Breaking News

Dari Kaki Singgalang dan Merapi Taufiq Ismail Membangun Rumah Puisi

Taufiq mengaku sudah lama mengimpikan adanya Rumah Puisi. Tapi baru berhasil diwujudkan pada 2008.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FIKAR W EDA
Di depan rumah orang tua Taufiq Ismail di Pande Sikek. 

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga tidak tinggal diam. Ikut membantu membiayai tenaga dan staf perpustakaan Rumah Puisi. "Itu berkat keulatan perempuan mengenakan penutup kepala merah itu," lanjut Taufiq sambil menunjuk Ati Ismail, perempuan yang mendampinginya selama ini. Ati Ismail tampak sedang sibuk mempersilakan tamu-tamunya sarapan pagi. Selain saya dan keluarga Deavis Sanggar Matahari, juga ada penyair Jamal D. Rahman dan tokoh teater Bandung Iman Soleh yang datang bersama istri, serta pengacara yang penyair Abrori Djabbar.

Kata Taufiq Ismail, suatu ketika istrinya itu melaporkan keberadaan Rumah Puisi kepada Pemerintah Sumbar. Lalu pemerintah tergerak membantu. "Kalau kami yang biayai sendiri tentu tak ada dana," katanya.

Rumah Puisi Taufiq Ismail terbagi kepada beberapa ruangan. Ada ruangan berisi buku tersusun rapi lengkap dengan penomorannya. Juga ada ruang pertemuan, ruang makan, kamar tidur dan dapur. "Itu kamar saya," kata Taufiq Ismail menunjuk salah satu kamar, saat saya tanya dimana ia menginap selama di Padang Panjang.

Taufiq Ismail tiap bulan datang ke Rumah Puisi menerima tamu, membuat pertemuan dan beberapa kegiatan lainnya. Dari Padang, bisa dicapai dalan waktu 2 jam untuk sampai ke Rumah Puisi.

Kebetulan hari itu Jumat. Penyair yang sangat mudah terharu ini, mengajak kami shalat Jumat di Masjid Haji Miskin, di Kampung Pande Sikek sekitar 2-3 Km dari Rumah Puisi. Kami mengendarai mobil sedan merah, dikemudikan Mas Eki, suami dari Ibu Huri Yani, pegawai Balai Pustaka dan pembina Sanggar Sastra Balai Pustaka.

Mas Eki dan Ibu Huri Yani, datang ke Rumah Puisi dalam rangka 10 Tahun Rumah Puisi. Selain saya dan Taufiq Ismail, juga ada penyair Jamal D. Rahman, duduk di jok belakang bersama saya. Taufiq Ismail mengenakan pakaian putih, duduk di jok depan, samping Mas Eki.

Sepanjang perjalanan menuju masjid, Taufiq Ismail menceritakan sosok Haji Miskin. Salah seorang tokoh pergerakan Minang menentang kolonialis Belanda. Haji Miskin berasal dari Kampung Pande Sikek, sekampung dengan ibundanya. Ia hidup di abad 19.

Kata Taufiq Ismail, Haji Miskin memperdalam ilmu agama di Mekkah dan Madinah, bersama dua tokoh Minang lainnya, Haji Piobang dan Haji Sumanik.

Pulang ke Minang, ketiganya menghadapi cengkraman kolonialis Belanda. Mereka lalu mengorganisir gerakan menantang penjajahan. Salah seorang "murid" Haji Miskin, Peto Syarif, sangat mahir membentuk pertahanan. Dialah yang membangun benteng menahan serbuan Belanda. Peto Syarif juga seorang alim dan pemimpin pergerakan perlawanan gigih, yang kelak terkenal sebagai Imam Bonjol, satu dari sepuluh murid Haji Miskin.

Haji Miskin sendiri ditangkap dan dihukum gantung oleh Belanda. Almarhum dimakamkan di Pande Sikek, di sebuah bukit kecil, yang sekarang dijadikan cagar budaya.

Taufiq Ismail menunjukkan letak makam, dan saat pulang Jumatan, kami membacakan Alfatihah untuk Haji Miskin. Taufiq juga menunjukkan tempat bale-bale pertemuan Haji Miskin dengan masyarakat yang ikut dibakar Belanda.

Tak jauh dari Masjid Haji Miskin, Taufiq Ismail menunjuk lagi sebuah rumah kayu. "Itu rumah kami. Saya waktu kecil di sini," kenang Taufiq Ismail. Kami berhenti di rumah itu dan berfoto.

Taufiq Ismail menceritakan, keduanya orang tuanya, tinggal di rumah itu. Sebelum kemudian "diusir" Belanda ke Pekalongan, karena terlibat dalam gerakan melawan Belanda. Ayahanda Taufiq Ismail, A. Gaffar Ismail dan ibunya adalah tokoh muda pergerakan melawan Belanda, selain berprofesi sebagai guru.
Ayab Taufiq dan Ibunya juga ditangkap Belanda dan diasingkan ke lar Tanah Minang.

"Tapi karena waktu itu ayah saya masih berusia di bawah 21 tahun, Belanda mempersilakan memilih tempat mana yang akan menjadi tempat tinggal barunya, yang penting keluar dari Tanah Minang. Ayah saya lalu memilih Pekalongan," cerita Taufiq.

Di tempat baru itu lahirlah anak pertama pasangan A. Gaffar Ismail dan Sitti Nur Muhammad Nur. Bayinya diberi nama Taufiq Ismail. Tapi ketika berusia tiga bulan, bayi itu meninggal dunia.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved