Orang Aceh Baik dan Ramah-ramah, Pengakuan Mahasiswi Asal Jepang
Terima kasih Aceh, masyarakatnya baik dan ramah-ramah. Selamat tinggal Aceh yang indah. Sayonara Aceh... sampai jumpa lagi
Di sini saya sangat senang, semua tetangga yang saya kunjungi sangat baik dan ramah saat menyambut saya.
Baca: FEATURE: Destinasi Kemanusiaan Menuju Kawah Ijen
Saya juga dibawa bertamu ke tempat keluarga Bu Chairul di Takengon sambil menikmati alam dan tempat wisata yang sangat menakjubkan.
Alamnya sejuk dan indah sekali.
Di Bireuen saya juga pernah pergi ke monumen perang antara Aceh dan tentara Jepang, yakni di Krueng Panjoe.
Saya juga pergi ke gua Jepang di Kota Lhokseumawe. Saat berada di Banda Aceh, saya juga tamasya ke Lampuuk, Lhoknga, bahkan menyeberang ke Sabang.
Saat pergi kuliah di Umuslim dan UIN Ar-Raniry, saya pernah ditegur seseorang sambil marah, “Kenapa tidak pakai jilbab?”
Saat itu saya diam saja tak tahu mau jawab apa. Saya merasa sedih, tetapi saya tahu 99% orang Aceh baik.
Setelah mereka tahu saya bukan Islam, malah mereka sangat baik, menerima saya dan mau mengajari saya tentang Islam dan budaya Aceh.
Baca: Waspadalah! Penyakit Jantung Intai Pegawai Kantoran
Pada Juli nanti, saya harus kembali ke Jepang, tapi saya tidak pernah melupakan Aceh, karena telah menjadi kampung kedua saya.
Suatu saat nanti saya pasti kembali lagi ke sini.
Terima kasih untuk Rektor Umuslim Bapak Amiruddin Idris dan istrinya, orang tua angkat saya, Bu Chairul, dosen, karyawan, teman-teman baik di Umuslim maupun di UIN Ar-Raniry, juga orang tua teman saya yang telah memperlakukan saya seperti anak sendiri.
Semuanya sangat baik. Kalau saya jalan di kampung banyak orang senyum dan memanggil nama saya, mulai orang tua sampai anak-anak.
Mereka tampaknya sangat senang kalau berjumpa saya.
Baca: Jalan di Kaloy Aceh Tamiang Rusak, Habiskan APBA Rp 5,4 Miliar, Pekerja Salahkan Truk Pasir dan Batu
Waktu tinggal di Matangglumpang pun saya pernah dikasih kado ulang tahun oleh anak-anak, yaitu Dek Zahwa Aqilla Riva, umurnya baru 12 tahun, juga Dek Aulia Azwir.
Ini sungguh pengalaman yang tidak bisa saya lupakan.
Saya sudah lama tidak berjumpa dengan orang tua kandung saya di Jepang, tetapi karena orang tua teman-teman saya di Aceh sangat baik, memperlakukan saya seperti anak sendiri, menampung saya menginap di rumahnya--baik di Matang maupun di Banda Aceh--saya serasa punya keluarga kandung di sini.
Mereka juga mengajari saya bahasa Aceh, memasak masakan Aceh.
Saya tak bisa makan pedas, tetapi suka masakan Aceh. Terima kasih semua masyarakat Aceh yang telah mengajari saya tentang budaya, bahasa, dan agama Islam.
Baca: Kisah Pilu Wanita Indonesia yang Dijual Menikahi Pria China, Dipukuli Suami dan Dilecehkan Mertua
Aceh sangat indah. Selama saya di Aceh banyak tempat wisata sudah saya kunjungi, misalnya di Takengon, Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Bireuen, dan Lhokseumawe.
Saya akan cerita dan promosikan Aceh kepada teman-teman di Jepang, apalagi bulan Juni ini datang satu rombongan mahasiswa Jepang ke Kampus Umuslim Bireuen.
Terima kasih Aceh, masyarakatnya baik dan ramah-ramah. Selamat tinggal Aceh yang indah. Sayonara Aceh... sampai jumpa lagi.
Jurnalisme Warga ini bisa juga dibaca di Halaman 14 Serambi Indonesia edisi cetak, Rabu 26 Juni 2019