Opini
Tegak Lurus Adat Aceh dan Syariat Islam
ARTIKEL “Adat Aceh Milenial” oleh Mulyadi Nurdin (MN) di ruang Serambi Opini (Serambi, 25/10/2018), menarik dibahas lebih lanjut
Oleh Muhammad Taufik Abda
ARTIKEL “Adat Aceh Milenial” oleh Mulyadi Nurdin (MN) di ruang Serambi Opini (Serambi, 25/10/2018), menarik dibahas lebih lanjut. Mengawali tulisannya MN menyatakan, “Adat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dulu kala”. Tanpa diiringi dengan narasi sandingan terkait definisi adat, khususnya adat Aceh. Definisi yang sederhana tersebut dapat menimbulkan kekeliruan dalam memaknai dan memahami adat Aceh.
Padahal, adat Aceh telah memiliki definisi operasional sebagaimana tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, “Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan syariat Islam, yang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup”. Pasal 6 UU itu juga menegaskan, “Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam”.
Kemudian UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Pasal 16 ayat (2) huruf b, menegaskan salah satu urusan wajib lainnya pemerintahan Aceh dalam pelaksanaan keistimewaan Aceh adalah “Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam”. Hal ini juga menjadi urusan wajib lainnya pemerintahan kabupaten/kota di Aceh sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UUPA.
Berdasarkan ketentuan dalam dua UU tersebut di atas, dapat disimpulkan ada hubungan yang kuat antara adat Aceh dengan ayariat Islam. Hubungan yang kuat tersebut dapat ditulis dengan terminologi kunci, “Adat Aceh bersendikan syariat Islam” atau “Tegak lurus adat Aceh dan syariat Islam”. Terminologi terakhir kami pilih sebagai judul tulisan ini.
Adat Aceh
Pengkajian adat Aceh selama ini cenderung didominasi oleh pendekatan disiplin ilmu hukum, ilmu sejarah, ilmu sosiologi, dan ilmu antropologi. Sedikit sekali dengan pendekatan studi pemikiran (Affan Ramli, 2015). Kenyataannya, tidak mungkin realitas adat Aceh hanya dapat dikaji dengan pendekatan satu disiplin ilmu tertentu saja. Pengkajian yang komprehensif hingga yang terdalam (akar pengetahuan), mesti melibatkan pendekatan lintas disiplin keilmuan (inter-disiplin). Sehingga pembahasan definisi (ke-apa-an) dan eksistensi (ke-adaan) adat Aceh akan lebih komprehensif dan lebih mendekati realitas aslinya.
Merujuk ke narasi “hadih maja”, hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut (hukum syariat dengan adat, seperti zat dan sifatnya). Dapat dimaknai juga bahwa “adat adalah wujud manifestasi dari esensi syariat Islam”. Sehingga ada ungkapan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan hadih maja di atas, yaitu adat ngon hukom hanjeut cre (adat dan hukum syariat tidak boleh berpisah) atau ungkapannya adat melawan hukom bateu.
Ketika menyebut hukom, dalam konteks sejarah Aceh, penting merujuk Tgk Syekh Abdurrauf As-Singkili atau yang dikenal dengan sebutan Tgk Syiah Kuala. Hal ini sesuai ungkapan hadih maja, Adat bak Poteumeuruhom, Hukom bak Syiah Kuala. Narasi tulisan Tgk Syiah Kuala yang penting dirujuk adalah kitab Miratuth Thullab fii Tashili Ma’rifati Ahkaamisy Syar’iyati lil Malikil Wahhab (Cermin Segala Mereka yang Menuntut Ilmu Fikih pada Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syara’ Allah).
Berdasarkan pengelompokan isinya, kitab Miratuth Thullab membahas tiga pokok permasalahan hukom, yaitu muamalah, munakah, dan jinayah. Secara umum, disiplin Ilmu Fikih membahas tentang ibadah (fiqh ibadah), muamalah (fiqh ibadah), munakahah (fiqh munakahah), jinayah (fiqh jinayah), dan siyasah (fiqh siyasah).
Menelusuri lebih lanjut hubungan tegak lurus adat dan syariat Islam, berdasarkan paradigma hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut --Affan Ramli (2015) menyebutnya paradigma atau teori zat-sifat-- dapat ditinjau dari keterkaitan tiga pilar utama syariat Islam di Aceh yang meliputi akidah (tauhid), syar’iyah (hukum), dan akhlak. Syar’iyah (hukum) dan akhlak berakar dari tauhid dan masing-masing keduanya, ada yang berdimensi individual (hubungan perorangan dengan Allah Swt); ada juga yang berdimensi sosial (hubungan dengan sesama atau alam dan Allah Swt).
Hukum yang berdimensi individual dikelompokkan dalam pokok bahasan ibadah, sedangkan akhlak yang berdimensi individual disebut adab. Adapun hukum yang berdimensi sosial, dikelompokkan dalam pokok bahasan meliputi muamalah, munakahah, jinayah, dan siyasah. Sedangkan akhlak yang berdimensi sosial disebut adat. Dengan demikian, adat Aceh adalah sistem pengetahuan, sikap, perilaku dan kearifan yang merupakan wujud pengejawantahan (manifestasi) dari akhlak sosial.
Adat Aceh berdasarkanrealitas yang ada dengan mengacu pada paradigma “zat-sifat”, dapat dikelompokkan dalam pokok bahasan adat hareukat (memiliki keterkaitan dengan muamalah), adat kekerabatan (memiliki keterkaitan dengan munakahah), peradilan adat atau mahkamah adat (memiliki keterkaitan dengan jinayah), dan pemerintahan adat (memiliki keterkaitan dengan siyasah), serta seni dan teknologi adat.
Seni dan teknologi adat bukan merupakan cabang langsung dari akhlak sosial, tapi merupakan merupakan ekspresi jiwa, sikap dan tindakan dari akhlak invidual (adab). Dengan demikian, seni dan teknologi adat dapat dikatakan juga sebagai produk peradaban. Kebiasaannya, seni dan teknologi menjadi prasarana dan sarana penunjang atau perlengkapan pendukung dalam setiap penyelenggaraan adat tertentu.
Dalam praktiknya, adat Aceh dapat diklasifikasikan dalam bentuk hukum adat (ada sanksinya jika melanggar) dan adat istiadat (tidak ada sanksi jika melanggar). Adat Aceh tersebut, berakar dari tauhid sebagai pandangan dunia (world view) yang selaras (harmoni) dengan Tuhan, alam semesta dan sesama manusia.
Ketentuan adat
Dengan demikian, jika ada ketentuan adat yang tidak selaras (harmoni) dengan Tuhan (perintah dan larangan-Nya), alam semesta (merusak/fasad) dan sesama manusia (tidak adil dan ekploitatif/zalim), maka ketentuan tersebut tidak dapat disebut adat (mungkin tabiat yang sudah jadi kebiasaan). Ini sesuai dengan syair yang dipopulerkan oleh Syah Luthan, Bukonlah hukom, bukonlah adat, mungken tabiat jeut keu biasa (bukan hukum-syariat, bukan adat, mungkin tabiat yang jadi kebiasaan).
Selain itu, jika merujuk ke teori fitrah (Ibnu Khaldun dalam Warul Walidin, 2005), adat Aceh (juga adab) merupakan wujud pengejawantahan (manifestasi/tajalli) dari akhlak; dan akhlak merupakan aktualisasi (bentuk nyata) dari fitrah (potensial). Fitrah dan akhlak bersifat universal (berlaku di mana saja, kapan saja).
Sedangkan adat (juga adab) mengikuti konsep ruang-waktu; dinamis (beda tempat, beda masa; beda adat dan adabnya). Terkait metode pembiasaan atau pendisiplinannya, adat dilakukan dengan pendekatan tarbiyah (pendidikan) dan siyasah (politik). Sedangkan adab dengan pendekatan tarbiyah dan tarikat (jalan menuju insan bertakwa melalui penyucian jiwa).
Dengan memahami konstruksi adat Aceh secara utuh, dari akar hingga cabang-cabangnya, kekhawatiran MN sebagaimana dinyatakan dalam tulisan “Istilah adat dan milenial terkesan memiliki makna yang berjauhan, dan perilaku generasi manusia terhadap adat juga berbeda. Generasi terdahulu sangat berpegang teguh pada nilai adat, sedangkan kaum milenial terkesan jauh dari nilai adat budaya” dapat diantisipasi sejak dini. Caranya dengan pendekatan kesadaran melalui pendidikan dan keteladanan dari generasi yang lebih tua atau aturan-aturan adat.
Sementara itu, usulan MN supaya keterlibatan generasi milenial dalam berbagai tingkatan struktur lembaga adat, perlu dipertimbangkan dengan bijaksana. Karena menjadi pemangku lembaga adat mesti memenuhi empat kriteria penting sebagaimana diungkapkan beberapa tuha adat yang pernah saya jumpai, yaitu tuha (aspek otoritas, layak dipilih sebagai peutua adat), tuhoe (aspek kapasitas, memiliki pengetahuan dan kearifan yang komprehensif terkait adat), tupeu (aspek kapabilitas, memiliki kemampuan teknis dan operasional penyelenggaraan adat), dan teupat (aspek integritas, seiring kata dengan perbuatan; memiliki rekam jejak yang baik).
Akhirnya, dengan dukungan dan kerjasama berbagai pihak, penyelenggaraan adat Aceh dengan terminologi “Tegak Lurus Adat Aceh dan Syariat Islam” dapat kita jadikan sebagai agenda perjuangan bersama, baik melalui agenda pengetahuan (pengkajian dan penulisan), agenda komunitas (masyarakat mukim-gampong) dan agenda kebijakan (berbagai tingkatan pemerintahan). Semoga!
* Muhammad Taufik Abda, pengkhidmat adat, gampong dan mukim; juga peneliti Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: mtaufikabda@yahoo.com