Kisah Wanita Australia Masuk Islam dan Dinikahi Pria Aceh setelah Pertukaran Pemuda ke Banjarmasin
Dalam pidatonya, Wynni mengatakan kebencian tidak dimulai dengan sebuah aksi teror, tapi lewat sikap diskriminasi.
SERAMBINEWS.COM - Wynni Jones seorang mualaf asal Australia diundang menjadi salah satu pembicara di acara peringatan bagi korban serangan teror ke masjid di Christchurch, Selandia Baru yang digelar oleh warga Castlemaine, sebuah kota kecil di pedalaman negara bagian Victoria.
Dikutip dari ABC, acara yang diisi Wynny merupakan bentuk dukungan bagi kelompok minoritas di Castlemaine.
Bukan hanya untuk muslim, dukungan juga ditujukan untuk suku Aborigin Dja Dja Wurrung, pencari suaka, dan kelompok imigran dari berbagai negara.
Dalam pidatonya, Wynni mengatakan kebencian tidak dimulai dengan sebuah aksi teror, tapi lewat sikap diskriminasi.
"Kebencian dimulai dengan seseorang yang tidak ingin saya menggunakan jilbab, tidak ingin duduk di sebelah saya di tram, atau berteriak mengejek saya di jalanan," kata Wynni.
Baca: Hati-hati! Ada Lubang Besar di Pinggir Jalan STA Johansyah, Tepat Depan Masjid Taqwa Seutui
Baca: VIDEO - UNBK di Pidie Lancar, Antisipasi Pemadaman Listrik Pihak Sekolah Sediakan Genset
Wynni menyebut tragedi di Christchurch telah membuat komunitas Muslim dan komunitas lain dari latar belakang berbeda untuk bersatu dan saling dukung satu sama lain
"Teroris sudah gagal, karena apa yang kita lihat malah kesatuan yang luar biasa dan kekuatan," ujar perempuan berkulit putih itu seperti dikutip dari ABC Australia, Selasa (26/3/2019).
Wynni yang merupakan seorang mualaf memutuskan memeluk islam sejak tiga tahun lalu.
Dia tertarik masuk Islam setelah mengikuti program pertukaran pemuda Australia-Indonesia (AIYEP) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tahun 2015 lalu.
Wynni awalnya hanya coba-coba mengenakan hijab di Banjarmasin untuk menghormati budaya setempat.
Namun Wynni memutuskan untuk tetap menggenakan hijab ketika ia kembali ke Australia.
"Menggunakan jilbab menjadi bentuk penolakan perempuan sebagai objek dan seksualisasi tubuh perempuan," ujar Wynni.
Baca: VIDEO - Murid Sekolah Dasar di Bireuen Unjuk Kebolehan pada Ajang FLS2N
Baca: VIDEO - Panwascam Kuta Raja Bekali Pengawas Tempat Pemungutan Suara
Keluarga Wynni mendukung pentuh keputusannya mengenakan hijab sebagai kewajiban seorang muslimah.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa keluarganya juga mencemaskan Wynni karena masih adanya Islamophobia di Australia.
Di tahun 2017, wanita yang sedang menyelesaikan program doktor di University of Melbourne untuk bidang studi hukum hak perempuan itu menikah dengan pria Indonesia.
Wynni dinikahi oleh Syahrial Umar, pria asal Aceh yang sekarang bekerja sebagai guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah dasar di Bendigo.
"Castlemaine adalah tempat yang baik untuk membesarkan keluarga," kata Wynnie yang pertama kali bertemu suaminya di program AIYEP.
Dari program AIYEP di Indonesia, Wynni mengaku sangat menghormati keberagaman agama di Indonesia dan mempelajari tiap-tiap agama.
Kembali ke Australia ia meneruskan belajar soal Islam yang menurutnya menyerukan keadilan sosial, sesuai dengan bidang yang ditekuninya.
Kepada ABC, Wynni mengaku justru pernah mendapatkan pengalaman yang tidak mengenakan sebagai seorang Muslimah saat ia berada di Brisbane, ibukota Queensland.
Di Castlemaine dengan penduduk kurang dari 7.000 orang, komunitas Muslim sangat sedikit jumlahnya dan Wynni mengatakan ia yang paling "terlihat" karena menggunakan hijab.
Tapi kota pedalaman yang berjarak sekitar 1,5 jam menyetir dari kota Melbourne itu menurut Wynni cukup progresif dengan sosok pemimpin yang mencoba menciptakan komunitas yang inklusif.
"Solidaritas yang ditunjukkan komunitas (Castlemaine) sangat penting bagi saya pribadi karena mereka mengatakan menerima dan akan melindungi kami," ujarnya yang sempat merasa takut dan khawatir setelah serangan di Christchurch.
Feminisme dan keputusan memakai hijab
Saat mengunjungi Indonesia untuk program AIYEP, Wynni mengaku sangat menghormati keberagaman agama di Indonesia dan mempelajari tiap-tiap agama.
Kembali ke Australia ia meneruskan belajar soal Islam yang menurutnya menyerukan keadilan sosial, sesuai dengan bidang yang ditekuninya.
Wynni mulai mencoba menggunakan hijab ketika berada di Banjarmasin dengan alasan untuk menghormati budaya setempat, tapi memutuskan untuk terus menggunakannya saat kembali ke Australia setelah sempat tinggal di Yogyakarta selama empat bulan.
Baginya menggunakan hijab adalah sebuah bentuk feminisme dan pilihan yang memberdayakan perempuan.
"Menggunakan jilbab menjadi bentuk penolakan perempuan sebagai obyek dan seksualisasi tubuh perempuan," ujar Wynni yang sedang menyelesaikan program Doktor di University of Melbourne untuk bidang studi hukum hak perempuan.
"Jadi hijab sebagai sebuah sikap politik, karena tubuh saya adalah milik saya sendiri dan tertutup untuk dikomentari dan dikritik."
Keputusannya menjadi seorang Muslimah dan menggunakan jilbab mendapat dukungan penuh dari keluarganya, meski kadang mereka khawatir karena adanya Islamophobia di Australia.
Di tahun 2017, Wynni menikah dengan Syahrial Umar, pria asal Aceh yang sekarang bekerja sebagai guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah dasar di Bendigo.
"Castlemaine adalah tempat yang baik untuk membesarkan keluarga," kata Wynnie yang pertama kali bertemu suaminya di program AIYEP.
Menurutnya kejadian di Christchurch telah membuat komunitas Muslim dan komunitas lain dari latar belakang dan keyakinan berbeda untuk bersatu dan saling dukung satu sama lain.
"Teroris sudah gagal, karena apa yang kita lihat malah kesatuan yang luar biasa dan kekuatan," ujarnya, sambil berharap politisi Australia bisa merefleksikan kepemimpinan yang perlu dicontoh dari pemerintah Selandia Baru.
Simak video ini:
Baca: BPJS Ketenagakerjaan Pererat Kerjasama dengan RS Harapan Bunda
Baca: VIDEO - Khusus April 2019, Seluruh Kepala Daerah di Aceh Dilarang Keluar Negeri
Baca: VIDEO - Calon Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo Isi Kampanye Akbar di Lhokseumawe
Artikel ini sudah tayang di Tribun Video dengan judul: Kisah Wanita Australia Masuk Islam dan Dinikahi Pria Aceh setelah Pertukaran Pemuda ke Banjarmasin