Setelah Pramugari Wajib Berjilbab, Kini Bupati Aceh Besar Larang Maskapai Beroperasi pada Hari Raya

Bupati Besar, Ir Mawardi Ali mengeluarkan imbauan tentang penghentian penerbangan saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha dari dan ke Bandara SIM.

Penulis: Nasir Nurdin | Editor: Safriadi Syahbuddin
SERAMBI INDONESIA / M ANSHAR
Pesawat Kepresidenan Boeing Business Jett mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blangbintang, 16 April 2014. Pesawat kepresidenan pertama milik Republik Indonesia tersebut melakukan percobaan penerbangan. 

Demikian surat ini disampaikan untuk dipedomani dan diindahkan.

Baca: Sering Dianggap jadi Pekerjaan Yang Sempurna, Mantan Pramugari Ungkap Sisi Buruk dari Pekerjaannya

Baca: Video Turbulensi Hebat di dalam Pesawat, Pramugari Terlempar ke Langit-langit, Penumpang Menjerit

Baca: BPJS Ketenagakerjaan Ungkap Gaji Pilot dan Pramugari Lion Air, Ini Faktanya !

Surat Bupati Aceh Besar ini langsung viral di dunia maya dan mendapat sambutan luas masyarakat Aceh. 

Beberapa hari sebelum surat Bupati Aceh Besar ini beredar, salah satu tokoh Aceh, Ahmad Farhan Hamid, menulis panjang lebar tentang jilbab untuk pramugari ini di dinding Facebooknya. 

Berikut tulisan Ahmad Farhan Hamid yang dipublikasikan untuk publik di dinding Facebooknya, 9 Januari pukul 07.48 WIB. 

Menyertai tulisannya, Farhan juga memosting sebuah foto yang memperlihatkan seorang pramugari berjilbab sedang melayani penumpang pesawat. 

"Pagi tadi dalam penerbangan ke Aceh dgn Batik Air, saya mendapati seluruh pramugarinya memakai hijab. Saya ingat-ingat, rasanya dalam penebangan tahun lalu, tidak demikian.

Ada rasa bahagia, pikiran awal saya ini kebijakan perusahaan untuk menghormati penerapan syariat Islam di Aceh.

Pikiran saya bergerak ke masa lalu. Pemberontakan DI/TII Aceh tahun 1953-1961 salah satu (bukan satu-satunya) penyebabnya karena Soekarno ingkar janji. Sempat berjanji kepada Dawud Beureu-Eh, Aceh diberi peluang menerapkan syariat Islam sesudah Indonesia sepenuhnya merdeka. Janji itu diucapkan di awal kemerdekaan, saat Soekarno berkunjung ke Aceh. Korban perang tak terkira.

Perdamaian (Ikrar Lam Teh) melahirkan Daerah Istimewa Aceh, istimewa bidang agama, pendidikan, dan adat-istiadat. (Mungkin) pikiran pemimpin Aceh dan tokoh masyarakat saat itu, inilah ruang menerapkan syariat Islam. Ternyata tak pernah terjadi, semua usaha gagal. Jakarta menolak.

Gerakan Aceh Merdeka, 1976, sebenarnya sebuah upaya melahirkan (kembali) Aceh sebagai satu bangsa dan ingin mewujudkan kedaulatan negara Aceh. Bagi sebagian besar pengikut GAM, terutama generasi yang pernah terlibat dan tahu DII/TII Aceh, keinginan menerapkan syariat Islam di Aceh, adalah bahan bakar yang mendorong mereka terlibat dalam gerakan yang diinisiasi oleh Allahyarham Teungku Hasan Muhammad di Tiro.

Reformasi 1998 melumat habis kekuasaan diktator Soeharto.

Saya ingat almarhum Drs. Kaoy Syah, MA., salah satu anggota DPR RI hasil Pemilu tahun 1997, periode DPR RI masa itulah lahir UU 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Posisi legal Syariat Islam di Aceh mulai mendapat ruangnya. Tetapi pasal-pasal dalam UU tersebut tidak mudah diterapkan.

Sesudah Reformasi, muncul ide melahirkan Otonomi Khusus untuk Aceh. Selain TAP MPR, lalu dibentuk UU 18 Tahun 2001. Dalam UU ini aplikasi syariat Islam di perjelas, namun tetap kurang rinci. Lahirlah Mahkamah Syar’iyah.

Penerapan syariat Islam dilaksanakan. Muncullah “kehebohan” akibat operasi hijab di jalan, operasi celana ketat perempuan, pelaksanaan hukuman cambuk, dan lain-lain. Bisa dimaklumi, kita semua sedang belajar.

Kini, disadari atau tidak, syariat Islam di Aceh di hormati banyak kalangan, karenanya teruslah berikhtiar agar Aceh menjadi tauladan, jangan patah semangat karena sindiran kritis, termasuk dari awak droe.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved