Jurnalisme Warga
Tapaktuan, Kota Seribu Masjid
Malam Rabu lalu sekitar pukul 22.00 WIB, saya berangkat dari Banda Aceh menuju Tapaktuan dengan minibus
OLEH TEUKU ZOPAN MUSTIKA, Pengurus Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Aceh dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari Tapaktuan, Aceh Selatan
Malam Rabu lalu sekitar pukul 22.00 WIB, saya berangkat dari Banda Aceh menuju Tapaktuan dengan minibus. Start dari Terminal Batoh. Belum jauh dari Banda Aceh, cuaca masih kondusif, tapi ketika memasuki Nagan Raya, hujan mulai turun sehingga jalan jadi licin. Sopir mengurangi kecepatan dan ia terlihat lebih berhati-hati. Alhamdulillah, akhirnya sampai di Tapaktuan pukul 06.00 WIB. Saya check in di Hotel Catherine, sederetan dengan Kantor Bupati Aceh Selatan, tepat di depan Sekretariat Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) Cabang Aceh Selatan.
Ini merupakan kali pertama seumur hidup saya mengunjungi ibu kota Kabupaten Aceh Selatan itu. Kesannya, saat melalui jalan rayanya dan ketika melihat-lihat pertokoannya juga, didukung dengan suasana laut di kiri dan gunung di kanan ataupun sebaliknya, suasananya mirip Kota Sabang. Ketika saya membeli oleh-oleh kue pala dan sirop pala, juga ketika sarapan pagi bersama Bang Yudi--kenalan yang sudah lama menetap di Tapaktuan--jadi teringat ketika saya membeli kue pia di Pulau Weh, Sabang.
Tapaktuan ini, kalau dilihat di peta, bentuknya memanjang, berliku-liku seperti naga. Tak heran jika kota dengan panorama yang indah ini dijuluki Kota Naga, terlepas dari legenda tentang naga dan Putri Tidur yang paling terkenal di kabupaten ini.
Berbicara tentang sejarah Tapaktuan, kota ini sudah terkenal seantero dunia dengan jejak tapak raksasa di pinggir pantainya yang dikaitkan dengan legenda ulama besar di zaman dahulu yang terkenal akan keilmuannya, termasuk kemampuannya menjadi raksasa. Meskipun saya sempat menginjakkan kaki dan berfoto di jejak tapak raksasa tersebut, dan berziarah ke makam ulama dimaksud, yakni Tuan Tapa (yang berada di pusat kota), kali ini saya tidak membahas tentang sejarah ulama yang memiliki tapak raksasa tersebut, karena sudah dipaparkan secara gamblang oleh banyak orang, meskipun ini merupakan salah satu daya tarik bagi saya mengunjungi Tapaktuan. Bahkan, banyak orang juga mengatakan bahwa tidak sah pergi ke Tapaktuan apabila belum menginjakkan kaki di bekas telapak raksasa ini. Ya, seperti orang Banda Aceh menyebutkan tidak sah pergi ke Banda Aceh jika belum mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman.
Kunjungan saya ke Tapaktuan yang pertama kali ini adalah dalam rangka tugas sebagai utusan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Aceh untuk mengadakan Rapat Inisiasi Pembentukan Forum PRB Kabupaten Aceh Selatan. Rapat itu berlangsung di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Selatan, Kamis sore. Saya hadir ke tempat ini bersama Bang Yudi. Turut hadir dalam rapat tersebut Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Aceh Selatan dan beberapa stafnya.
Adapun pembentukan Forum PRB Aceh Selatan marupakan agenda yang paralel dengan pembetukan Forum PRB Pidie Jaya dan Forum PRB Langsa yang akan diadakan secara bersamaan di masing-masing wilayah tersebut pada bulan April 2019.
Pembentukan Forum PRB dinilai penting karena adanya kesadaran bahwa upaya pengurangan risiko bencana harus dimulai sejak dini. Jangan ketika bencana datang, kita baru sibuk bersiap-siap, tanpa bekal pengetahuan dan edukasi bagi generasi selanjutnya. Tanpa kesadaran tersebut tidak heran bila jumlah korban bencana, baik meninggal maupun luka-luka, begitu banyak. Belum lagi kerugian materialnya. Atas pertimbangan tersebut, dirumuskanlah gagasan pembentukan Forum PRB kabupaten/kota yang ada di Aceh, sebagai bagian dari upaya edukasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat.
Anggota Forum PRB terdiri atas unsur pemerintah, LSM, komunitas, dan dunia usaha yang diharapkan saling bersinergi dengan bekal keahlian dan kemampuan masing-masing untuk tujuan bersama, yakni dalam upaya mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Gedung BPBD Aceh Selatan berdiri tegak di Bukit Gemilang, sedangkan Kota Tapaktuan berada di bawahnya, di tepi pantai. Ketika saya berada di halaman depan gedung tersebut saya melihat ke bawah. Wow, begitu indahnya, melihat suasana ketinggian, kota, dan laut dalam waktu bersamaan. Lokasi gedung BPBD itu sendiri terbilang strategis karena dari situ kita dapat memantau situasi Kota Tapaktuan, meskipun tidak bisa lepas dari risiko rawan longsor.
Terkait kebencanaan, setibanya di Tapaktuan saya baru percaya bahwa ketika gempa dan tsunami 2004 silam, jumlah korban tsunami di Tapaktuan tidak banyak. Betapa tidak? Sebelum naik air laut, tepatnya saat berhentinya gempa besar, sebagian besar masyarakat sudah naik ke perbukitan. Ada juga yang menyebutkan bahwa air laut naik saat tsunami tersebut tidak begitu tinggi.
Maklum, karena ini kali pertama menginjakkan kaki di Tapaktuan, rasa penasaran saya masih sangat tinggi. Jauh sebelum sampai di kota ini, saya banyak mendengar kata saudara sepupu saya yang ibunya orang Tapaktuan bahwa Tapktuan merupakan kota yang dingin. Tak disangka, saat saya tiba di kota ini, ternyata cuaca sedang panas-panasnya. Resepsionis hotel tempat saya menginap mengatakan bahwa hanya hari ini saja di sini sangat panas, sedangkan hari-hari sebelumnya tidak sepanas ini.
Hanya seharian saya bersama Bang Yudi berlalu lalang di jalanan Kota Naga. Dalam sehari itu kami sempat berfoto di jejak telapak kaki Tuan Tapa di pinggir laut yang fenomenal tersebut, lalu kami bergerak ke ruang terbuka hijau (RTH) di pusat kota, dan ‘mendaki’ ke BPBD.
Awalnya, rencana kami pergi ke BPBD di pagi hari. Namun, berhubung pagi itu pihak BPBD bersama tim pemadam kebakaran (damkar), Taruna Siaga Bencana (Tagana), Search and Rescue (SAR), dan lainnya sedang patroli (pawai) dalam rangka perayaan HUT Damkar Aceh Selatan, maka rapat inisiasi Forum PRB diagendakan pada sore harinya. Pagi itu, ketika masih sarapan di sebuah warung di kota, lewatlah konvoi pawai tersebut, tapi kami tidak sempat mengambil video karena jumlah mobil patrolinya tak begitu banyak.
Satu hal yang mengesankan saya dari Kota Tapaktuan ini yang mungkin nyaris luput dari perhatian orang banyak, yakni begitu banyaknya masjid dan meunasah yang dibangun berdekatan. Tidak seperti di Banda Aceh atau kota-kota lainnya di Aceh yang masjid-masjidnya agak berjarak. Kecuali di Beureunuen (Pidie) dan Kuala Bhee (Aceh Barat), ada dua masjid yang dibangun bersebelahan. Seumur hidup saya berkeliling Aceh, baru kali ini saya lihat banyak masjid yang berdekatan. Ya, di Tapaktuan ini. Melihat realitas yang demikian, kiranya tak salah kalau saya juluki Tapaktuan ini sebagai “Kota Seribu Masjid”.