Film Minggu Ini

Crossroads: One Two Jaga, Fragmen Kecil Imigran Aceh di Malaysia

Crossroads: One Two Jaga sangat mewakili kehidupan imigran Aceh di Malaysia. Imigran Aceh yang berada di Malaysia mencapai 650.000 jiwa

Editor: Fatimah
Netflix
Film Crossroads : One two jaga 

* Oleh : Akbar Rafsanjani

Crossroads: One Two Jaga sangat mewakili kehidupan imigran Aceh di Malaysia. Imigran Aceh yang berada di Malaysia mencapai 650.000 jiwa dan menguasai kedai hingga 25.000 ribu kedai.

SERAMBINEWS.COM - Festival Film Malaysia yang ke 30 telah menobatkan film Crossroads: One Two Jaga (2018) sebagai film terbaik. Selain itu, film Crossroads : One two jaga juga mendapatkan enam penghargaan lainnya.

Film ini berhasil menarik perhatian dewan juri dengan original story-nya. Banyak kritikus film memuji Crossroads: One Two Jaga sebagai film yang berani mengangkat cerita daripada realita kehidupan sehari-hari di Malaysia.

Crossroads: One Two Jaga adalah sebuah film drama Malaysia karya Nam Ron yang diproduksi oleh Jazzy Pictures, KL Post, dan Pixel Play.

Baca: Nmax Kontra Vario di Reukih Dayah Indrapuri, Seorang Nenek, Pemuda, dan Bocah Jadi Korban

Sebelumnya, Nam Ron (atau biasa disebut Tok Ayah) telah menyutradari beberapa film panjang lainnya seperti Balun, Gedebe, dan Psiko: Pencuri Hati.

Film-film tersebut sukses meraup banyak penonton di bioskop. Tipikal penonton di Malaysia, mereka lebih memilih menonton film yang dibintangi oleh aktor dan aktris yang lumayan terkenal juga dengan cerita mainstream seperti film bergenre aksi dan romansa.

Baca: Sambut HUT Ke-73, Denpom Lhokseumawe Gelar Turnamen Tenis Eksekutive

Berbanding terbalik dengan Crossroads: One Two Jaga, yang harus puas dengan sedikit penonton di bioskop tetapi meraih penghargaan di Festival tertinggi film di Malaysia.

Film Crossroads: One Two Jaga telah mulai dikerjakan sejak tahun 2014 dan selesai pada tahun 2017, tetapi baru dirilis pada September 2018 setelah ditolak berkali-kali untuk ditayangkan. Polis Diraja Malaysia sempat memboikot Crossroads: One Two Jaga.

Meski demikian, Crossroads:One Two Jaga telah membuka jalan bagi berkembangnya cerita-cerita yang bersifat kritik terhadap situasi politik dan sosial di Malaysia.

Jika dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia lebih tertutup untuk dalam soal freedom of speech (kebebasan berpendapat). Crossroads: One Two Jaga sudah memulainya lewat karya seni yang akan ditonton luas oleh masyarakat Malaysia, Asia Tenggara, bahkan dunia.

Baca: 9 Tempat di Indonesia yang Punya Kisah Melegenda, Salah Satunya Rumah Gurita Bandung

Film ini adalah fragmen kecil dari masalah migrasi penduduk di Asia Tenggara.

Crossroads : One Two Jaga berkisah tentang Polis Diraja Malaysia (PDRM) yang menerima uang suap dari para migran ilegal dengan syarat menjamin keberadaan mereka di Malaysia.

Sugiman (Ario Bayu), salah seorang migran dari Indonesia juga terlibat dalam kejahatan ini. Crossroads :One Two Jaga berhasil menggambarkan potongan cerita yang sebenarnya lebih rumit secara realita.

Migrasi tidak hanya menjadi masalah benua Eropa. Ia sudah menjadi masalah Asia pula.

Tahun 2016, Festival Film Visual Documentary Project  Kyoto, Jepang mengusung tema "Human Flow:Movement in South East Asia".

Baca: 9 Tempat di Indonesia yang Punya Kisah Melegenda, Salah Satunya Rumah Gurita Bandung

Salah satu film yang menjadi nominasi adalah Fragile, karya sineas Malaysia, Bebbra Mailin tentang sebuah keluarga imigran asal Indonesia di Sabah, Malaysia. Satu tahun sebelumnya, Rohingya menjadi pembicaraan hangat di dunia.

Crossroads: One Two Jaga sangat mewakili kehidupan imigran Aceh di Malaysia. Imigran Aceh yang berada di Malaysia mencapai 650.000 jiwa dan menguasai kedai hingga 25.000 ribu kedai.

Motivasi warga Aceh jelas, mereka merantau untuk memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya di Malaysia dengan bekerja atau menjadi pengusaha untuk kemudian menjadikannya modal berusaha di kamlung halaman. Orang Aceh memberi andil besar dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi Malaysia.

Masyarakat Aceh satu-satunya non-goverment di Malaysia yang punya kuasa untuk menurunkan harga barang. Bagaimana tidak, rantai distribusi barang yang melibatkan banyak pihak di Malaysia sebenarnya bisa dikerjakan sekali saja oleh warga Aceh di Malaysia.

Baca: Larangan Paling Aneh di Dunia, Dilarang Jogging di Burundi hingga Bermain Game di Yunani

Pemerintah Malaysia seharusnya bisa memperhatikan ini dengan baik dan memberi keleluasaan bagi warga Aceh di Malaysia. Kengganan warga Melayu membeli barang sembako pada penjual Cina membuat pengusaha kedai runcit Aceh mendapat posisi strategis dalam mata rantai distribusi barang.

Celah ini justru dimanfaatkan oleh warga Cina untuk memonopoli perdagangan dengan menjadikan diri mereka sebagai distributor untuk penjual kedai runcit Aceh. Seharusnya warga Aceh bisa memotong rantai distribusi barang ini dan menekan tingginya harga barang di Malaysia.

Harapan tersebut kembali muncul setelah pemerintah baru kemudian dilantik. Masa pemerintahan Najib, konon sangat mendiskreditkan warga Aceh dibanding dengan Cina. Hal itu juga dirasakan oleh film Crossroads: One Two Jaga, dimana mereka baru merilis filmnya setelah pemerintahan berganti.

Selama ini, warga Aceh dinilai melalui stereotip yang buruk di mata pemerintah Malaysia. Tetapi, ini juga ulah dari beberapa imigran Aceh yang pragmatis, ingin cepat kaya dengan pekerjaan yang dilarang pemerintah Malaysia.

Jika melihat sejarah migrasi warga Aceh ke semenanjung Melayu ini, sebenarnya sudah dimulai sebelum Malaysia merdeka.

Baca: Sambut HUT Ke-73, Denpom Lhokseumawe Gelar Turnamen Tenis Eksekutive

Dimulai dengan perjalanan politik Syeikh Syamsuddin Al-Sumaterani yang saat itu berangkat menyerang Portugis di Melaka. Sekarang makam beliau masih terukir indah di Kampung Ketek, Melaka.

Kerjasama ekonomi dan politik sudah dibangun sejak zaman kerajaan. Batu-batu nisan Aceh kuno banyak tersebar di Malaysia, terutama di Melaka. Di pemakaman keluarga Dato' Arom, salah seorang saudagar di Melaka, hampir semua makam menggunakan batu nisan Aceh.

Batu nisan ini konon dipesan secara khusus dari Aceh dan diangkut menggunakan kapal ke Melaka. Selain itu warga Aceh juga bermigrasi secara besar-besaran ke Kedah, Malaysia. Dimana sekarang ada sebuah kampung Aceh di Yan, Kedah. Perjalanan politik, pendidikan, kerjasama ekonomi setidaknya sudah dimulai sejak Malaysia belum merdeka.

Setelah kemerdekaan Malaysia, perpindahan warga Aceh dengan motivasi ekonomi dimulai. Dimana warga Aceh menggunakan perahu untuk tiba di pelabuhan Klang.

Mereka berpindah dari Klang hingga akhirnya mencapai Kuala Lumpur. Saat itu, mereka masih bisa lalu-lalang dan bekerja tanpa rasa was-was akan dihampiri oleh Polis atau pejabat imigresen. Perantau dari Aceh mula-mula bekerja pada toke-toke Melayu, Cina, bahkan Bangladesh.

Baca: Empat Jurkam Tampil di Kampanye PA di Blang Paseh, Mantan Bupati Pidie Perkenalkan Caleg

Mereka bekerja di Pasar Sayur di Jalan Raja Bot, kedai runcit (toko pecah belah) di Jalan Tun Abdul Razak, hingga toko-toko mainan anak-anak di Jalan Tiongnam. Jumlah perantau semakin bertambah tiap tahun.

Seperti yang dilakukan Sugiman dalam Crossroads: One Two Jaga, dia mengajak adik perempuannya, Sumiyati (Asmara Abigail) untuk mengadu nasib di Kuala Lumpur. Apa yang dilakukan Sugiman persis seperti yang terjadi pada imigran Aceh. Bahkan, tidak hanya dalam ruang lingkup keluarga, dalam satu kampung di Kabupaten Pidie, 90 persen pemudanya telah merantau ke Malaysia.

Imigran Aceh kemudian mulai berevolusi dari pekerja menjadi pengusaha. Mereka menguasai kedai-kedai runcit dan tidak hanya berpusat di Chow Kit. Warga Aceh mulai menyebar ke berbagai daerah di Malaysia, seperti Kajang, Sungai Buloh, Johor, Shah Alam, hingga ke Melaka.

Sekarang, ada kasta sosial yang terbentuk diantara para imigran Aceh. Bagi perantau pemula biasanya tinggal di flat-flat susun di Chow Kit. Tentu saja daerah itu sangat rawan pemeriksaan oleh Polis Diraja Malaysia dan Pejabat Imigresen.

Perantau yang sudah lama di Malaysia, mendapatkan Permit  dan anak-anak mereka memperoleh Identity Card (IC) akan berpindah ke Kampung Bharu (hanya berjarak sekitar 1 km dari Chow Kit). Kampung Bharu lumayan aman dari pemeriksaan rutin Polis Diraja Malaysia. Namun demikian, hal tersebut tidak menjadi jurang pemisah antara mereka.

Baca: Pilot Drone hingga Gamers Pro Resmi Diakui jadi Profesi Baru di Tiongkok

Warga yang tinggal Kampung Bharu dan memiliki kedai runcit biasanya menjadi penanggung jawab saat ada warga Aceh yang berurusan dengan Polis, seperti yang dilakukan oleh Pak Sarip kepada pekerja-pekerjanya di Crossroads: One Two Jaga.

Perantau Aceh di Malaysia mendapat tempat yang strategis di dalam pergaulannya di tanah kelahiran. Mereka biasanya menjadi donatur tetap untuk acara-acara keagamaan dan olahraga.

Belakangan, muncul kesenjangan dalam komunitas sosial ini. Isu perdagangan narkoba oleh perantau Aceh di Malaysia dengan cepat sampai ke tanah air mereka.

Pandangan masyarakat Aceh bergeser dari pencapaian kepada perendahan martabat bangsa. Jika sebelumnya orang tua memohon kepada perantau membawa anaknya untuk mengadu nasib ke Malaysia, kini mereka mulai was-was dengan hal tersebut.

Pergeseran status sosial ini sangat serius terjadi. Merantau ke Malaysia bukan lagi hal yang istimewa. Namun, tidak sedikit yang masih bertahan untuk mencari nafkah di blahdeh (sebutan masyarakat Aceh untuk Malaysia).

Bagaimana cara para migran Aceh masuk untuk pertama kali ke Malaysia?

Mereka memanfaatkan visa turis yang berdurasi 30 hari untuk bisa melewati pemeriksaan imigresen di pintu masuk Malaysia, baik di bandara KLIA maupun di Port Klang.

Kemudian mereka menghabiskan tiga puluh hari jatah tinggal dan kembali ke Medan atau Batam untuk passing paspor (memperbarui visa turis tadi).

Baca: Hanya Sampai 30 April, Beli Emas Bisa Dapat Emas, Jalan-jalan ke Singapura dan Tabungan Emas, Mau?

Sebagian perantau yang belum mendapat pekerjaan hingga satu bulan itu membiarkan visa tinggal mereka mati dan menjadi imigran ilegal. Mereka bekerja dengan pada kedai-kedai penjual celana jeans di bawa lintasan monorail di Jalan TAR, Chow Kit mulai sore hingga tengah malam. Selain itu, mereka berdiam diri di bilik.

Crossroads: One Two Jaga menjadi reflektor bagi lembaga penegak hukum Malaysia, tetapi sebagai orang Aceh, saya punya sudut pandang sendiri dalam menonton film ini.

Mengapa cerita migrasi ini selalu difilmkan oleh orang Malaysia. Kita harus peka terhadap isu dan menjadikan medium film untuk menawarkan persepsi dari sudut pandang orang Aceh. Mungkin filmmaker Aceh bisa menawarkan potensi pemotongan rantai distribusi oleh warga Aceh di Malaysia.

Bagaimana sebenarnya keterikatan secara kultur dan emosional antara Aceh dan Malaysia yang sebenarnya sudah dibangun bahkan sebelum Malaysia merdeka.

Bagaimana pula Aceh bisa membantu membangkitkan pertumbuhan ekonomi Malaysia. Hal ini bisa menjadi semacam simbiosis mutualisme antara pemerintah Malaysia dan Aceh dalam meningkatkan ekonominya masing-masing. Saya rasa Hang Tuah akan tersenyum dari dalam kubur sembari berkata "Tak Melayu Hilang di Dunia".

Film tersebut akan menjadi catatan sejarah Aceh nantinya. Sangat menarik jika kajian antropologi, budaya, ekonomi dan sosial dibawa ke dalam medium film.

Kajian tentang perpindahan penduduk di Asia Tenggara harus menjadi perhatian khusus oleh pembuat film di Aceh. Karena Aceh memberi peranan yang cukup signifikan pada sejarah perpindahan penduduk di Asia Tenggara. (Film Crossroads: One Two Jaga bisa dinonton di Netflix).

(Akbar Rafsanjani, Programmer Aceh Film Festival)

''Film Minggu Ini'' merupakan kolom ulasan film — termasuk film pendek, fiksi, hingga dokumenter. Penulis dapat berbagi opini serta penilaian tidak hanya soal konten namun juga konteks film yang bisa menjadi rekomendasi tontonan sekaligus bacaan bagi pembaca. Tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved