Balai Bahasa Aceh
Nasionalisasi Kata-kata Basa Singkil Dalam Ucapan dan Tulisan
penyerapan kosakata Bahasa Indonesia kedalam Bahasa Singkil bukan hanya untuk kata yang tidak ada padanannya dalam Bahasa Singkil,

Oleh: Mulyadi Kombih
Sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional, Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang kosakatanya banyak mempengaruhi dan diserap menjadi bahasa-bahasa daerah. Demikian juga Bahasa Singkil banyak menyerap kosakata Bahasa Indonesia. Adakalanya diserap secara utuh kedalam Bahasa Singkil, terkadang juga diserap dengan beberapa penyesuaian bunyi. Penyerapan kosakata Bahasa Indonesia kedalam Bahasa Singkil bukan hanya untuk kata yang tidak ada padanannya dalam Bahasa Singkil, akan tetapi banyak juga kosakata Bahasa Indonesia yang meskipun memiliki padanan dalam Bahasa Singkil namun sering digunakan menjadi pelengkap kalimat.
Beberapa pola penyerapan kosakata kedalam Bahasa Singkil
1. Seluruh fonem /r/ yang dalam Bahasa Indonesia diucapkan nyata dan jelas jika diserap kedalam Bahasa Singkil akan berubah menjadi uvular sebagai /gh/ meskipun sebenarnya banyak Orang Singkil menuliskan bunyi ini dengan /kh/. Beberapa contoh untuk jenis penyerapan ini adalah;
rumah sakit menjadi rumah sakit /ghu-mah.sa-kit/
kantor menjadi kantor /kan-togh/
telanjur menjadi terlanjur /tYgh-lan-jugh/ meskipun ada padanannya Bahasa Singkil yakni sor /sogh/, (enggo sor tepangan = sudah telanjur dimakan)
pintar menjadi pintar /pin-tagh/ meski ada padanannya norok /no-ghoq/
2. Setiap akhiran /-an/ dalam Bahasa Indonesia apabila diserap menjadi Bahasa Singkil menjadi akhiran /-en/ (dengan e pepet). Contoh jenis penyerapan ini adalah;
lapangan menjadi lapangen /la-pa-ngYn/
peraturan menjadi peraturen /pe-gha-tu-ghYn/
rambutan menjadi rambuten meski memiliki nama dalam Bahasa Singkil lekang /lY-kang/
jembatan menjadi jambaten meski punya padanan dalam Bahasa Singkil yakni kite /ki-té/
Bertolak dari kedua model penyerapan ini, akhirnya timbul semacam teori membalik pola penyerapan dimaksud dalam tulisan dan percakapan dengan orang selain Suku Singkil. Semacam ada proses peng-Indonesia-an kembali kata Bahasa Singkil. Banyak kata maupun nama Singkil yang akhirnya terkonotasi sebagai berasal dari Bahasa Indonesia, padahal tidak demikian, utamanya nama-nama kuta dan marga.
Dalam hal pembalikan pola penyerapan /r/ menjadi /gh/ dalam Bahasa Singkil, maka setiap nama yang mengandung bunyi /gh/ dalam Bahasa Singkil akan berubah menjadi berbunyi /r/ dalam penulisan dan percakapan diluar Bahasa Singkil. Seperti nama kuta yang bagi Orang Singkil selalu diucapkan / ghun-ding/ namun ditulis Runding bahkan tidak sedikit menulis Rundeng.
Nama kampong yang bagi sesama Orang Singkil diucapkan /gY-ghu-guh/ namun dalam tulisan serta pengucapan ketika lawan berbicara bukan Orang Singkil selalu Geruguh. Pun demikian penulisan marga, yang bagi Orang Singkil selalu diucapkan /bha-ghat/ dengan bunyi /b/ tipis dan agak samar, tidak pernah dirubah tulisannya dari Barat.
Demikian juga pola /-en/ yang menjadi /-an/, nama kuta dan marga yang berakhir dengan /-en/ secara pengucapan banyak ditulis meng-Indonesia menjadi berakhiran /-an/. Seperti nama kuta yang bagi Suku Singkil diucapkan /si-bu-a-sYn/ namun dinasionalisasi menjadi Sibuasan. Begitu pula dengan nama kampong yang dalam Bahasa Singkil diucapkan /la-é. pY-mu-a-lYn/ tetapi ditulis meng-Indonesia menjadi Lae Pemualan. Adalagi nama desa Tuhtuhan malah ditulis menjadi Tuh Tuhan. Pun demikian dengan marga yang bagi Suku Singkil diucapkan /sa-gha-Yn/ namun ditulis Saraan.
Peggunaan huruf dalam kebiasaan menulis Basa Singkil
Sejak dahulu komunikasi dalam bentuk tulisan sudah dilakukan Orang-orang Singkil. Korespondensi dilakukan dengan setidaknya dua aksara yakni Huruf Latin dan Huruf Jawi atau Arab Melayu, meski tidak tertutup kemungkinan dahulunya Singkil punya aksara sendiri. Tapi disini kita tidak sedang membahas sejarah aksara di Tanoh Singkil, tapi sekedar menelisik sedikit kebiasan penggunaan huruf latin dalam menulis Bahasa Singkil. Yang sering menjadi polemik dalam menulis Bahasa Singkil ialah penggunaan huruf latin, utamanya cara penulisan bunyi uvular dari fonem /r/.
Polemik ini utama sekali disebabkan belum adanya pedoman penulisan Bahasa Singkil yang baku dan bisa diterima seluruh kalangan. Kebiasaan yang selama ini ada dan sering menimbulkan kontroversi antara sesama penutur Bahasa Singkil itu akibat adanya anggapan harus menuliskan lambang bunyi yang terucap menggunakan aksara dalam Ejaan Yang Disempurnakan secara utuh. Padahal jika ini yang dipaksakan, maka bukan hanya penulisan bunyi uvular /r/ yang mesti diperdebatkan, namun juga bunyi fonem /b/ dan /d/ yang berbeda antara Bahasa Singkil dan Bahasa Indonesia, juga bunyi fonem /k/ yang bagi setiap Orang Singkil bunyinya akan menjadi /q/ jika letaknya diakhir kata.
Penulisan lambang bunyi uvular /r/ pada Orang Singkil umumnya menggunakan konsonan rangkap /kh/ meski sebenarnya bunyi yang keluar adalah /gh/. Ditilik dari segi konsistensi penggunaan pun sebenarnya mayoritas inkonsisten karena masih sering terdapat penulisan dua lambang bunyi sekaligus dalam sebuah kalimat yang terdapat beberapa kosakata berbunyi uvular, yakni dengan /kh/ dan /r/. Ditambah lagi, jika konsisten menggunakan /kh/ maka huruf /r/ tentu tidak akan pernah terpakai dalam menulis Bahasa Singkil, sebab sejatinya tidak satupun kosakata Singkil yang berbunyi /r/ nyata, termasuk nama dan seluruh kata serapan tadi kecuali penggalan utuh ayat Al Qur’an.
Dan hampir seluruh Orang Singkil memiliki kecenderungan menggunakan konsonan /r/ dalam melambangkan bunyi uvular itu, ini setidaknya berdasarkan amatan penulis di era komunikasi ketikan kini, baik di media sosial, maupun SMS. Bahasa Aceh di bagian barat-selatan dan beberapa dialek Melayu yang berartikulasi uvular tidak menuliskan dengan /kh/ atau /gh/. Maka selayaknya Singkil harus punya ejaan dan aturan tersendiri yang berbeda dengan ketentuan dalam EYD. Aturan tata tulis ini sangat diperlukan untuk keseragaman cara tulis maupun pelambangan bunyi. Betapapun beberapa bunyi sama yang keluar dari rongga mulut tidak selayaknya ditulis dengan dua grafem yang berbeda.
* Penulis adalah ASN pada Pemko Subulussalam, Penulis Kamus Umum Basa Singkil Dan Buku Pedoman Dan Tatacara Penulisan Basa Singkil
Redaksi menerima tulisan yang berkaitan dengan bahasa atau sastra. Panjang tulisan sekitar 800 kata dan dikirim ke alamat pos el: irawan_syahdi@yahoo.com
Kolom ini kerja sama Balai Bahasa Aceh dengan Harian Serambi Indonesia, terbit setiap hari Minggu.