Apa Karya Sebut Malik Mahmud tak Jalankan Fungsi

Mantan menteri pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Zakaria Saman menilai Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar

Editor: bakri
Zakaria Saman (Apa Karya). 

BANDA ACEH - Mantan menteri pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Zakaria Saman menilai Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar selama ini tidak menjalankan fungsinya sebagai pemersatu masyarakat sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Hal itu disampaikan pria yang akrab disapa Apa Karya di sela-sela diskusi ‘Quo Vadis Lembaga Wali Nanggroe’ di Aula Fakultas Hukum Unsyiah, Senin (10/12).

Kegiatan itu diprakarsai oleh Asean Law Students’ Association (ALSA) Unsyiah dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unsyiah.

Pernyataan Apa Karya tersebut menjawab wartawan yang menanyakan apakah selama satu periode kepemimpinan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe IX telah menjalankan kewenangannya sebagaimana diatur dalam UUPA?

“Mana ada!” jawab Apa Karya, spontan dan tegas.

Dalam Pasal 96 ayat (1) UUPA berbunyi, Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.

Ayat (2) berbunyi, Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahaan di Aceh.

Ayat (3) berbunyi, Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen.

Aturan itulah yang dinilai oleh Apa Karya tidak dijalankan oleh Malik Mahmud.

Apa Karya mengaku kecewa dengan Malik Mahmud karena merupakan orang yang dia tunjuk untuk menjadi Wali Nanggroe IX setelah Almukarram Dr Tgk Hasan Muhammad di Tiro meninggal dunia pada 3 Juni 2010 di Banda Aceh.

Setelah menjabat, lanjut Apa Karya, Malik Mahmud tidak menjalankan fungsinya hingga masa tugasnya akan berakhir pada 16 Desember 2018.

Seharusnya, seorang wali harus mengayomi semua masyarakat Aceh tanpa pandang bulu, apakah itu suku jawa atau cina. Apa Karya juga menyatakan, seorang wali tidak boleh masuk ke ranah politik.

Baca: Wali Nanggroe Malik Mahmud Minta Partai Aceh Tingkatkan Suara pada Pemilu 2019

Baca: Malik Mahmud Didesak Mundur

Karena merasa kecewa atas kinerja Wali Nanggroe saat ini, Apa Karya menyatakan tidak mendukung siapapun yang maju dalam pemilihan calon Wali Nanggroe X. Di sisi lain, Apa Karya juga menegaskan bahwa dirinya tidak sepakat jika ada wacana pembubaran Lembaga Wali Nanggroe.

Tak ingin maju
Dalam kesempatan itu, Apa Karya juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak berkeinginan untuk maju sebagai Wali Nanggroe X. Jika banyak masyarakat yang mendesak, bagaimana?

“Itu nanti kita lihat,” jawab Apa Karya sambil tersenyum.

Yang pasti untuk saat ini, Apa Karya mengaku tidak mendukung siapapun yang maju sebagai calon wali.

Terkait Malik Mahmud yang ingin maju kembali karena alasan banyak persoalan Aceh belum selesai, Apa Karya mengatakan, “lima tahun belakang apa jadi, apa jamin lima tahun lagi,” katanya.

Ketika ditanya apa kesalahan mendasar Malik Mahmud selama menjabat Wali Nanggroe? Apa Karya menjawabnya dengan mengacu pada hadih maja (kata-kata mengandung hikmah tentang empat jenis paleh/kejahatan).

Paleh raja, geudeungo haba bak beranggasoe. (Ini bermakna) seorang pemimpin mana bisa orang-orang jahat kita dengar, itu salah,” kata Apa Karya sambil menyebut tiga paleh lainnya, yaitu paleh rakyat peuget rapat rata sagoe, paleh inong kuat teumanyong watee woe lakoe, paleh agam sipat kuwah bileung asoe.

Baca: Malik Maju Lagi

Komisi Pemilihan
Secara terpisah, Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry, Dedi Saputra mendesak Tuha Peuet Lembaga Wali Nanggroe untuk segera membentuk Komisi Pemilihan Wali Nanggroe X mengingat masa jabatan Malik Mahmud akan berakhir pada 16 Desember 2018.

Mahasiswa juga meminta agar prosesi pemilihan itu dilakukan secara transparan.

“Pemilihan Wali Nanggroe harus transparan mengingat Wali Nanggroe bukan milik sepihak melainkan milik masyarakat Aceh. Kami juga meminta transparansi dalam penggunaan dana pemilihan Wali Nanggroe yang mencapai Rp 1,7 miliar,” katanya didampingi Danna Aulia Rizky dan Muhammad Hulaimi.

Dalam diskusi Quo Vadis Lembaga Wali Nanggroe di Aula Fakultas Hukum Unsyiah, selain mengadirkan Apa Karya juga ada Ketua Komisi I DPRA, Azhari Cagee, Pakar Hukum Tata Negara Unsyiah, Prof Dr Husni SH MHum, Ketua Mitra Sejati Perempuan Indonesia, Syarifah Rahmatillah SH, dan sejarawan, M Adli Abdullah Phd.

Pada diskusi itu, Syarifah Rahmatillah juga mengkritisi Wali Nanggroe Malik Mahmud dan lembagannya.

Di antaranya terkait penggunaan anggaran yang dinilai besar.

Selain itu, lanjutnya, Malik Mahmud juga masuk ke ranah politik ketika dalam satu pidatonya meminta Partai Aceh meningkatkan kursi di setiap parlemen pada Pemilu 2019.

Meski mengkritisi, Syarifah juga tidak setuju jika Lembaga Wali Nanggroe dibubarkan.

Pakar Hukum Tata Negara Unsyiah, Prof Husni juga mengatakan Lembaga Wali Nanggroe legal di Aceh.

Sedangkan M Adli Abdullah dalam diskusi itu banyak mengulas tentang sejarah Wali Nanggroe.

Sementara Ketua Komisi I DPRA, Azhari Cagee menanggapi berbagai polemik tentang Wali Nanggroe dan Lembaga Wali Nanggroe.

“Sebetulnya permasalahan Wali Nanggroe bukan polemik tapi dipolemikkan. Bahkan ada orang yang mengeluarkan isu membubarkan Lembaga Wali Nanggroe,” katanya.

Sebagai informasi, wacana Lembaga Wali Nanggroe dibubarkan awalnya disampaikan oleh senator Aceh, Drs Ghazali Abbas Adan.

Dia menilai, setelah Tgk Hasan Muhammad di Tiro meninggal, Lembaga Wali Nanggroe tidak penting lagi karena hanya sang deklarator GAM itulah yang paling mustahak memangku jabatan tersebut.

Baca: Irwandi Yusuf Berharap APBA 2019 jangan Pergub Lagi, Ini Alasannya

Baca: BREAKING NEWS - Siswa MAN Lamlo Ikuti Ujian dalam Ruangan Berlumpur

Menurut Azhari, membubarkan Lembaga Wali Nanggroe sama halnya tidak menganggap adanya perjanjian perdamaian atau MoU di Helsinki. Dia mengatakan, masyarakat Aceh jangan cepat melupakan sejarah Aceh.

“Kita jangan hanya terima yang enak-enak saja. Kita sebagai bangsa yang beradab jangan seperti itu,” ujar dia.

Politisi Partai Aceh ini menyatakan, seharusnya masyarakat Aceh mengapresiasi kehadiran Lembaga Wali Nanggroe.

Menurutnya, secara aturan tidak ada permasalahan apapun.

“Jika Lembaga Wali Nanggroe tidak berjalan, kita jangan hanya lihat sisi personal Malik Mahmud, karena masih ada sekretariatnya,” kata Azhari.

“Berjalannya DPR karena unsur sekretariatnya memfasilitasi, kalau sekretariat tidak berjalan, maka lembaga DPR tidak akan berjalan. Berjalannya MPU, karena dilayani oleh sekretariat. Kalau misalnya tidak dilayani oleh sekretariat maka lembaga MPU juga tidak berjalan, karena fungsi dari sekretariat untuk melayani lembaga itu,” tandasnya.

Azhari Cage mengungkapkan bahwa saat ini polemik Wali Nanggroe sangat besar di dalam internal pemerintah.

Jabatan Plt Tuha Peuet saja baru diteken oleh Gubernur Irwandi setelah Plt Gubernur Aceh, Soedarmo menolak menekennya. Padahal, nama untuk itu sudah lama ada.

Begitu juga dengan masalah anggaran, menurut Azhari, Wali Nanggroe tidak terlibat dalam pembahasan anggaran lembagannya.

“Permasalahan anggaran sekretariat sendiri yang bahas bukan Wali Nanggroe (Malik Mahmud). Seperti anggaran untuk pemilihan Wali Nanggroe X, jangankan Wali Nanggroe, DPR pun tidak tahu,” pungkasnya. (mas)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved