Aceh Serba-Plt, Apa Jadinya?

Pengangkatan jabatan pelaksana tugas (Plt) saat ini sedang booming di lingkungan Pemerintahan Aceh

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Aceh Serba-Plt, Apa Jadinya?
TAUFIQ A RAHIM,Akademisi Unmuha

Pengangkatan jabatan pelaksana tugas (Plt) saat ini sedang booming di lingkungan Pemerintahan Aceh. Setidaknya ada sembilan orang yang kini menjabat plt, mulai dari posisi Gubernur, Sekda Aceh, hingga lembaga-lembaga keistimewaan Aceh.

Jabatan-jabatan yang saat ini diisi oleh pejabat berstatus plt adalah Gubernur Aceh oleh Nova Iriansyah, Plt Sekda Aceh Helvizar Ibrahim, Plt Direktur Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA), Zubir Sahim, Plt Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), Razuardi Ibrahim, Plt Wakil Kepala BPKS, Islamuddin ST, dan Plt Kepala Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA), Azhari Idris.

Selain itu, plt yang baru-baru ini dilantik adalah Plt Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Saidan Nafi, Plt Ketua Majelis Pendidikan Aceh (MPA) Prof Abdi A Wahab, dan Plt Kepala Baitul Mal Aceh, Mahdi Ahmadi.

Pelantikan plt ketiga lembaga keistimewaan Aceh itu belakangan menuai polemik. Terutama di lingkungan MAA, karena lembaga itu telah melaksanakan musyawarah besar (mubes) pada Oktober 2018 dan Badruzzaman Ismail kembali terpilih sebagai ketua untuk periode 2019-2023.

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menangguhkan pengukuhan Badruzzaman sebagai Ketua MAA karena ia nilai proses mubes lembaga itu tidak sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dalam qanun itu disebutkan, salah satu peserta mubes adalah tuha nanggroe, sementara tuha nanggroe sendiri tidak ada. Untuk mengisi kekosongan jabatan, Nova kemudian mengangkat Saidan Nafi sebagai Plt Ketua MAA.

Polemik lain yang muncul adalah setelah pelantikan Plt Kepala Baitul Mal Aceh. Dalam proses pelantikan ini, Plt Gubernur Aceh tidak melantik kepala definitif, mengingat kepala lama dijabat plt, tapi malah kembali melantik seorang plt untuk jabatan itu.

Melihat “ramainya” posisi plt tersebut, akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), Dr Taufiq A Rahim mengatakan bahwa pengangkatan pejabat publik yang dinilai sebagai sebuah kebijakan, tapi ternyata tetap memiliki unsur kepentingan politik.

“Harus kita pahami bahwa dalam pengangkatan pejabat publik kali ini unsur politiknya sangat kental. Hanya saja coba dibalut dengan kekhususan Aceh,” ulasnya.

Menurut Taufiq, pengangkatan pejabat yang berstatus plt telah menjadi pemeo di tengah masyarakat. Sebab, usaha untuk melantik pejabat publik dikaitkan dengan kekhususan Aceh hanya sekadar mengelak dan mengalihkan kepentingan politik kelompok kekuasaan.

Sebelumnya, Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Dr Amrizal J Prang menjelaskan, pengangkatan tiga pelaksana tugas (plt) tersebut—Ketua MAA, Ketua MPA, dan Kepala BMA—dilakukan karena masa jabatan pimpinan masing-masing lembaga tersebut sudah berakhir. Untuk menghidari kekosongan jabatan, maka diangkatlah plt.

Amrizal juga mengakui bahwa pelaksanaan Mubes MAA yang telah memilih Badruzaman sebagai ketua, cacat hukum. Karena itu, Plt Gubernur Aceh menunda dulu pengangkatan Badruzzaman Ismail sebagai ketua terpilih. Di sisi lain, masa jabatan ketua MAA lama sudah berakhir sehingga diangkatlah plt.

Terkait pengangkatan Plt Kepala BMA menggantikan posisi kepala sebelumnya yang juga dijabat plt, Amrizal mengatakan, jabatan plt juga ada batas waktunya. Ditambahkan, pengangkatan plt kembali tidak menyalahi aturan karena plt bersifat sementara sampai terpilihnya kepala definitif.

Dinilai tidak fair
Tindakan Plt Gubernur Aceh yang menunjuk Saidan Nafi sebagai Plt Ketua MAA, Jumat (22/2) dinilai tidak fair (adil) dan tak patut dilaksanakan. Pasalnya, Badruzzaman Ismail merupakan Ketua MAA terpilih dalam mubes sah yang digelar pada Oktober 2018. Semestinya Badruzzaman dan pengurus lainnya dikukuhkan oleh Plt Gubernur Aceh, bukan malah sebaliknya.

Hal itu disampaikan Steering Committee (SC) Musyawarah Besar (Mubes) MAA Tahun 2018, Mohd Daud Yoesoef MH kemarin. Menurut Daud, penunjukan Plt Ketua MAA oleh Plt Gubernur Aceh merupakan tindakan yang melanggar asas-asas umum pemerintahan yang layak, salah satunya asas fair play. “Seharusnya gubernur memanggil dulu pengurus atau ketua terpilih hasil mubes. Secara hukum (penunjukan Plt ketua MAA) itu memang hak gubernur, tapi harus diingat, MAA itu adalah lembaga otonom yang merupakan mitra gubernur,” imbuhnya.

Untuk itu, lanjutnya, Plt Gubernur Aceh tidak bisa memosisikan MAA sebagai bawahannya, karena lembaga tersebut tidak dibawahkan oleh Gubernur Aceh. Apabila alasan gubernur sebagai antisipasi kekosongan Ketua MAA, maka tindakan tersebut dinilai sebagai kekeliruan. “Sebelum dilantik yang baru, pengurus MAA yang lama masih ada meskipun demisioner. Jadi, tidak ada istilah kekosongan. Plt gubernur tidak memahami mekanisme organisasi,” ujar mantan dekan Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Menurut Mohd Daud, seharusnya Nova Iriansyah membatalkan Plt Ketua MAA yang dikukuhkannya tersebut karena menyalahi mekanisme yang ada. Gubernur, lanjutnya, tidak perlu ragu untuk membatalkan itu, sebab di setiap surat leputusan (SK) pengangkatan, selalu ada klausul untuk membatalkan. “Kurang lebih bunyi klausulnya, apabila terdapat kekeliruan dalam penetapan maka akan diperbaiki sebagaimana mestinya,” jelas Daud.

Pada bagian lain, mantan Wakil Ketua MAA ini menyebutkan bahwa pelaksanaan Mubes MAA Tahun 2018 berjalan sah sesuai dengan Qanun Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ketiadaan unsur tuha nanggroe’dalam mubes, menurutnya, tidak bisa disebut cacat hukum, karena sudah menjadi kebiasaan administrasi sejak MAA dibentuk.

“Menyangkut tuha nanggroe, meskipun tercantum di dalam qanun, tapi tidak dipraktikkan lagi. Hanya sebagai nilai nominal saja dalam qanun itu. Jadi, apa yang telah ditetapkan oleh gubernur sebelumnya itu menjadi kebiasaan administrasi, dapat dijadikan landasan terhadap mubes-mubes selanjutnya,” kata dia dan menyebut hasil mubes 2018 harus dijalankan.

Mohd Daud menjelaskan, pemilihan ketua dan pengurus MAA periode 2019-2023 ditetapkan oleh mubes sendiri sebagai pengurus lembaga MAA. Jika pengurus terpilih tidak dikukuhkan oleh plt gubernur, bukan berarti hasil mubes itu tidak sah. “Pengukuhan oleh gubernur itu hanya sebagai pemenuhan administrasi. SK gubernur itu hanya untuk keperluan administrasi, seperti pembayaran honor pengurus MAA,” timpalnya.

Saat ditanya apa ada konflik di internal MAA, Daud membantah isu tersebut. Namun, menurutnya, bisa jadi ada kesalahpahaman antara Kepala Sekretariat dengan Ketua MAA yang mungkin saja berimbas kepada penunjukan plt. “Mungkin ada bocor halus, tidak tahu saya apa sampai berimbas ke situ. Kalau faktor eksternal bisa saja ada, karena jabatan ini (Ketua MAA) banyak diinginkan orang,” katanya lagi.

Terpilihnya kembali Badruzzaman Ismail sebagai ketua MAA periode ketiga, menurut Daud, sah-sah saja sebab qanun tak membatasi berapa periode jabatan tersebut boleh diemban. “Peserta mubes dari kabupaten/kota se-Aceh mengusulkan beliau kembali sebagai Ketua MAA. Jadi, ia terpilih secara aklamasi,” kata Daud seraya berharap Plt Gubernur bisa sedikit legowo untuk duduk bermusyawarah dengan pengurus terpilih terkait masalah itu.

Di sisi lain, jabatan plt dinilai beberapa pihak terbatas kewenangannya. Tidak sekuat wewenang pejabat definitif. Anggapan itulah yang tercermin dari sikap Dr Sayid Fadhil MH sehingga ia menggugat keputusan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah ke PTUN Banda Aceh karena mencopot jabatannya sebagai Kepala BPKS. Menurut Sayid Fadhil, seorang plt gubernur tidak berwenang mengganti dirinya karena ia diangkat oleh Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf. Nah!

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr Taqwaddin MH mengatakan bahwa lembaga Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Aceh (MPA), dan Baitul Mal Aceh (BMA), bukanlah lembaga dalam ranah eksekutif sehingga mekanisme pelaksana tugas (plt) yang lazim diberlakukan pada lembaga pemerintah kurang tepat diterapkan pada ketiga lembaga ini.

Apalagi, figur-figur yang selama ini memimpin lembaga-lembaga keistimewaan tersebut adalah tokoh-tokoh senior yang bukan dalam kapasitas PNS. Sementara, posisi gubernur selaku kepala daerah adalah pembina kepegawaian bagi PNS di daerahnya.

“Tampaknya mekanisme pelantikan plt-plt lebih bernuansa politis ketimbang administratif,” kata Taqwaddin kepada Serambi di Banda Aceh, Minggu (24/2).

Taqwaddin menjelaskan, dalam hal pelaksanaan tugas dan fungsinya plt melakukan pekerjaan sehari-hari sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadapnya. Terhadap PNS dalam lingkup eksekutif, hal yang biasa adanya plt jika pejabat definitif bermasalah atau berhalangan tetap.

“Tetapi untuk lembaga nonpemerintah, apalagi yang tegas disebutkan bersifat otonom dan independen, maka penunjukan plt, menurut saya, adalah sesuatu yang kurang bijak dan tidak tepat. Apalagi untuk lembaga-lembaga keistimewaan tersebut sudah ada sistem musyawarah yang sudah lazim mereka praktikkan,” ulas dia.

Plt Ketua MAA, sambung Taqwaddin, berbeda dengan plt kepala sekretariat. Kepala sekretariat adalah PNS yang merupakan bawahan gubernur sehingga kepala sekretariat boleh ditunjuk dan diangkat plt. “Bagi lembaga pemerintah boleh ditunjuk dan diangkat plt. Sedangkan bagi lembaga otonom dan independen seperti MPU, MAA, MPA, BMA, Lembaga Wali Nanggroe, dan lain-lain berlaku tata cara musyawarah dalam ketentuan internal lembaga tersebut,” kata Dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Karena itu, menurut Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh ini, pengangkatan dan pelantikan plt-plt tersebut berpotensi menimbulkan dugaan malaadministrasi. “Gubernur perlu meninjau kembali plt yang berpotensi menimbulkan masalah dan kegaduhan. Jikapun di-plt-kan, maka plt-kan ketua lama yang ditugaskan untuk membantu percepatan proses penyelesaian qanun baru tentang tata cara memilih ketua lembaga keistimewaan Aceh,” demikian Taqwaddin. (mas/fit)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved