Status Gunung Anak Krakatau Menjadi Siaga, Berbahayakah?

Gunung Anak Krakatau berubah menjadi status siaga pagi ini, Kamis (27/12/2018) dan sudah menunjukan aktivitas sejak bulan Juni 2018.

Editor: Amirullah
ANTARA FOTO/BISNIS INDONESIA/NURUL HIDAYAT VIA KOMPAS.COM
Foto udara letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12/2018). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) pukul 17.22 WIB dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 meter di atas puncak (sekitar 1.838 meter di atas permukaan laut) 

"Kejadian tsunami beberapa waktu lalu diakibatkan salah satunya longsoran gunung," kata Rudy, dikutip dari Kompas.com.

"Secara dimensi lewat citera satelit, kami bisa menghitung kurang 64 hektar luas longsoran," ujar Rudy.

Untuk saat ini, dirinya belum bisa memastikan apakah ada potensi longsoran Gunung Anak Krakatau lainnya atau tidak.

Namun, kata dia, kemungkinan akan terjadi lagi, mengingat aktivitas Gunung Anak Krakatau menghasilkan getaran yang berpengaruh pada struktur gunung.

Aktivitas letupan abu vulkanik dari Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda terpantau dari udara yang diambil dari pesawat Cessna 208B Grand Caravan milik maskapai Susi Air, Minggu (23/12/2018). (KOMPAS/RIZA FATHONI)

Baca: Pipa Raksasa Bernama Wilson Siap Bersihkan Sampah Plastik Samudera Pasifik, dari Mana Idenya?

Baca: Aparat di Kediri Amamkan Ratusan Judul Buku Beraliran Kiri, di Antaranya Ada yang Membahas PKI

"Tetap waspada terus bahwa longsoran pasti ada lagi dan kemungkinan ada lagi," ucap Rudy.

"Kami selalu waspada, kami kerja sama dengan BMKG, BPPT, selalu waspada menghadapi hal terburuk," kata dia.

Jika longsoran terjadi seperti pada Sabtu (22/12/2018) lalu, kata Rudy, besar kemungkinan tsunami akan kembali menerjang daratan.

Hanya saja, belum bisa diukur seberapa besar gelombang tsunami yang dihasilkan dari longsoran yang akan datang serta waktu pasti terjadinya.

Waspadai Hujan Abu Saat Berkendara

Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu, menyarankan untuk selalu waspada dan tetap memperhatikan sisi keselamatan.

"Biasanya saat ada aktivitas vulkanik akan dibarengi dengan debu yang menyebar," ujar Jusri saat dihubungi Kompas.com.

"Dalam kondisi ini, pengendara perlu meningkatkan kewaspadaan karena sisi visibilitas akan menurun drastis," tambahnya.

Personel Kepolisian bersama anggota BPBD Sulut membagikan masker kepada pengendara dan pejalan kaki di Desa Silian Tiga, Kecamatan Tombatu, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, Minggu (16/12/2018). Teramati erupsi Gunung Soputan kali ini mengeuarkan abu vulkanik dengan kolong letusan setinggi 1500 meter diatas puncak dengan ketinggian 8.809 Mdpl. Tribun Manado/Andreas Ruauw (Tribun Manado/Andreas Ruauw)

Baca: Catatan Sejarah Ungkap Aceh Pernah Diterjang Tsunami Beberapa Kali Sebelum 26 Desember 2004

"Usahakan tetap terkontrol dan jangan panik, nyalakan lampu untuk membantu visibilitas dan juga alat komunikasi bagi pengendara lainnya," ucap Jusri.

Menurut Jusri, jika saat terjadi hujan abu vulkanik dan menutupi kaca mobil, pengendara untuk tidak menyalakan wiper.

Hal tersebut dikarenakan abu vulkanik memiliki sifat yang mengumpul ketika terkena air, sehingga membuat kaca mobil semakin buram.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved