa menafikan jika masih ada mantan kombatan yang hidupnya tersisih dan tanpa pekerjaan pasca-MoU Helsinki. Sehingga mereka ada yang menempuh jalan sendiri-sendiri, yang terkadang berlawanan dengan hukum seperti melakukan aksi kriminal dan lain sebagainya sebagai bentuk kekecewaan mereka.

Elite terbelah
Demikian juga dalam dukung mendukung kandidat capres/cawapres, elite PA sendiri terbelah. Ada yang mendukung Joko Widodo (Jokowi) dan ada pula yang lebih memilih Prabowo Subianto. Memang semua itu menjadi pilihan dan hak politik semua orang dalam menentukan sikap politiknya. Namun, di sini jelas terlihat jika alur politik yang dibangun para elite mantan kombatan, sudah tidak sesolid seperti di masa-masa awal MoU Helsinki. Ada sejumlah kubu atau faksi mantan kombatan yang kini seakan memilih jalan masing-masing. Dan geopolitik Aceh pasca-MoU Helsinki, hanya pada Pilkada Aceh 2006 saja para mantan elite GAM terlihat solid dan bersatu dalam mendukung paslon gubernur yang diusung lewat jalur independen.

Saat itu GAM-SIRA bersanding bagai “pengantin baru” yang dimabuk asmara. Hasilnya, paslon Irwandi Yusuf Muhammad Nazar seolah tanpa halangan berarti, mampu meraih simpati rakyat Aceh. Kendatipun pada Pilkada 2006 itu, ada paslon lainnya yang juga didukung kalangan elite mantan GAM, yaitu Ahmad Humam Hamid yang berpasangan dengan Hasbi Abdullah yang disokong oleh para elite GAM senior seperti Malik Mahmud dan Zaini Abdullah lewat jalur parpol (PPP).

Namun gejolak yang muncul antara kubu tua dan muda elite mantan GAM saat itu dapat diredam, meskipun sesungguhnya bara perpecahan di tubuh mantan GAM juga sesungguhnya dimulai dari sana. Namun begitu rampungnya UUPA dan terbentuknya PA, seolah gejolak yang sebelumnya sempat muncuat, perlahan mencair seiring dengan luruhnya ego-sentris pada para elite mantan GAM kala itu.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved