Jurnalisme Warga
Rumoh Mirah Samalanga, Kejayaan yang Terbaikan
BILA kita memasuki Keude Samalanga, ibu kota kecamatan paling barat Kabupaten Bireuen, maka kita akan jumpai

OLEH TEUKU RAHMAD DANIL COTSEURANI, Pegawai PDAM Tirta Krueng Meurueudu Pidie Jaya, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe), dan Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Pidie Jaya, melaporkan dari Samalanga, Bireuen
BILA kita memasuki Keude Samalanga, ibu kota kecamatan paling barat Kabupaten Bireuen, maka kita akan jumpai sebuah rumah adat Aceh, khas warisan budaya dari indatu (nenek moyang) orang Aceh. Warga Samalanga dan sekitarnya menyebut rumah bermotif dan berwarna merah hati ini Rumoh Mirah.
Namun sayang, keberadaanya kini sudah tak terawat, terbengkalai, dan dibiarkan lapuk dimakan usia, tanpa ada usaha pelestarian warisan budaya sama sekali, baik oleh masyarakat maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bireuen, dalam hal ini Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.
Padahal, letak dan posisi rumoh mirah tersebut sangat strategis, yakni di jantung Kota Samalanga dan bisa menjadi ikon atau landmark Kecamatan dan Kota Samalanga bila dijaga, dirawat, dan dipugar secara baik. Malah kini jejeran toko dan kios sudah didirikan di depan Rumoh Mirah tersebut. Tapi belakangan semua toko dan kios itu tutup, entah ada persoalan tanah atau soal IMB, saya tak tahu.
Terlepas pemilik bangunan itu adalah para ulee balang (Teuku Hamzah Bendahara) dan Ampon Chik dari Kerajaan Samalanga tempo dulu, tapi yang jelas kini pengelolaan dan proses pengambilalihannya adalah tanggung jawab Pemkab Bireuen.
Seorang tokoh musik di Aceh, Syekh Ghazali LKB, pernah berkomentar tentang hal ini. “Apakah ini yang dahulunya disebut Rumoh Mirah? Kalau ya, sungguh sangat miris sekali, sebab Rumoh Mirah dulu sangat berjaya, sering ada acara acara tahunan dengan mengundang masyarakat sekitar dan tokoh-tokoh gampong berkumpul bersama dalam rangkai kenduri massal rutin setiap ada hari- hari besar Islam dan lainnya,” kata Syekh Ghazali LKB yang merupakan Direktur Kasga Record. Dia juga yang menerbitkan album lagu-lagu Rafly Kande dan Liza Aulia.
Selain dikenal sebagai “Kota Santri”, karena banyaknya pondok pesantren atau dayah di kecamatan ini, Samalanga juga menyimpan pesona sejarah masa lalu yang berjaya dan masyhur.
Ini dibuktikan dengan banyaknya makam para pembesar, ulee balang, bekas kerajaan di sini. Hal lain yang paling fenomenal di sini adalah kisah tentang tokoh pembuka hubungan diplomatik antara Malaysia (Kerajaan Johor) dengan Kerajaan Samalanga, yaitu Tun Sri Lanang yang makam dan bekas pendoponya berada di Samalanga.
Saya sering berjalan dan berkunjung bersama anak-anak untuk melihat situs-situs bersejarah yang ada di Samalanga dan sekitarnya. Di samping untuk memperkenalkan kejayaan masa lalu Aceh kepada anak saya yang juga bergelar Pocut dan Teuku (Ampon) juga untuk mengedukasi mereka sejak usia dini tentang likur sejarah Aceh yang menakjubkan dalam banyak hal.
Saat membawa anak-anak jalan tentu saja mereka tak melewatkan kesempatan berswafoto, misalnya di masjid mirip kuil Cina (Masjid Teungku Chik Kuta Blang Samalanga) di Desa Meunasah Lueng, Samalanga.
Di kompleks masjid itu banyak makam para ulee balang dulu yang pernah berkuasa di Samalanga. Ini membuktikan bahwa Samalanga punya daerah kekuasaan dan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan sahabat, baik di Sumatra maupun di Tanah Semenanjung.
Pada era Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar pernah dibuka jalur tapak tilas Tun Sri Lanang hingga ke Malaysia, lalu untuk mengenangnya dibuatlah sebuah Monumen Tun Sri Lanang. Monumen itu dapat kita jumpai di pinggir jalan nasional Banda Aceh-Medan, sekitar 500 meter sebelum simpang ke Samalanga atau Simpang Matang dari arah Banda Aceh.
Tentunya bila setiap situs sejarah dan warisan budaya di Samalanga tersebut dikemas dan dikelola dengan baik oleh Pemkab Bireuen dan Pemerintah Aceh tentunya akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi sektor pendidikan dan kebudayaan generasi muda Aceh. Sekaligus pula menjadi destinasi wisata religi andalan Samalanga dan Bireuen, serta masyarakat Aceh pada umumnya.
Intinya, kepedulian pemerintah kabupaten dan provinsi tak boleh rendah terhadap budaya dan adat istiadat serta kearifan lokal. Jika rendah, maka jangan heran bila generasi muda sekarang lebih cepat menyerap dan mengadopsi budaya luar yang sangat jauh dari nilai-nilai syariat Islam daripada budaya dan adat istiadat Aceh sendiri.
Peran pemerintah agar sejumlah cagar budaya di Samalanga tidak terbengkalai dan tidak terurus sangat diperlukan. Terutama karena Samalanga--seperti juga Kecamatan Simpang Mamplam yang punya situs sejarah Kubu Teungku Delapan–perlu ditata dan diurus situs budayanya.
Amatan saya, Kubu Teungku Delapan di ruas jalan nasional Banda Aceh-Medan tampak lebih terurus dan tertata dengan baik, bahkan arealnya lebih luas. Tanah dan masjidnya dipagari sehingga lebih indah. Di sini bahkan sering macet karena para pengguna jalan kerap berhenti mendadak untuk bersedekah di kotak amal yang disediakan di sisi badan jalan atau di samping kuburan tersebut.
Pemkab Bireuen hendaknya jangan terlalu larut dalam euforia setelah sukses mendapat opini dan penghargaan tata kelola keuangan yang baik dari BPK RI, yakni Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tahun 2019 secara berturut-turut sejak tahun 2015.
Seyogianya raihan opini tersebut bukan hanya sekadar prestasi sesaat dari dari dinas terkait, sebab masih banyak persoalan kemasyarakatan yang perlu segera dibenahi. Salah satunya adalah apa yang saya sampaikan tadi, yakni terbengkalainya sejumlah situs cagar budaya dan sejarah tanpa ada upaya pelestarian yang serius dari pemkab setempat. Seharusnya, setiap situs budaya dan sejarah di Bireuen diinventarisasi dan dipublikasi. Kini, banyak kita jumpai saat berkunjung ke Samalangan objek-objek sejarah dan budaya yang tidak ada keterangan apa-apa. Misalnya, tentang Rumoh Mirah, Rumoh Krueng, makam Tun Sri Lanang, dan makam Pocut Ditanjong.
Mungkin kondisi yang sama akan kita jumpai di kecamatan lain di Bireuen yang menyimpan sejarah masa lalu, seperti di Kecamatan Jangka tentang sosok Teungku Habib Bugak yang mewakafkan tanahnya di Mekkah, Arab Saudi, sebagai tempat singgahan jamaah haji asal Aceh menunaikan ibadah haji pada musim haji ke tanah suci, yaitu Baitul Asyi (Rumah Aceh). Adakah usaha pelestarian situs-situs peninggalan beliau di Bugak, Kecamatan Jangka?
Seharusnya setiap kecamatan punya museum kecil, minimal satu pojok (corner) di Kantor Camat untuk menyimpan objek sejarah daerah atau peninggalan masa lalu. Pendeknya, perlu ada upaya penyelamatan terhadap objek sejarah seperti halnya Rumoh Mirah dan situs budaya lainnya, baik yang ada di Bireuen maupun di kabupaten/kota lainnya di Aceh. Mari menjadi pelopor pelestarian situs dan cagar budaya masa lalu di daerah kita masing-masing agar semakin banyak destinasi wisata yang layak dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara di Aceh.
Semoga reportase ini dapat membuka cakrawala berpikir kita dan menjadi saran bagi pemangku kepentingan di Bireuen khususnya dan Provinsi Aceh umumnya, sehingga aset, situs, cagar budaya, dan nilai sejarah dapat dipelihara dengan baik dan menjadi pelajaran berharga bagi generasi Aceh yang akan datang. Juga menjadi objek penelitian penting bagi peneliti yang ingin menggali sejarah Aceh di masa lampau. Mari!