Tsunami di Banten dan Lampung
Citra Radar BPPT Ungkap Perubahan Permukaan Anak Krakatau, Bagian Selatan Telah Longsor
Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi merilis citra radar yang menunjukkan perbedaan permukaan Anak Krakatau dilihat dari udara.
SERAMBINEWS.COM - Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi merilis citra radar yang menunjukkan perbedaan permukaan Anak Krakatau dilihat dari udara.
Dua citra yang membandingkan kondisi pada 11 Desember dan 23 Desember 2018 itu jelas menunjukkan adanya perubahan permukaan sekitar 357 meter dan 1.800 meter.
Tampak pada citra tersebut bahwa bagian selatan atau kiri bawah pada gambar sudah hilang.
"Ini Bukti bahwa ada area yang hilang atau longsor ke laut, sekitar 64 hektar," kata Widjo Kongko kepada Kompas.com, Senin (24/12/2018).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ahli geologi Perancis Christine Deplus dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hery Harjono, longsornya bagian selatan - barat daya Anak Krakatau bisa picu tsunami.
Dalam pesannya pada Minggu, Hery mengatakan bahwa Anak Krakatau cenderung tumbuh ke arah barat daya dan sisi tersebut juga lebih curam dari lainnya.
"Tentu ini merupakan bagian yang labil dan jika melorot atau longsor tentu dapat memicu tsunami," demikian kata Hery.
Publikasi penelitian Deplus dan Hery di Journal of Vulvanology and Geothermal Research pada 1995 juga mengungkap bahwa tsunami akibat longsoran Anak Krakatau pernah terjadi pada tahun 1981.
Pakar vulkanologi Surono mengungkapkan, berdasarkan citra BPPT tersebut, "Longsorannya besar. energinya juga pasti besar."
Widjo mengungkapkan, untuk bisa lebih pasti, perlu dilakukan perkiraan volume longsoran yang jatuh ke lautan.
Aktivitas Gunung Anak Krakatau
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis laporan terkait aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau.
Gunungapi Anak Krakatau terletak di Selat Sunda adalah gunung api strato tipe A dan merupakan gunungapi muda yang muncul dalam kaldera, pasca erupsi paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau.
Letusan yang pernah terjadi tahun ini, precursor letusan tahun 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor dan penigkatan jumlah gempa Hembusan dan Low Frekuensi pada tanggal 18-19 Juni 2018.
Jumlah Gempa Hembusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 gunung tersebut meletus.
Lontaran material letusan sebagian besar jatuh di sekitar tubuh Gunung Anak Krakatau atau kurang dari 1 km dari kawah, tetapi sejak tanggal 23 Juli teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai, sehingga radius bahaya Gunung Anak Krakatau diperluas dari 1 km menjadi 2 km dari kawah.
"Aktivitas terkini, terakhir pada 22 Desember 2018, seperti biasa hari-hari sebelumnya, Gunung Anak Krakatau terjadi letusan. Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300 - 1500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm)," tulis keterangan pers Kementerian ESDM dalam laman resminya, Minggu (23/12/2018).
Pada Sabtu, (22/12/2018) pukul 21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama ada info tsunami.
"Pertanyaannya apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan, hal ini masih didalami, karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami," jelas PVMBG.
Kementerian ESDM melalui PVMBG mencatat, pertama, saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut bahkan hingga tsunami.
Kedua, material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunungapi masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu.
"Ketiga, untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yg cukup masif (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut. Kemudian, untuk merontokan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunungapi," demikian tertera dalam laporan itu.
"Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami," imbuhnya.
Potensi Bencana Erupsi Gunung Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 km merupakan kawasan rawan bencana.
Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktifitas G.
Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius 2 km dari pusat erupsi.
Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.
"Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 23 Desember 2018, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada). Sehubungan dengan status Level II (Waspada) tersebut, direkomendasikan kepada masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Krakatau dalam radius 2 km dari Kawah," sebut keterangan tersebut.
Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung harap tenang dan jangan mempercayai isu-isu tentang erupsi Gunung Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami, serta dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat.(*)
Baca: Menurut Vulkanolog ITB Ada 4 Kemungkinan Penyebab Tsunami di Selat Sunda
Baca: Seni Baru Gerak Tubuh Grup Zikir Laskar Ababil Meriahkan Maulid Nabi di Keude Siblah Abdya
Baca: Panik Dengar Adanya Kabar Tsunami, Kakek 80 Tahun Asal Lampung Lari Sejauh 2 Km
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Citra Radar BPPT Ungkap Bagian Selatan Anak Krakatau Longsor" dan "Tsunami di Selat Sunda, ESDM Rilis Aktivitas Gunung Anak Krakatau"