Opini
Aceh Panggung Gagasan Profesor Indonesia
SEKITAR 200 guru besar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia direncanakan akan hadir dalam Rapat Kerja Nasional Forum
(Menyongsong Rakernas FDGBI, 25-26 Januari 2019 di Banda Aceh)
Oleh Yuswar Yunus
SEKITAR 200 guru besar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia direncanakan akan hadir dalam Rapat Kerja Nasional Forum Dewan Guru Besar Indonesia (Rakernas FDGBI), yang akan berlangsung pada 25-26 Januari 2019 di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh.
Menindaklanjuti Rakesrnas I FDGBI di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 4 Agustus 2017 lalu, Rakernas II di Unsyiah bertema “Sinergisitas Guru Besar dalam Merajut Persaudaraan dan Pemerataan Pendidikan Tinggi Nasional”. Selanjutnya, berbagai gagasan yang dihasilkan dalam Rakernas di Aceh ini, nantinya akan dibawa ke Musyawarah Nasional (Munas) Guru Besar yang akan berlangsung di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Agustus mendatang. FDGBI merupakan sebuah wadah dalam rangka mensinergikan pemikiran dan gagasan strategis guru besar demi mendukung pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia. FDGBI mempunyai nilai-nilai dasar di antaranya: profesional, keilmuan, nirlaba, terbuka, kekeluargaan, kemasyarakatan, pengabdian, dan kebersamaan.
Sepertinya tidak salah, harapan masyarakat agar para profesor lebih banyak memberi kontribusi langsung untuk masyarakat, namun kita juga sadar bahwa keberadaan Universitas adalah bagian dari realitas masyarakat itu sendiri. Integritas Guru Besar juga tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan keilmuannya yang berkomunal dengan masyarakat.
Sasaran etos kerja para guru besar, bukanlah karena gelar profesor sebagai lambang keilmuan yang disandangnya, melainkan seberapa jauh gagasan dari aktivitas keilmuan yang mampu diaplikasikan untuk kepentingan agama, bangsa, dan negara. Itulah bedanya antara “Pemerataan Pendidikan Tinggi dan Mendidik Masyarakat”, terutama pada generasi Milenial dan Era Industri 4.0 sekarang ini.
Para Guru Besar menyadari, begitu penting untuk mengapresiasi betapa agung kebutuhan akan disiplin keilmuan, untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat dari berbagai sisi (pendidikan, kesehatan, agama, teknologi, lingkungan, sosial, pertanian, prekonomian dan lain-lain), sehingga dapat hidup layak. Ini harus menjadi prioritas dalam tahapan taktis (prioritas) dan strategis untuk pembangunan jangka menengah maupun jangka panjang.
Melahirkan gagasan
Para profesor sebagai cendekiawan dan teknokrat yang kreatif, tentu tidak dapat melepaskan dirinya dari berbagai dimensi lingkungannya. Keberadaan para pakar di kampus, diakui tidak pernah memosisikan dirinya dalam struktur kasta sosial budaya masyarakat dengan tradisi ketimurannya, melainkan harus melakukan terobosan-terobosan dan melahirkan berbagai gagasan untuk perubahan dan wujud pembangunan dalam realitasnya, sebagaimana diamanahkan UUD 1945.
Para Guru Besar diharapkan tidak hanya terbatas menguasai disiplin keilmuannya, namun pada Rakernas II ini perlu mendiskusikan berbagai hal aktual yang terjadi dari berbagai belahan dunia dan akan lebih menimbulkan minat untuk mengabdi kepada perubahan dari berbagai fenomena kehidupan bangsa yang terjadi akhir-akhir ini. Apalagi Indonesia masih menyandang predikat sebagai negara berkembang yang perlu dibenahi dari berbagai sudut pandang serta realitas pembangunannya.
Pada Rakernas II FDGBI di Aceh ini, perlu direnungkan bersama, sebagai tantangan dalam mencari solusinya, yaitu sebagai target yang diinginkan untuk mengisi pembangunan disegala bidang, terutama Pasca Pilpres untuk kembali mengatur langkah bersama agar sistematika pembangunan mungkin perlu dipatron kembali (re-prioritras) sebagaimana Era Pembangunan sebelumnya di zaman Repelita. Namun Rekernas harus membatasi diri, agar tidak membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan politisasi kenegaraan (tidak membuat gagasan yang bersifat politis).
Kita harapkan agar Rekernas II FDGBI yang dilaksanakan di Tanah Rencong ini, akan memotifasi para Guru Besar untuk menelorkan rekomendasi dengan berbagai program, yang nantinya diharapkan harus lebih banyak memberi kontribusi langsung untuk kepentingan masyarakat karena tuntutan zaman. Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa keberadaan universitas adalah bagian dari realitas masyarakat itu sendiri. Integritas para profesor juga tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan keilmuannya yang berkomunal sesuai dengan program pemerintah yang sedang dan akan diwujudkan.
Rakernas II Guru Besar Indonesia yang digelar di Unsyiah (Aceh) sangat tepat, karena Aceh secara psikologis jauh dari pusat kekuasaan nasional. Aceh juga baru saja sembuh dari “perang saudara antara GAM-TNI” dan musibah besar tsunami yang melanda Aceh (2004), serta sumbangsih Aceh yang besar pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia. Diharapkan akan melahirkan sinergisitas dan persaudaraan untuk pengembangan pendidikan nasional.
Rakernas juga diharapkan dapat melahirkan sinergisitas pembangunan nasional (pusat dan daerah), terutama perencanaan pembangunan daerah dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi (Contoh; Aceh kemiskinan 16,8%, di bawah rata-rata nasional); sinergisitas pemberdayaan masyarakat; sinergisitas pembangunan berdasarkan Nawacita; sinergisitas pengelolaan keuangan daerah-daerah yang tidak mampu memanfaatkan dana APBN secara profesional; dan perlu sinergisitas Polri, TNI, dan PNS dalam menghadapi berbagai tantangan global.
Oleh karena itu, Rakernas II FDGBI ini hendaknya lebih fokus dalam melihat kebijakan pembangunan nasional dalam berbagai persfektif; pembangunan nasional dalam persfektif pengelolaan sumber daya alam, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pembangunan dalam berbagai disiplin keilmuan, termasuk isu lingkungan dan perubahan iklim (climate change) yang kini telah menjadi isu utama di seluruh belahan bumi.
Menunggu kiprah profesor
Tidak salah “Masyarakat Menunggu Kontribusi Profesor” (Serambi, 26/2/2015) telah menyentuh batin “cendekia” untuk me-replay kembali kiprahnya dalam koridor integritas sosialnya, kembali memotivasi kesungguhan pengabdiannya, eksistensialnya, profesionalismenya untuk meresapi, menghayati dalam perspektif pengabdiannya untuk berimplementasi sesuai disiplin ilmunya yang harus bermanfaat guna untuk masyarakat.
Konon kiprah profesor harus tepat sasaran, karena ilmuan bukanlah kutu yang bertengger di dalam buku. Maka sejauhmana ketersinggungan kontribusi ilmunya yang ditunggu oleh masyarakat, sehingga kesan “menara gading” yang dipatri untuk perguruan tinggi, akan sirna dan tertelan oleh kontribusi yang diharapkan. Maka untuk lebih konsen, bila perlu semua guru besar di kampus disediakan “kacamata tembus” agar mampu melihat lingkungannya ke internal dan eksternal di luar kampus. Tidak hanya dipaksakan untuk mewujudkan jurnal tertelaah di berbagai disiplin ilmu.
Tujuan penggunaannya “kacamata tembus” untuk para guru besar, agar lebih khusuk dalam menjalankan dokrin “Tri Dharma Perguruan Tinggi” dan tidak terkesan hanya melahirkan rezim Scopus, untuk dijadikan pajangan dalam sejarah baru Indonesia dan perlu selalu menyiapkan program penelitian lapangan, serta pemberdayaan masyarakat agar peran kampus dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat yang mendambakan uluran tangan para profesor.
Pemerataan pendidikan tinggi nasional harus diprioritaskan. Perlu dipacu, karena banyaknya perguruan tinggi swasta di daerah-daerah yang berada pada level bawah yang masih merangkak minta dinegerikan. Lebih dari itu, banyak perguruan tinggi swasta yang mati suri untuk dibangunkan kembali. Target untuk pemerataan pendidikan harus dimulai secara botton up dan tidak top down.
Dewan Guru Besar perlu melahirkan gagasan baru untuk mengindentifikasi dan menyesuaikan kurikulum yang spesifik untuk suatu perguruan tinggi di daerah-daerah yang perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman dan lingkungan, serta layak dipasarkan.
Jika pemerataan pendidikan tinggi dapat diwujudkan, maka sebutan universitas sebagai “menara gading”, akan berubah bahwa ilmuan bukanlah gading di atas menara. Sebagaimana harapan dan terjemahan awam, mengharapkan personalitas seorang guru besar, dituntut lebih banyak berada di lapisan masyarakat bawah agar terlihat gaungnya.
Pangkat fungsionalitas seorang guru besar idealnya jika ditilik dari wilayah ilmu, maka profesor harus selalu objektif; sedangkan di wilayah moral profesor disebut jujur; di wilayah budaya adalah kerendahan hati; di wilayah hukum disebut adil, di wilayah olahraga disebut sportif; di wilayah kepemimpinan disebut bijaksana dan arif; di wilayah pertanian konsen untuk meningkatkan produksi; di wilayah ekonomi adalah keuntungan atau kerugian; di wilayah cinta kasih profesor disebut setia; dan di wilayah ketuhanan profesor adalah kepatuhan. Selamat melaksanakan Rakernas!
* Prof. Dr. Ir. Yuswar Yunus, M.P., Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: yuswar_dr@yahoo.com